Selasa, 24 Mei 2011

Saya dan Sarwito Wijoyo, Seorang Pahlawan Muda dari Gombong

                Sarwito Wijoyo, seorang pria pemberani yang lahir di Gombong pada 1 Januari 1933. Gombong kini adalah sebuah kecamatan yang terletak di wilayah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Kakek saya ini adalah anak kedua dari 7 bersaudara dan hanya dia bersama adik bungsunya yang kini tinggal di Jakarta. Pada tahun 1940, beliau disekolahkan kedua orangtuanya di sekolah HIS di Kecamatan Gombong. Hobi beliau ketika SD adalah menulis, dan banyak tulisannya yang diapresiasi oleh rekan-rekannya, mengingat menulis adalah suatu kegiatan yang belum banyak dilakukan orang. Beliau sudah pandai menulis dalam bahasa dan dan sastra jawa walaupun hanya sedikit kosakata. Selama bersekolah di HIS, kakek saya merasakan pengekangan yang ia alami bersama teman-temannya. Ia merasa tidak bebas dibawah tekanan  para penjajah dari Belanda. Sejak kecil, rasa nasionalisme beliau sudah mulai muncul, walaupun hanya sebuah keisengan seorang bocah lelaki. Ia pernah melempar batu kearah salah satu pos jaga milik militer Belanda, beruntung hanya diteriaki oleh petugas yang berjaga disana. Walaupun hanya berupa kenakalan, sifat ini nantinya menjadi dasar nasionalisme tinggi yang dimiliki beliau semasa mudanya. Kemerdekaan Indonesia sudah dipahami beliau sejak itu, walaupun hanya tersiar melalui radio, tetapi semangat dan rasa bahagia turut meluap di hati beliau. Pada tahun 1947, tentara Jepang menyerang Belanda dan menduduki Gombong. Tak ada seorangpun yang berani menandingi kekuatan tentara Jepang pada saat itu, sampai-sampai seluruh tentara Belanda meninggalkan Gombong untuk menuju ke Cilacap untuk kabur menuju Australia. Keluarga kakek saya pun takut dengan kekejaman yang akan dilakukan oleh Jepang mengingat peristiwa sebelum kemerdekaan dimana Jepang mengadakan romusha yang banyak membunuh masyarakat pribumi, terutama kaum seperti keluarga kakek saya yang merupakan orang biasa. Akhirnya keluarga kakek saya keluar dari Gombong dan pindah ke Kota Kebumen. Di tahun yang sama, kakek saya masuk ke SMP Negeri Kebumen dalam keadaan mengungsi. Kondisi sekolah yang buruk membuat proses belajar mengajar menjadi terhambat. Beliau pun merasa tidak nyaman belajar disana karena terkadang beliau sebagai bukan warga Kebumen dipindahkan sekolahnya ke sebuah balai, mengingat banyaknya warga Gombong dan sekitarnya yang masuk ke kota Kebumen. Kakek saya sekeluarga tinggal di rumah pamannya yang berada di kota tersebut. Kondisi di kota ini cenderung aman dibandingkan di Gombong, tetapi terkadang warga harus tetap waspada dengan tentara Jepang yang sewaktu-waktu ingin melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Pada tahun 1950, kakek saya melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri Yogyakarta dan tinggal bersama ayah ibunya yang juga ikut pindah ke kota ini. Beliau pada saat SMA seperti bintang kelas karena kecerdasannya dan kemampuannya bergaul dengan teman-temannya. Tak ada hari tanpa teman yang datang ke rumahnya, karena jarak antara sekolah dengan rumahnya cukup dekat, bisa ditembuh dengan berjalan kaki selama 15 menit. Pada tahun 1954, keinginannya untuk kembali ke tanah kelahiran dan mengabdi disana terkabulkan. Beliau langsung mengajar di 3 sekolah, yakni Taman Dewasa, SMP Muhammadiyah, dan Sekolah Kristen di Gombong. Tampaknya minat kakek saya untuk menjadi seorang pengajar di era kemerdekaan sangatlah tinggi. Itulah cita-cita beliau yang sangat mulia, mengajarkan generasi muda sebuah ilmu untuk masa depan mereka. Beliau mengajar di Gombong sampai tahun 1956. Kemudian orangtuanya menawarkan beliau untuk melanjutkan pendidikan di IKIP Bandung yang masih ada sampai saat ini. Ketika kita melewati Gegerkalong menuju Lembang, kita akan melihat sebuah gedung tua yang sudah direnovasi, itu dulu adalah tempat kakek saya mengajar. Beliau kuliah di IKIP Bandung sampai Sarjana Muda. Kemudian tahun 1963, beliau mengajar di Sekolah Pendidikan Guru di Bandung. Pada tahun 1967 beiau pindah tugas ke Jakarta dan bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Tugas non jabatan yang pernah dilakukan beliau adalah menjadi Ketua Pemilihan di Dirjen Kebudayaan. Beliau pensiun dari tempat itu pada tahun 1989.
            Semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai pemuda Gombong yang pemberani. Gombong dikenal sebgaia kota tentara Belanda, banyak tangsi(markas militer) milik Belanda di Gombong. Walaupun jarang terjadi kekerasan terhadap warga sipil, tetapi rasa benci mendalam sudah ada di dalam hati beliau. Enath apa yang mempengaruhi beliau untuk bersifat seperti itu, tetapi itulah yang menjadi modalnya untuk berani melawan penjajahan yang kembali lagi datang ke Tanah Air setelah kemerdekaan. Setelah Belanda kabur dari Gombong pada tahun 1947, pasukan ini kembali lagi di tahun kemudian dengan sekutunya Inggris dan Gurkha, yakni tentara bayaran dari India, terus menerus menyerang tentara Indonesia dan warga sipil di Yogyakarta yang ketika itu sebagai ibukota Republik Indonesia. Di Gombong, peperangan terjadi dengan ketiakseimbangan senjata. Warga sipil Gombong hanya bermodalkan keberanian. Tentara Indonesia menempatkan masyarakat sipil di berbagai tempat, dan kakek saya menjadi pemimpin di salah satu titik di kota itu. Walaupun kakek saya masih berumur belasan tahun, tetapi di titik itu ia bisa menjadi pemimpin karena lebih dominan kaum remaja dibandingkan orang yang lebih tua. Ini dikarenakan posisi ini hanyalah tempat untuk berjaga-jaga, jarang terjadi kontak senjata dengan Belanda. Namun beliau pernah pindah ke titik yang banyak diserang Belanda tanpa sepengetahuan ayahnya yang saat itu juga menjadi bagian dari kekuatan sipil. Beliau pernah memimpin penyerangan warga sipil yang menewaskan 2 orang tentara Belanda, dan merampas barang-barang serta beberapa senjata yang dimiliki pasukan Belanda di Gombong. Selama 4 hari tanpa tidur, kakek saya selalu siap bersama warga sipil lainnya untuk berjaga-jaga di pos dimana ia ditempatkan. Banyak warga Gombong yang mengenal keluarga kakek saya karena perjuangan kakek saya bersama seorang kakak tertuanya yang ikut melawan Belanda. Kakek saya pernah mengantarkan 15 orang warga sipil yang terluka dan merasa ketakutan dengan penyerangan yang dilakukan Belanda. Kakek saya memindahkan mereka menuju Kebumen, basis warga sipil ketika itu. Banyak orang-orang yang sudah kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar atau sudah dirusak, maka beliaulah yang bertugas mengantarkan keluarga-keluarga ini, terutama orang-orang yang sudah lanjut usia. Bergabung di tentara sipil juga sangat membutuhkan kecerdikan. Salah satunya adalah dengan cara menyelundupkan pakaian dan makanan di Pasar Wonokriyo di Gombong. Gombong banyak terdapat orang-orang kaya yang bekerja untuk Belanda, namun mereka juga membantu perjuangan warga Gombong lainnya. Mereka adalah pintu untuk penyelundupan kain dan makanan yang pada saat tu sulit didapatkan. Ternyata perjuangan kakek saya tidak sia-sia. Pasukan Belanda akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan Jawa Tengah. sampai saat ini cerita perjuangannya masih dikenang sampai saat ini. Ketika saya bepergian dengan beliau pada tahun 2010 lalu menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta, kami melintasi kota Gombong dan juga areal pemakaman di sebelah stasiun Gombong. Ketika melintas beliau berkata, “Disini tempat pahlawan-pahlawan Gombong dimakamkan, saya masih ingat waktu Belanda datang lagi ke tanah ini”. Tampaknya kenangan masih lalu masih teringat jelas sampai saat ini, kenangan akan keberanian melawan pasukan yang tak memiliki rasa kemanusiaan dan merampak hak bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar