Minggu, 05 Juni 2011

Saya dan Tokoh Sejarah: Sejarah di Mata “Kaki” Sang Mantan RI 2

Prolog: Sebuah Curahan Hati Penulis

Bukan bermaksud untuk membanggakan keturunan, hanya sekedar menunjukkan kelemahan diri saya. Sebagai seorang yang dapat dikatakan lahir diantara tokoh-tokoh besar walaupun hanya sebagai kurcaci yang bersembunyi diantara raksasa-raksasa sejarah, seharusnya saya tidak mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas ini. Diantara tokoh besar tersebut, Pak Sudharmono (Alm) yang pernah menjabat sebagai Mensekneg dan Wakil Presiden Republik Indonesia merupakan suami dari bude ibu saya, Pak Andung Nitimihardja (Alm) yang pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Duta Besar Indonesia untuk Meksiko merupakan paman saya, dan paman saya yang lain, Pak Firman Ghani merupakan mantan Ajudan wakil presiden Try Sutrisno, Kapolda Maluku dan Kapolda Jawa Timur, serta tak ketinggalan kakek saya, TB. Arifin (Alm) yang merupakan ayah dari ibu saya, yang dahulunya merupakan pejabat eselon 1 di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Namun, karena kebanyakan dari mereka sudah lama meninggal dan kalaupun ada yang masih hidup, baik sebagai pelaku maupun hanya sekedar saksi hidup, sangat sulit untuk ditemui karena sebagian mereka telah memasuki usia yang cukup tua sehingga pikun, sulit untuk mengingat peristiwa-peristiwa itu ataupun berada di luar kota dan saya sebagai penulis kurang memiliki waktu senggang untuk itu sehingga agak tersendat-sendat dalam proses pengerjaan. Setelah sekian lama, akhirnya saya memutuskan untuk mewawancarai salah satu “orang terdekat” Pak Sudharmono yang sempat merasakan hidup sehari-hari bersama beliau, yaitu supirnya yang bernama Pak Engkos yang saat ini tinggal di kawasan Cilandak.

Pada Rabu sore yang sejuk, sepulangnya saya dari sekolah, saya berpapasan dengan beliau. Hal ini adalah kejadian yang biasa, memang karena rumahnya dapat dicapai dengan berjalan kaki dari rumah saya. Namun saya kemudian teringat dengan tugas yang diberikan kepada saya dan saya memutuskan untuk mewawancarai beliau, sehingga saya kembali keluar dan hendak mencari beliau. “Mau pergi lagi, ya dek?” kata beliau seraya tertawa melihat saya keluar dari pintu rumah. Ternyata beliau masih berada tak jauh dari pintu rumahku. Lalu, saya utarakan maksud saya untuk mewawancara beliau. Beliau tambah tertawa geli mendengarnya dan berucap “Boleh saja, tapi bapak kan bukan siapa-siapa”.

Pria Tua Yang Ramah

Lalu, siapakah Pak Engkos yang hendak saya ceritakan ini? Ia adalah suami dari seorang istri dan seorang ayah dari tiga anak, beliau hampir memasuki usia kepala delapan, usia yang dapat dikatakan panjang untuk ukuran orang masa kini yang rata-rata meninggal pada usia kepala enam. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana di Cilandak bersama istri dan ketiga anaknya tersebut, walaupun beliau masih belum dikaruniai cucu dari ketiga anaknya, dan seorang keponakannya yang duduk di kelas 5 SD yang bernama Fajar yang ia perlakukan layaknya cucunya sendiri. Untuk orang seusianya, dapat dikatakan ia masih gagah, badannya masih tegap, berambut putih, berkacamata dan murah senyum. Hampir setiap sore, ia duduk di depan rumahnya, kadang ia duduk seorang diri, kadang ia ditemani sang istri atau pergi ke poskamling terdekat untuk berbaur bersama teman-temannya, kadang sambil minum kopi, menonton pertandingan bola lewat televisi, atau sekedar berbincang-bincang, yang mana teman-temannya rata-rata juga telah banyak mengalami asam-garam kehidupan dan tengah menikmati masa tua. Sering kali ketika saya bertemu dengannya sepulang dari sekolah, beliau menyapa dengan sapaan khasnya, yaitu “Baru pulang sekolah, ya dek?” disertai dengan senyuman dengan sedikit tawa yang merupakan ciri khasnya yang membedakan dengan orang lanjut usia lainnya. Ya, beliau adalah seorang pria tua yang ramah.

Masa Kecil dan Masa Muda

Pak Engkos lahir di Sukabumi pada tanggal 25 Agustus 1932. Beliau bukanlah orang yang terlahir dari keluarga terpandang kala itu, sehingga beliau tidak pernah mengenyam pendidikan apapun. Masa muda beliau dihabiskan dengan bekerja untuk penjajah sebagai buruh atau tenaga kerja kasar, tepatnya pada masa penjajahan Jepang. “Waktu dulu dek, saya tidak pernah merasakan sekolah. Pas jaman Jepang, saya sudah kerja. Ya, kerja menggali lubang-lubang yang dalamnya sekitar 2 meter untuk keperluan militer Jepang, walaupun pada saat itu sih belum tahu gunanya untuk apa dan kayaknya tidak terpakai”. Pada masa penjajahan Jepang yang pada saat itu kurang lebih usia beliau sekitar antara 10 sampai 12 tahun yang dapat dibilang usia remaja, beliau “ikut serta” menggali lubang-lubang yang saya perkirakan akan menjadi bunker untuk kepentingan Jepang. Adapun mengapa lubang-lubang itu tidak terpakai lagi karena seingat saya tidak ada perang yang begitu fenomenal yang tercatat dalam buku teks sejarah yang meletus disana, dan kemungkinan Jepang membuatnya hanya untuk berjaga-jaga. Bayangkan betapa kejamnya penjajah Jepang ketika pada usia yang sangat muda, anak-anak seharusya bermain atau diberi pendidikan, bukannya dipekerjakan. Sedangkan pada masa penjajahan Belanda, beliau tidak menceritakannya. Kemungkinan pada masa itu anak-anak Sukabumi relatif masih bisa bermain bebas layaknya anak-anak pada umumnya. Pada usia 18 tahun, yaitu sekitar tahun 1949 atau 1950, beliau memutuskan untuk mengadu nasib dengan merantau ke Jakarta dan pada saat itu beliau kembali menjadi buruh, kali ini buruh pabrik di sebuah pabrik sabun.

“The Transporter”

Suatu ketika, nasib mempertemukan beliau dengan Pak Sudharmono seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya di atas, Pak Engkos bekerja sebagai supir Pak Sudharmono. “Pak Dhar orangnya baik, sabar dan tidak pernah marah sehingga saya merasa nyaman bekerja untuk beliau” ujar Pak Engkos seraya mengingat-ingat kembali. Peristiwa yang paling beliau ingat pada saat itu adalah peristiwa 27 Juli 1996, meskipun kala itu Pak Sudharmono tidak lagi menjabat RI 2. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Pak Engkos dan ayah saya, peristiwa itu adalah peristiwa pendudukan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro oleh massa pendukung Suryadi. “Pada kala itu, di dalam intern PDI sendiri telah diadakan kongres untuk menentukan pimpinan partai tersebut dan berdasarkan hasil kongres, Megawati Sukarnoputri berhak menempati posisi Ketua Umum PDI. Namun, pemerintahan Suharto hanya mengakui bahwa Suryadi yang notabene pro-pemerintah sebagai ketua umum partai tersebut, sehingga terjadilah bentrokan tersebut. Saat itu, Suryadi nampak diperkuat oleh massa yang berpakaian preman yang disinyalir satuan pengamanan” kata ayah saya yang mencoba membantu saya memahami peristiwa tersebut. “Pada saat itu, Pak Sudharmono hendak akan pulang dari kantor BP7 di Jalan Proklamasi ketika kejadian itu berlangsung di kantor PDI di Jalan Diponegoro. Pada saat itu keadaan kacau balau sehingga diarahkan oleh Pak Suryadi ke Cikini jadi saya mengantar beliau pulang menuju Senopati melalui Cikini” cerita Pak Engkos. Yang membuat saya sedikit bingung, bagaimana Pak Suryadi memberitahunya untuk lewat Cikini, apakah melalui massanya yang kurang tahu atau Pak Suryadi sendiri yang menginstruksikan Pak Sudharmono atau Pak Engkos yang kemungkinan lewat telepon. Hingga kini, walaupun Pak Sudharmono telah tiada, Pak Engkos masih sering mengunjungi kediamannya pada tiap hari lebaran untuk bersilaturrahim dengan keluarga besar Pak Sudharmono, bersama dengan para kaki-tangan pak Sudharmono lainnya.

Sedikit Tentang Tragedi 27 Juli 1996

Untuk tragedi ini, terdapat bermacam-macam nama orang menyebutnya. ada yang menyebutnya Peristiwa 27 Juli 1996, ada yang menyebutnya Tragedi 27 Juli Berdarah, KUDATULI ( Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), sabtu kelabu dan sebagainya. Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Sukarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Suryadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Mengulas kembali pernyataan ayah saya yang sebelumnya menuturkan bahwa ada kejanggalan seperti massa yang berpakaian merah memiliki beberapa ciri khas yang menurut ayah saya hanya dimiliki satuan pengamanan (Polisi atau TNI) dan dikatakan bahwa Suryadi telah mendapat pengakuan dari Pemerintahan Suharto, ada sedikit kemungkinan walaupun sedikit mereka-reka, bahwa rezim Suharto memiliki peran dalam insiden ini sehingga masih menjadi suatu hal yang membingungkan saya pribadi sebagai penulis.

Epilog: Yang sudah lalu biar berlalu

Sebagai sebuah artikel mengenai sejarah, mungkin pembaca merasa sedikit aneh,mengapa penulis memberi judul bagian tersebut demikian? Karena, tampaknya filosofi inilah yang dianut Pak Engkos. Ketika menceritakan kisah hidupnya, beliau menjawabnya dengan singkat padat dan jelas seraya masih menyunggingkan senyumnya yang diselingi sedikit tawa. Dapat dikatakan, semua yang saya tulis di artikel ini adalah semua yang ia katakan. Selama saya mewawancarai beliau, saya merasa ia seolah mengatakan kepada saya “Yang sudah lalu biarkan saja berlalu, yang penting masa kini dan masa yang akan datang bahagia”. Mungkin, telah banyak pengalaman pahit yang ia rasakan namun ia berupaya untuk tidak mengeluh dan melupakan masa lalunya yang kelam. Ia tidak terbawa perasaan ketika ia bercerita tersebut walaupun pernah beliau sedikit berhenti tersenyum. Ya, biarlah pria tua tersebut menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan bebas tanpa beban yang berarti. Kalau mungkin pembaca sudah melihat seluruh isi artikel ini dan menemukannya mirip dengan sumber lain di internet atau kekurangan lainnya, saya hanya dapat memohon maaf. Semoga bermanfaat!

Reza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar