Rabu, 13 April 2011

16 Tahun Hidup Saya: Sebuah Autobiografi Anak Biasa


      Setiap manusia mengalami kehidupan, dengan kisah hidup yang berbeda-beda, ada yang mengalami hidup bahagia bak di negeri dongeng, adapula yang mengalami kesengsaraan bagaikan mimpi buruk tiada akhir. Meskipun demikian, roda kehidupan senantiasa berputar, tak ada manusia yang terus-menerus mengalami kebahagian atau sebaliknya, mengalami kesukaran yang begitu hebat bertubi-tubi. Kesamaan dari kisah hidup manusia ialah setiap lembaran kisah hidup selalu dimulai dengan kelahirannya dan berakhir dengan kematiannya dan setiap kehidupan memiliki hal yang mungkin menarik untuk diceritakan, meskipun itu merupakan kehidupan insan biasa yang dapat dibilang tak ada istimewanya, tak ada satupun penghargaan terpajang namun tak pernah mengalami ujian hidup yang berat. Ya, itulah saya.

Masa Balita
    Hidupku bermula saat pertama kali aku dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember tahun 1994 dengan nama lengkap Mohamad Reza Kurniawan. Saya lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, yang mana kakakku yang bernama Gustav lahir kira-kira 16 tahun sebelum diriku dan kelak adikku yang bernama Irfan  lahir dua tahun setelahku. “Dulu ibu bekerja di TMII sebagai sekretaris, namun untuk mengurus dua anak ini (saya dan adik saya), ibu jadi berhenti bekerja.” begitulah cerita ibuku. Sejak kelahiranku, ibuku hanya menjadi ibu rumah tangga dan ayahku adalah seorang wiraswastawan di bidang farmasi. Lalu bagaiamana dengan kakakku, mengapa dalam pernyataan tadi ia tidak disebut? Sedari kecil, ternyata kakakku berada dalam asuhan kakek dan nenekku di Pasar Minggu, sampai nenekku meninggal dunia sementara kedua orang tuaku tinggal di Plumpang, Jakarta Utara pada saat itu dan itulah mengapa kakakku menyebut kedua orang tuaku dengan panggilan “kang” dan “mbak” sampai saat ini. Pada saat saya berusia sekitar 6 bulan, saya dan keluarga saya meninggalkan Plumpang dan pindah tempat tinggal di daerah Cilandak, di Jalan Gaharu 2 no. 36 tepatnya.“Kita pindah ke Gaharu ketika Reza masih digendong dan masih menyusu” kata ibuku.
        Dari saya kecil, tampaknya saya memang tidak suka keramaian. Awalnya, saya sempat mengenyam pendidikan di TK Islam Al-Ikhlas. “Reza ibu pindahkan ke TK Mutiara Indonesia karena Reza dulu tampaknya tidak mau sekolah di Al-Ikhlas, mungkin karena situasi disana terlalu ramai” kata ibu saya. Saya melanjutkan pendidikan di TK Mutiara Indonesia yang diasuh oleh Kak Seto, yang memiliki  maskot atau ikon yang terkenal, yaitu Si Komo. Setamatnya TK, kemudian saya melanjutkan pendidikan dasar yang sebenarnya di SDI Dwi Matra.
              Pada masa ketika saya balita, kondisi sosial-politik pada saat itu adalah bahwa rezim yang berkuasa adalah rezim Soeharto, yang akhirnya lengser dari jabatannya pada era Orde Baru oleh salah satunya karena tragedi kerusuhan pada 13 Mei-15 Mei 1998. Pada saat itu, banyak orang termasuk anak-anak lain seusia saya yang mengalami pengalaman buruk. Saya cukup beruntung karena saya tidak tinggal di dekat terjadinya kerusuhan sehingga tidak meninggalkan bekas di benak saya. Pengganti beliau adalah B.J. Habibie, yang sebelumnya merupakan wakil dari Presiden Soeharto yang naik jabatan pada 21 Mei 1998.
        Saya bersama Kak Seto pada saat diwisuda di TK Mutiara Indonesia
                                      


Masa SD   
     Pada masa saya menempati pendidikan dasar di Sekolah Dasar Islam Dwi Matra, banyak cerita saya alami. Dahulu, saya bukanlah anak yang memiliki kemampuan luar biasa, terutama dalam hal akademis, dapat dibilang saya agak terbelakang. Ibu saya telah berupaya keras dalam membimbing saya, hingga pada saat itu berbagai kursus kuikuti, namun Reza kecil merasa jenuh dan akhirnya keluar dari kursus-kursus tersebut. Titik balik saya adalah pada saat saya duduk di bangku kelas 4 SD, saya bertemu dengan seorang guru IPA yang merupakan alumnus ITB yang menunjukkan kepada saya bahwa sains itu ternyata menyenangkan. Pak Ichsan, begitulah biasa murid-muridnya memanggil beliau. Ia membimbing saya sedemikian rupa sehingga saya menyukai sains dan termotivasi untuk belajar lebih keras, bahkan dahulu saya bercita-cita untuk menjadi seorang ilmuwan kelak. Ketika kelas 5 SD, saya kembali mengalami kemunduran pada bidang sains karena pada saat itu saya – dan teman-teman saya – merasa kurang cocok dengan guru sains yang baru. Ibu saya kembali berniat untuk mendaftarkan saya ke suatu bimbingan belajar, namun kali ini sifatnya privat agar dapat lebih intensif. Atas bantuan Allah SWT melalui bimbingan guru saya yang bernama Bu Atun, saya dapat kembali merasakan bahwa sains bukan sesuatu yang harus ditakuti. Dengan berusaha, pada akhirnya, saya terpilih untuk mewakili sekolah saya untuk mengikuti olimpiade matematika ketika saya menjadi siswa kelas 6 SD, walaupun tidak berhasil memenangkan penghargaan.
       Sebagai anak kecil yang terbiasa menghabiskan waktu menonton tv, saya cenderung malas berolahraga. Sebelumnya saya bermain dan beraktifitas sama seperti anak biasa, namun karena beberapa hal yang kini saya anggap sepele, saya menjadi malas. Pada saat saya menempati bangku pendidikan kelas 2 SD, saya pernah bermain bola dengan teman-teman saya. Pada saat bola keluar garis lapangan, menurut saya itu “out” yang ternyata menurut teman-teman saya bukan. Dari perbedaan pendapat kecil inilah kemudian dilanjutkan dengan pertengkaran kecil yang tak memerlukan waktu lebih dari satu hari bahkan beberapa jam saja untuk meredakannya. Cerita tersebut mungkin masih hal sepele, namun yang membuat saya seakan tidak pernah menyentuh bola lagi adalah kejadian yang lain. Kira-kira ketika saya berusia 9 atau 10 tahun, saya memiliki kebiasaan menghabiskan waktu sore dengan teman-teman sekomplek bermain bola yang saya miliki. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai salah seorang teman saya yang memiliki bola lain tidak mengijinkan saya bermain dengan bolanya walaupun saya membolehkan ia untuk bermain bersama saya, entah apa alasannya. Temannya hanya bilang karena saya mempunyai bola sendiri dan dapat membuat “liga”sendiri, saya tak boleh bermain di liganya walaupun sampai sekarang saya tak mengerti kenapa. Puncak dari bentrokan ini adalah pada suatu saat, anak tersebut, yang tampaknya “berkuasa” atas anak-anak lain mengeroyok saya dan saya kapok untuk main diluar lagi dalam waktu yang sangat lama. Selain itu, kondisi kesehatan saya pada saat itu cenderung buruk sehingga mudah sakit dan tidak bisa bermain di luar.
    Ketika kelas 6 SD, saya harus menentukan pilihan, SMP mana yang akan saya pilih untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Banyak teman-teman saya yang telah mendaftar SMP swasta, namun tidak demikian dengan saya. Ayah saya pada saat itu berpikir bahwa apabila saya disekolahkan di sekolah swasta, akan sulit bagi saya untuk diterima di SMA negeri dan kelak sulit diterima di PTN, walaupun ibu saya awalnya ingin mendaftarkan saya di SMP Labschool Kebayoran. Atas rekomendasi paman saya, yang mana putrinya telah bersekolah di SMPN 19, maka kedua orang tua saya menginginkan saya untuk bersekolah disana dan saya bertekad untuk belajar lebih giat agar diterima. Akhirnya, tak ada satupun tes SMP swasta yang saya ambil dan Alhamdulillah, saya diterima di SMPN 19.
  Saya diantara teman-teman SD saya pada acara perpisahan di Puncak


    Saat-saat terakhir di Sekolah Dasar

Masa SMP
     Tiba pula saatnya bagi saya menikmati masa-masa SMP, walaupun saya agak sedikit menyesal bahwa saya tidak mempunyai banyak teman disana, walaupun saya tidak mempunyai musuh. Sebagai anak yang baru masuk SMP, saya menemui hal yang masih agak asing bagi saya, yaitu masa orientasi siswa, atau yang lebih dikenal dengan MOS. Saya tidak memiliki pengalaman buruk apapun tentang mos, bahkan tidak mengalami pengalaman apa-apa karena pada saat-saat itu, saya terkena penyakit diare selama 3 hari sehingga saya hanya dapat datang pada acara penutupannya saja.
     Pada awal kelas tujuh, ada tes untuk menjadi siswa kelas bilingual.  Saya merasa beruntung, karena dari sekian siswa, saya menjadi salah satu orang yang beruntung yang menjadi siswa kelas bilingual. Tak lama setelah tes bilingual berselang, diadakan tes untuk menjadi siswa kelas akselerasi. Sepupu saya yang telah lebih dulu sekolah disini telah mengikuti tes masuk akselerasi dan berhasil sehingga ia dapat mempersingkat waktu belajarnya di SMP yang normalnya selama 3 tahun menjadi dua tahun. Orang tua saya tidak setuju saya mengikuti tes akselerasi karena dikhawatirkan saya akan mengalami kesulitan, terutama dalam menerima pelajaran walaupun banyak teman-teman saya dari kelas bilingual yang tertarik untuk mengikuti tes akselerasi dan yang diterima relatif lebih banyak dibandingkan pada kelas lainnya sehingga kelas bilingual berkurang beberapa orang.
    Walaupun demikian, bukan berarti saingan menjadi berkurang. Saya mengalami kesulitan menyaingi dan mengimbangi teman-teman yang lain dalam hal belajar. Lagi-lagi, saya mengambil bimbingan belajar namun tetap gagal, karena materi yang dipelajari pada kelas bilingual SMPN 19 dengan  sekolah lain, bahkan kelas reguler SMPN 19 sedikit berbeda. Saya meyakini, bahwa masalah saya pada saat itu bukan hanya terletak pada kemampuan untuk menangkap materi, namun kemampuan saya dalam berbahasa Inggris yang merupakan modal penting bagi siswa bilingual terbatas. Oleh karena itu, saya mengikuti kursus bahasa Inggris di LIA. Setelah mengikuti tes penempatan, kemudian mengikuti kelas Bahasa Inggris tersebut, kemampuan saya dalam berbahasa Inggris tampaknya telah meningkat, bahkan pernah menjadi salah satu diantara siswa terbaik dan menerima beasiswa sehingga saya tidak perlu membayar iuran selama beberapa periode. Meskipun demikian, saya masih merasa kesulitan terutama dalam bidang matematika sehingga saya mengambil jam pelajaran tambahan sepulang sekolah. Bahkan setelah jam pelajaran tamabahan tersebut, selama SMP saya merasakan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit walaupun saya tidak menemukan masalah yang sangat berat di mata pelajaran lain.
      Karena kesulitan dalam pelajaran inilah, saya tidak pernah mengikuti kegiatan ekstrskurikuler selama SMP kecuali marawis, yang hanya saya ikuti pada saat saya kelas 2 SMP dan itupun hanya beberapa bulan. Itu sebabnya saya terkesan dan memang menjadi anak yang sangat menitikberatkan pelajaran dibanding hal-hal lainnya yang seharusnya dinikmati dan hanya memiliki sedikit teman dekat. Teman dekat saya pada saat itu bahkan dapat dihitung dengan jari, diantara mereka adalah Abram, Iman, Niko. Lebih dari itu, tak ada lagi hal-hal yang menarik untuk diceritakan.
      Kembali lagi pada saat yang penting, yaitu saat menentukan pilihan untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu SMA. Saya hanya akan bercerita tentang keinginan ibu saya yang tertunda, yaitu agar saya dapat bersekolah di Labschool Kebayoran. Kali ini, ayah saya mengizinkan saya untuk mengikuti tes penerimaan siswa baru SMA Labschool Kebayoran, karena ayah saya telah melihat bahwa banyak alumni SMA Labschool Kebayoran yang diterima di perguruan tinggi negeri, namun orang tua saya menasehati agar apabila saya tidak diterima, jangan terlalu kecewa karena kedua sepupu saya yang telah mecoba tes tersebut tahun sebelumnya dapat dibilang tidak berhasil, meskipun mereka adalah juara di sekolahnya masing-masing. Pada saat itu, banyak teman-teman satu sekolah yang mendaftarkan diri. Saya merasa agak tidak percaya diri, melihat banyaknya peserta lain yang mengikuti tes tersebut. Selain itu, mereka tampak berusaha lebih keras daripada saya. Hidup memang penuh misteri, keinginan ibu saya yang tertunda tersebut kini berhasil saya capai, walaupun awalnya tampak mustahil bagi saya yang belum pernah menyandang gelar juara kelas bahkan juara umum.



 Saya bersama teman-teman SMP


Sesaat sebelum Wisuda dan Pengumuman Kelulusan


Masa SMA
      Pada masa SMA yang saya alami kini, saya mengalami sedikit perubahan dibandingkan diri saya yang sebelumnya. Pada paragraf-paragraf sebelumnya, telah saya ceritakan bahwa saya bukanlah anak yang sepenuhnya mandiri. Dahulu, saya masih banyak bergantung kepada orang tua saya. Dalam mengambil keputusan, saya masih  tergantung kepada orang tua, bahkan dalam urusan transportasi, saya masih tergantung sepenuhnya pada orang tua. Namun kini, saya dibebaskan oleh orang tua saya untuk mengambil keputusan yang bijak, misalnya bagaimana saya akan meneruskan pendidikan saya dan bagaimana saya akan mencari penghasilan sendiri kelak. Selain itu, meskipun saya masih tampak sebagai anak yang terlalu mementingkan pelajaran di kelas dibandingkan dengan hal-hal lainnya, namun saya merasa teman-teman saya kini tidak hanya sebanyak jari-jari tangan lagi. Lalu, apakah yang membuat perubahan-perubahan pada diri saya ini?
       Mungkin dapat dikatakan, bahwa saya lebih dewasa kini. Diantara hal-hal yang saya rasa merubah diri saya ini adalah program-program yang terdapat disini. Sebut saja MOS, Trip Observasi, Bintama dan program-program atau hal-hal lain yang tak dapat saya sebutkan satu -persatu. Pada program-program ini saya belajar banyak hal, diantaranya kekompakan, kemandirian. Masih sulit bagi saya untuk mengungkapkan cerita-cerita lainnya pada masa SMA ini karena saya masih menjalaninya, hingga kini.


Mimpi Masa Depan
         Sama dengan impian orang kebanyakan, saya ingin selalu berubah kearah yang lebih baik. Lebih spesifiknya dan lebih muluknya, selulusnya saya SMA kelak saya akan meneruskan pendidikan di S1 Prasetya Mulya Business School, dan dapat meneruskan PT. Senotama Rama Mandiri yang didirikan oleh ayah saya bahkan meningkatkannya ke tingkat ekspor-impor. Saya rasa ini tidak mustahil karena ayah saya dulu pernah mendapat surat penawaran kerjasama dengan suatu perusahaan di India, namun mau tak mau ia tolak karena kekurangan tenaga kerja. Atau mungkin apabila perusahaan tersebut tidak dapat diwariskan kepada saya karena suatu hal, saya akan merintis usaha baru yang Insya Allah dapat menyamai bahkan melebihi kesuksesan perusahaan ayah saya.  Saya juga akan mendirikan akademi atau sekolah yang berafiliasi dengan sekolah internasional atau berstandar internasional bagi anak-anak berprestasi yang kurang mampu dan memaksimalkan kemampuan mereka, sehingga mereka dapat menjadi tenaga yang kompeten. Yang paling penting, menjadi orang yang Shaleh dan berilmu (Alim) agar bahagia di dunia dan akhirat. Tidak mungkin impian-impian besar ini akan terwujud, kecuali Allah menghendaki. Apabila cita-cita saya tidak terpenuhi, mungkin Allah telah merencanakan sesuatu yang lebih baik bagi saya. Amin.    

1 komentar: