Selasa, 24 Mei 2011

Saya dan Mauritania, Tegaknya Syariat Islam di Negeri Eye of Sahara



Republik Islam Mauritania adalah sebuah negara yang terletak di bagian barat laut Afrika. Pesisirnya menghadap ke Samudra Atlantik, di antara Sahara Barat di sebelah utara dan SenegalMauretania. Mauritania dan Madagaskar merupakan kedua negara yang tidak menggunakan sistem baku angka desimal. Ibu kota sekaligus kota terbesarnya ialah Nouakchott yang terletak di pesisir Atlantik. Negara yang memiliki keindahan alam berupa hamparan gurun yang menyerupai mata di tengah Gurun Sahara(menjadi julukan untuk Mauritania sebagai tempat terdapatnya Eye of Sahara), puluhan ribu tahun yang lalu, Mauritania adalah tanah yang subur dan menghijau. Fakta arkeologi menunjukkan bahwa suku Berber dan negro Mauritania hidup berdampingan sebelum padangpasir menyebar menuju ke arah selatan. Pada abad ke 3 dan 4, suku Berber mengembara ke arah selatan untuk menghindari perang di daerah utara, dengan menggunakan jasa transportasi unta, dan lama kelamaan mereka membentuk sebuah konfederasi Sanhadja. Mereka berdagang dari daerah utara ke selatan (Timbuktu, Mali) emas, budak dan gading dan ditukar dengan garam, tembaga dan pakaian. Rute perdagangan ini akhirnya dijadikan rute penyebaran Islam di Afrika Barat, dan Islam berkembang di Mauritania secara sempurna ketika Bani Almoravids (al-Murabitun) menguasai Mauritania pada abad ke-11, dan berhasil menaklukkan Sudanese Kingdom dari Ghana, yang akhirnya menyebar sampai seluruh Afrika Utara dan aklhirnya menaklukkan Spanyol. Namun pada akhirnya Almoravid ditaklukkan oleh Bani Hassan pada abad ke-16. Mauritania adalah negara bekas jajahan Perancis, terletak di Afrika Utara, tepatnya di Gurun Sahara, berbatasan dengan Lautan Atlantik, Sahara Barat, Aljazair, Mali dan Senegal. Mempunyai luas wilayah sekitar 1.030.700 km2, beriklim panas, kering dan berdebu. Negara seluas itu hanya berpenduduk 2.998.563 jiwa (Juli 2004), 100% beragama islam, dengan angka pertumbuhan sekitar 2,91%. Angka kelaihiran rata berjumlah 41,79 dan angka kematian 12,74 per-1000. Etnis terbesar adalah Berber (white moor/Beydane dan black moor/Haratine) sebanyak 70%, selebihnya 30% terdiri dari suku Halpulaar (Fulani), Soninke dan Wolof. Bahasa nasional mereka adalah Arab Hassaniya, yaitu bahasa Arab dengan dengan campuran kata-kata Berber. Bahasa Perancis dan bahasa local, seperti Pulaar, Soninke dan Wolof juga resmi digunakan. Mauritania memperoleh kemerdekaan dari Perancis pada tanggal 28 Nopember 1960. Sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, Mauritania sejak abad ke-11 dikuasai oleh Bani Almoravids (al-Murabitun), dan berhasil menaklukkan Sudanese Kingdom dari Ghana. Kemenangan Almoravids ini terus menyebar sampai seluruh kawasan Afrika Utara dan pada aklhirnya menaklukkan Spanyol. Namun pada gilirannya Almoravid ditaklukkan oleh Bani Hassan pada abad ke-16, terkenal dengan perang 30 tahun di Mauritania pada tahun 1644 s/d 1674. Perancis masuk ke Mauritania pada abad ke-20, yaitu pada tahun 1903,, dan menjadikan Mauritania sebagai negara protektorat Perancis dengan nama ‘the Moorish Country’, dan akhirnya dijadikan koloni Perancis pada tahun 1920. Pada tahun 1958, Mauritania diberi pemerintahan sendiri dan diikuti dengan kemerdekaan pada tanggal 28 Nopember 1960. Sejak awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1978, Republik Islam Mauritania dipimpin oleh Presiden sipil, yaitu Moktar Ould (walad) Daddah, seorang pengacara dari ras Moor putih. Pada pemerintahan Daddah inilah. Mauritania mempunyai mata uang sendiri, yang dikenal dengan nama ‘Ouguiya’, dan berhasil menguasai Sahara Barat (Polisario) selama 4 (empat) tahun (1975-1979). Sayangnya, pemerintahan Daddah harus berakhir secara tragis, karena dikudeta oleh militer pada tahun 1979 oleh Letnan Kolonel Mohamed Khouna Ould Haidalla. Regim ini dikenal represif dan korup. Pada pemerintahan Haidalla juga dikenal sangat lunak dan bersahabat dengan para pejuang Polisario. Hal ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada tanggal 2 Desember 1984, Letnan Kolonel Maayouia (Muawiyah) Ould Sid (Sayyid) Ahmed Taya (lahir di Atar, selatan Mauritania, pada tahun 1941) melakukan kudeta berdarah. Ahmed Taya bersikap netral terhadap Polisario (Sahara Barat). Sebaliknya, pada tahun 1989, terjadi perang perbatasan dengan Senegal, dan akibatnya puluhan ribu penduduk asli Afrika (Fulaar/Fulani, Soninke dan Wolof) diusir dari Mauritania. Namun akhirnya, hubungan dengan Senegal membaik kembali. Sedangkan untuk mempererat dengan sesama negara Arab Maghribi, Mauritania membentuk The Union of The Arab Maghreb bersama Maroko (Morocco) Libya, Tunisia dan Aljazair (Algeria). Organisasi bergerak dalam bidang politik dan ekonomi. Pada tahun 1991-1992, Presiden Ahmed Taya mengadakan reformasi politik, dengan melegalisasi pendirian multipartai dan kebebasan pers. Pada tanggal 18 April 1992, dideklarasikan Republik Kedua Mauritania. Mauritania termasuk pendukung Irak (Saddam Husein) ketika terjadi perang teluk tahun 1991. Akan tetapi, anehnya, pada tahun 1999, Presiden Ahmed Taya menjalin hubungan dengan Israel dan bersekutu dengan Amerika Serikat. Hal ini, sudah barang tentu ditentang oleh negara-negara Arab. Presiden Ahmed Taya, masih mendapat kepercayaan yang cukup besar dari rakyatnya (66% suara) sampai dengan tahun 2009, karena beliau terpilih kembali pada pemilihan presiden tanggal 7 Nopember 2003 yang lalu. di selatan. Negara ini jangan dikelirukan dengan negara kuno

Islam di Mauritania
Masjid Jami Nouakchott, ibukota Mauritania

Sebagaimana diketahui, Islam dianut oleh 100% penduduk Mauritania sejak abad ke-10. Dan lebih perkasa lagi, setelah Bani Hasaniyah menguasai Mauritania pada abad ke-16. Baik suku bangsa Moor/Berber (putih dan hitam), Pulaar (Fulani) Soninke, Tukolor atau Wolof adalah penganut Islam yang setia, sejak berabad-abad lalu. Mereka menganut madzhab Sunni, sedangkan aliran sufi yang dianut adalah sufi Qadiriyah. Mauritania dikenal sangat kental sebagai Republik Islam. Islam diterapkan dalam segala faktor kehidupan, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Oleh karena itu, Islam di Mauritania tidak perlu diperjuangkan seperti negara-negara Afrika hitam lainnya, namun perlu dikembangkan dengan benar, sesuai al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam Konstitusi yang telah diratifikasi pada tanggal 20 Juli 19991 ditegaskan bahwa ‘Mauritania adalah Republik Islam yang tak dapat diubah’. Selanjutnya dalam pasal 5 UUD tersebut dinyatakan bahwa ‘Islam adalah agama penduduk dan negara’. Dengan dua ayat tersebut menunjukkan bahwa Mauritania bukan negara sekuler, dan terjemahan selanjutnya adalah bahwa setiap penduduk Mauritania adalah Muslim, dan pegawai negeri di negara tersebut secara resmi harus beragama Islam. Namun, menyusul peristiwa pemboman WTC New York pada tanggal 11 September 2001, pemerintah Mauritania tidak ingin dijadikan sasaran kemaranah Barat, karena semata Mauritania adalah negara Islam. Seluruh kegiatan keagamaan di Mauritania di bawah pengawasan Kementerian Pengembangan dan Kebudayaan Islam. Sehingga pemerintah akan mudah mengontrol, apakah kehidupan keberagamaan di Mauritania masih tetap moderat atau sudah sampai pada tahap ekstrim. Karena perlu diingat, bahwa memang Pemerintah Mauritania mempunyai kedekatan hubungan, baik dengan Amerika Serikat maupun Israel. Pemerintah Mauritania, yang memang sebagai Negara Islam, tentu tak mau tercemar oleh kegiatan asing (baca: kegiatan ekstremis), semisal al-Qaedah, yang bisa saja meracuni generasi muda. Saat ini, memang banyak generasi muda Islam di belahan dunia manapun, sangat membenci terhadap ambivalensi politik luar negeri Amerika Serikat, yang dianggap sangat memusuhi Islam, sehingga mereka banyak terjebak pada tindakan terror sebagaimana dilakukan oleh al-Qaedah. Oleh karena itu, Mauritania sebagai negara Islam, tak ingin dianggap sebagai negara Islam yang suka dengan kekerasan dan memusuhi negara atau agama lain. Bila ini terjadi, tentu akan membahayakan pemerintah Mauritania sendiri. Pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Mauritania, Sheikh Al Avia Ould Mohamed Khounala pada tanggal 18 Mei 2003 yang lalu. Mauritania adalah negara Islam tak terkenal di Afrika Utara, ternyata sangat membanggakan bagi perkembangan Islam di dunia.

Kudeta Militer di Mauritania
Pasukan militer Mauritania menangkap Presiden Sidi Ould Cheikh Abdallahi dan Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed Waghf dalam operasi kudeta yang dilakukan ibukota negara itu. Selain menangkap presiden dan perdana menteri, pasukan militer juga menutup radio serta televisi pemerintah. "Kami mengadakan kontak dengan kedutaan besar kami untuk memperoleh kepastian mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di Nouakchott. Berdasarkan informasi awal, tampaknya sekelompok jendral menahan perdana menteri," kata seorang jurubicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Rabu (7/8). Mauritania dalam krisis politik dan pada Senin (4/8) lalu setelah 48 anggota parlemen meninggalkan partai berkuasa. Hal ini terjadi kurang dari dua pekan setelah mosi tidak percaya terhadap pemerintah mendorong perombakan kabinet. Presiden Abdallahi menjadi presiden pertama Mauritania yang terpilih secara demokratis tahun lalu setelah periode peralihan yang diawasi sebuah dewan militer yang mendepak presiden sebelumnya dalam sebuah kudeta tidak berdarah pada Agustus 2005. Negara gurun Afrika Barat itu memiliki sejarah kudeta sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 1960. Presiden Mauritania itu bulan lalu mengancam membubarkan parlemen setelah para wakil rakyat mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah barunya, yang kemudian mengundurkan diri. Anggota parlemen berusaha mengadakan sidang khusus untuk membentuk sebuah komisi yang akan menyelidiki tanggapan negara atas biaya hidup yang terus meningkat, dan juga pendanaan sebuah yayasan yang dikelola istri presiden. Mauritania merupakan salah satu negara miskin di Afrika yang mengimpor lebih dari 70 persen kebutuhan pangannya dan kini dilanda krisis pangan. Sementara itu di markas PBB, Sekretaris Jendral Ban Ki-moon menyatakan, ia sangat menyesalkan penggulingan pemerintah Mauritania dan mendesak pemulihan tatanan konstitusi. Komisi Eropa mengatakan, kudeta militer itu membahayakan kemajuan demokrasi yang dicapai negara Afrika Barat tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini. Kudeta itu juga membahayakan bantuan tambahan 156 juta euro (241 juta dolar) untuk tahun 2008-2013 yang telah disepakati dengan pemerintah Mauritania, kata Komisaris Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa Louis Michel
Presiden Mauritania, Mohamed ould Abdel Aziz bersama Kolonel Moamar Khadafy


Terorisme Mauritania hingga kini

Al-Qaidah Maghreb Islam (AQIM) mengatakan akan membuat "usaha baru" untuk membunuh Presiden Mohamed Ould Abdel Aziz setelah serangan yang gagal pekan lalu. AQIM mengatakan pihaknya akan terus menargetkan Abdel Aziz "selama perang proxy dilancarkan melawan Mujahidin atas nama Perancis terus berlanjut," kata pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita lokal ANI. Ia menyerukan tentara Mauritania untuk menggulingkan kepala negara, mengklaim dia "memaksakan perang pada mereka yang sebenarnya bukan mereka." Militer Mauritania meledakkan sebuah mobil yang penuh dengan bahan peledak minggu lalu, mencegah AQIM yang pada saat itu mengklaim merupakan sebuah upaya pembunuhan terhadap presiden. Kedutaan Perancis dan barak tentara juga ditargetkan, menurut beberapa sumber. Sementara itu, Menteri Kerjasama Perancis Henri de Raincourt mengatakan di Nouakchott bahwa Paris akan berdiri dengan Mauritania dalam memerangi AQIM. Pasukan Perancis berpartisipasi dalam serangan bersama dengan tentara Mauritania di tempat persembunyian AQIM di negara tetangga Mali dalam upaya yang gagal untuk membebaskan sandera Perancis Michel Germaneau tahun lalu. AQIM mengatakan akan mengeksekusi orang itu sebagai pembalasan atas serangan, yang menewaskan beberapa anggotanya. Pada hari Sabtu lalu anggota AQIM diduga meledakkan dirinya di Mauritania selatan setelah pasukan keamanan berhasil memojokkan dirinya. Seorang tersangka kedua ditangkap hidup-hidup dalam insiden di wilayah Brakna yang terpencil, dekat perbatasan dengan Senegal, kata mereka. Keduanya diyakini di antara beberapa anggota AQIM yang masuk Mauritania dari Mali dalam tiga kendaraan seminggu yang lalu dengan rencana untuk meluncurkan serangan di ibukota Nouakchott. Mauritania adalah di antara beberapa negara di wilayah Sahara di mana pejuang al Qaidah telah meningkatkan keberadaan mereka dengan serangkaian serangan dan penculikan. AQIM tumbuh dari gerakan Salafi militan di Aljazair dan telah bergerak ke arah selatan di mana ia mengambil keuntungan dari daerah padang pasir yang luas dan tanpa hukum Mauritania, Mali dan Niger.
Bangkai kapal di Teluk Nouadhibou


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar