Senin, 30 Mei 2011

Tugas-3: Saya dan Museum Nasional, Menyusuri Masa Lalu Dengan Cara yang Menyenangkan

Pada hari Sabtu 28 Mei 2011 lalu, saya bersama Gitasha dan Filza berkumpul di bilangan Pondok Indah untuk pergi ke Museum Nasional, atau yang biasa disebut dengan nama Museum Gajah. Tepatnya pada pukul 10.00 pagi, kami berkumpul dan memulai perjalanan kami ke museum itu. Untuk pertama kalinya saya pergi ke museum dengan teman-teman tanpa rombongan sekolah lainnya, dan untuk pertama kalinya juga saya mengunjungi Museum Nasional ini.
Pada awalnya saya bertanya-tanya, mengapa museum ini disebut sebagai Museum Gajah, padahal koleksi di dalamnya tidak berhubungan dengan hewan gajah? Tapi pertanyaan saya terjawab sudah saat melihat indahnya monumen gajah di halaman depan museum, ditengah kolam yang pada saat itu tidak dinyalakan.

Monumen gajah itu sendiri memiliki sejarah yang sangat menarik bagi Indonesia. Monumen gajah ini merupakan sebuah pemberian dari Raja Thailand pada tahun 1871. Raja Chulalongkorn, yang memerintah Thailand pada saat itu menghadiahkan patung gajah dari perunggu ini, sebagai lambang dari Negara Thailand untuk Indonesia.
Museum ini sangat patut untuk disebut sebagai Museum Nasional. Begitu banyak dan lengkap koleksi di museum ini yang melambangkan keanekaragaman budaya di seluruh Indonesia. Mulai dari Pulau Sumatera hingga Papua, semua benda-benda kebudayaannya tersimpan dengan rapi di museum ini. Meskipun bangunan utamanya masih sangat asli, namun dekorasi dan peletakan koleksi museum di sini sangat terorganisir, membuat saya sebagai pengunjung merasa nyaman untuk mengeksplor isi museum ini satu per satu.

Bersama dengan kedua teman saya itu saya melihat-lihat koleksi museum ini satu persatu, mulai dari gedung lama di sisi kiri, hingga ke taman di tengah museum yang berisi arca dan patung-patung peninggalan hindu-budha. Ruangan demi ruangan kami masuki, dan melihat-lihat objek mana yang cukup menarik perhatian untuk diselusuri lebih jauh. Setelah puas melihat koleksi di bangunan lama museum ini, kami berniat untuk melanjutkan ke lantai 2, yang berisikan koleksi perhiasan dan harta karun.

Namun sebelum itu, saya melihat sebuah pintu kayu, dengan ukiran halus yang sangat indah di sebelah kanan museum, tepatnya di belakang tangga. Pintu itu tertutup, namun lampu di dalamnya menyala, membuat saya penasaran ingin melihat apa di dalamnya. Ternyata di dalamnya adalah koleksi-koleksi sejarah yang didapatkan pada masa Portugis di Indonesia. Koleksi yang indah tertata rapi di ruangan ber-AC. Sayang sekali, karena pintu yang tertutup rapat dan lokasinya yang cukup tersembunyi membuat ruangan ini sepi dari pengunjung.

Di ruangan ini pula saya menemukan benda yang menjadi objek tugas ke-3 ini, yaitu Meriam Lela. Yang membuat meriam ini berbeda dari meriam lainnya, adalah detail ukiran yang unik di sisi meriam yang senantiasa mempercantik rupa meriam ini.

Meriam Lela ini terbuat dari Perunggu, dan berasal dari Kalimantan sejak abad ke-18. Meskipun meriam Lela ini asalnya dari Kalimantan, namun meriam Lela yang ada di Museum Nasional ini merupakan peninggalan dari Instana Mangkunegara dan pernah digunakan sebagai atribut upacara penobatan Raja Mataram (Pakubuwono II) pada tahun 1727.

Jika dilihat dari bentuknya, meriam Lela ini termasuk juga ke dalam jenis meriam bumbung, karena berbentuk silindris seperti bumbung bambu. Meriam ini biasanya digunakan sebagai pelengkap upacara meminang. Meriam jenis ini banyak juga dibuat di Negara Kalimantan Selatan (sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan). Kalimantan Selatan bukan hanya memproduksi meriam, tetapi juga memproduksi alat rumah tangga lainnya, seperti kendi dan gong. Menurut hasil pengamatan, masyarakat setempat tidak menggunakan meriam lela sebagai pelengkap upacara meminang seperti halnya tradisi yang berlaku di Kalimantan Barat dam Kalimantan Tengah. Namun meriam ini biasanya kaya akan ragam hias yang dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat pada masa itu seperti pola geometris, sulur-suluran, gambaran buaya, ikan, kuda laut, dan lain sebagainya. Pola hias pada meriam Lela yang ada di Museum Nasional ini merupakan pola hias yang dikenal sejak masa prasejarah melalui masa Hindu dan terus berkembang sampai masa kemudian.

Dari penjelasan di atas, saya menjadi tertarik untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan meriam di Indonesia. Melihat lamanya Indonesia berada di bawah jajahan Negara-negara lain, sudah sepatutnya Indonesia memiliki perlengkapan perang yang baik seperti meriam ini salah satunya. Beruntung sekali saya, karena Museum Nasional ini selain memiliki koleksi yang sangat beragam dan cukup lengkap, juga menyertakan penjelasan mengenai koleksi-koleksi yang dimilikinya.
Kata “meriam” berasal dari bahasa Portugis untuk menyebut “Santa Mariam”. Prajurit-prajurit Portugis dalam peperangan selalu meminta perlindungan kepada roh-roh suci seperti Santa Mariam. Kata”Mariam” dilafalkan orang Indonesia sebagai “meriam”, yang dimaksudkan untukmenyebut senjata untuk menembak jarak jauh. Selain sebagai senapan, meriam termasuk jenis senjata api yang menggunakan serbuk mesiu. Kekuatan angkatan perang bangsa Eropa yang ditunjang oleh peralatan perang yang memadai, seperti meriam, menyebabkan raja-raja di Indonesia berusaha untuk memiliki berbagai jenis meriam. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mempertahankan wilayahnya dari penguasaan bangsa asing.

Meriam-meriam itu diperoleh dengan cara membeli dari Negara-negara pembuat meriam, dari hasil rampasan peragng dan dengan membuat sendiri. Mulai abad ke-17 dan sesudahnya, meriam telah dibuat di Indonesia. Daerah pembuatan meriam yakni Jepara dan Surakarta. Kepandaian membuat meriam ini diperoleh dari bangsa Portugis. Ketika terjadi perselisihan antara VOC dengan raja-raja di Indonesia, mereka meminta bantuan senjata kepada Portugis. Portugis tidak hanya membantu menyediakan persenjataan, melainkan juga mengajarkan cara mengecor logam untuk dijadikan senjata meriam. Pada mulanya, meriam dibuat dari lempengan-lempengan besi yang disusun dan diikat. Dalam perkembangan selanjutnya, meriam dibuat dengan menggunakan teknik cor logam.

Meriam-meriam kuno yang menjadi koleksi sejarah di Museum Nasional berasal dari Eropa, seperti dari Portugis dan Belanda. Namun adapula beberapa yang dibuat di Indonesia.
1. Meriam coak
Merupakan meriam yang memiliki lubang pada pangkalnya yang berguna untuk mempercepat proses pembakaran mesiu sehingga mempercepat penembakan meriam.
2. Meriam bumbung
Meriap yang bentuknya seperti bumbung (pipa yang terbuat dari bamboo). Meriam bumbung berbentuk silinder yang makin mengecil di bagian ujungnya. Dari pangkal sampai ke ujung laras nampak kekar, gemuk dengan bagian pangkal yang tebal. Mungkin sengaja dibuat sedemikian agar mampu menahan tekanan yang terhimpun pada bagian pangkal ketika mesiu dibakar.
3. Meriam lela
Meriam berukuran kecil, dipenuhi ragam hiasan dan biasanya digunakan untuk upacara keperluan adat.

Beberapa meriam dilengkapi dengan ragam hias yang selain bertujuan untuk memperindah meriam itu sendiri, juga sering memiliki makna dan arti tertentu, seperti adanya lambang dan tulisan-tulisan. Adanya lambang atau tulisan pada meriam itu sendiri juga sering memiliki makna dan arti benda tersebut. Biasanya lambing yang terdapat pada meriam kuno merupakan lambing dari suatu Negara atau dari gabungan usaha tertentu, misalnya lalambang Negara portugis, belanda, atau lambing VOC.

Meriam di Indonesia memiliki fungsi antara lain sebagai berikut.
1. Meriam altileri digunakan untuk perang di darat.
2. Meriam benteng digunakan sebagai pertahanan benteng.
3. Meriam kapal digunakan untuk perang di atas laut
4. Meriam upacara digunakan sebagai pelengkap upacara adar dan mas kawin. Biasanya meriam upacara ini dibuat dari perunggu, yang pada waktu itu dianggap sebagai logam terbaik untuk pembuatan meriam.

Di samping pengetahuan yang cukup banyak mengenai sejarah meriam di Indonesia, saya juga dikagumkan dengan patung setengah badan yang terbuat dari perunggu di sisi kiri ruangan. Patung setengah badan ini adalah patung dari Sir Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur selama masa pemerintahan Inggris di Jawa, tepatnya pada tahun 1811 hingga 1816. Sir Raffles merupakan seorang tokoh yang memprakarsai pembangunan gedung baru untuk lembaga masyarakat Batavia di Jalan Majapahit no. 3, yang sekarang ini menjadi Museum Nasional. Kertarikan beliau di beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti antropologi, serta sejarah dan arkeologi, menyebabkan beliau dikenal sebagai penyokong sekaligus menjadi direktur perkumpulan Bataviaash Genotshap serta mengarang buku “The History of Java”. Dan tidak hanya itu saja, Sir Raffles juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan, antara lain :
1. Jawa dibagi dalam 16 karesidenan sebagai usaha agar dapat mengontrol wilayah-wilayah tersebut.
2. Sistem baru di bidang peradilan.
3. Meringankan kerja rodi.
4. Melarang perbudakan.
5. Mendirikan Kebun Raya Bogor.

Melihat banyaknya peran beliau terhadap perkembangan pengetahuan Indonesia. Maka sudah sepatutnya patung beliau menjadi salah satu koleksi dari Museum Nasional ini, agar warga Indonesia saat ini lebih mengenal dan mengetahui sejarah Indonesia pada zaman dulu, termasuk orang-orang yang berperan penting di dalamnya.

Setelah menelusuri dan melihat-lihat koleksi yang terdapat di gedung lama, saya tertarik untuk melihat koleksi-koleksi yang telah dipindahkan ke gedung baru. Dengan nuansa yang lebih modern, saya mengagumi penataan ruangannya yang sedemikian rupa, membuat saya dan mungkin masyarakat muda lainnya lebih dapat menikmati kunjungan museum ini.


Di gedung baru, saya dapat melihat berbagai replika dari prasasti-prasasti bekas peninggalan kerajaan-kerajaan zaman dahulu. Seperti prasasti Ciareuteun dan lain sebagainya. Selain itu, di lantai 4 gedung baru, kami juga disuguhkan dengan berbagai perhiasan logam yang mayoritas terbuat dari emas murni, yang juga peninggalan dari kerajaan-kerajaan kuno. Sedangkan di lantai dasar, kami dapat melihat makam-makam fosil manusia purbakala yang tersimpan rapi di dalam kaca, yang terletak di dalam dekorasi gua yang sangat indah.

Museum ini sangatlah patut untuk dikunjungi. Bahkan saya merasa malu, karena baru di umur saya yang ke 15 ini saya mengunjungi Museum Nasional ini, padahal saya telah tinggal di Jakarta sejak lahir. Mendengar kabar bahwa Museum ini akan mengadakan ekspansi lagi dengan menambah gedung baru, membuat saya semakin tertarik untuk mengunjungi museum ini untuk kedua kalinya. Meskipun pada awalnya saya merasa dibebani dengan tugas mengunjungi museum, namun saat saya menjalaninya, saya merasa sangat puas dan bersemangat untuk menelusuri sejarah Indonesia lebih jauh. Pesan saya untuk generasi muda, semoga dapat lebih awas akan pentingnya kebudayaan dan sejarah dari Indonesia. Hal tersebut salah satunya dapat dimulai dari kunjungan ke museum-museum yang tak kalah menyenangkan.

2 komentar:

  1. him,,,,
    super buat artikel ini
    lanjut trus yah


    sekilas
    oh yah nama saya terbin samosir
    nak medan
    aku mau kenalan ma kamu,,,,
    ni email q terbinnesia@gmail.com

    BalasHapus
  2. Photo kedua, itu pooto sampaing Yoni. Perwujudan penis kelamis laki-laki, keren..

    BalasHapus