Selasa, 31 Mei 2011

Berkunjung ke Museum Polri


Pada hari Minggu tanggal 29 Mei yang lalu, saya bersama-sama dengan 2 teman saya, Astidira dan Daviatri mengunjungi museum Polri, yang terletak di Jl. Trunojoyo no. 3, Jakarta Selatan. Siang itu, saya yang baru saja menyelesaikan suatu urusan di sekolah menjemput Daviatri dan Astidira di rumah Daviatri menggunakan taksi kemudian kami langsung menuju ke Museum Polri yang letaknya tidak jauh dari rumah Daviatri. Sesampainya di Museum Polri kami berfoto di depan gedung dan kemudian masuk ke dalam gedung itu melihat-lihat koleksi dari Museum Polri tersebut.
Museum Polri terdiri dari 3 lantai, lantai 1 berisi benda-benda sejarah, juga terdapat ruangan yang disebut ‘Hall Of Fame’ yang berisi kronologi para tokoh-tokoh kepemimpinan polisi dari masa ke masa. Di lantai 1 ini kami melihat berbagai benda-benda bersejarah Polri, kebanyakan adalah senjata. Saya sempat melihat senjata yang bernama Pelontar Mortir 60 M2, yang dalam keterangannya disebutkan bahwa pelontar mortar M2 adalah merupakan senjata buatan Yugoslavia yang diproduksi tahun 1965. Pelontar Mortir berkaliber 4mm ini dapat menembakkan 50 butir amunisi per menit. Pelontar mortar ini memiliki panjang laras 90 cm, sedangkan panjang senjata keseluruhan mencapai 500mm. Meskipun dioperasikan secara manual, jarak tembak efektif senjata ini dapat menjangkau hingga 1000 meter dengan kecepatan peluru 200 meter per detik. Senjata ini digunakan sebagai anti-tank dan panser dalam pertempuran. Di lantai ini kami juga melihat beberapa jenis kamera yang digunakan dalam pengolahan dokumentasi di TKP, seperti kamera Zeiss Ikon 120mm yang berasal dari tahun 1950-an dan digunakan untuk identifikasi di TKP. Ada juga kamera Polaroid Super Color 1000 yang merupakan kamera instan yang digunakan untuk proses olah TKP.
koleksi kamera museum polri
Di ruangan bernama ‘Hall of Fame’ kami melihat figure tokoh-tokoh pemimpin kepolisian,  satu yang saya lihat mengenai Jenderal Polisi DRS. Mohamad Hassan, beliau  lahir di daerah Muara Dua, Sumatera Selatan pada 20 Maret 1920. Ayahnya bernama Haji Ahmad bin Hasan dan ibunya Hajah Mariyatuh Koptiah binti Pangeran Abdul Kholik. Mohamad Hasan berasal dari keluarga yang terpandang, karena Ayahnya adalah seorang yang bekerja sebagai demang pemerintahan Hindia Belanda, membuat Mohamad Hassan dapat mengenyam pendidikan di sekolah pemerinta Hindia Belanda. Pendidikan pertama yang ditempuh oleh Mohamad Hassan adalah Holland Inlandsche School (HIS). Selanjutnya beliau meneruskan sekolahnya ke Meer Uitgetabreid LagerOnderwijs (MULO) di kota Palembang.
saya bersama para tokoh polri
topi Jenderal Mohamad Hassan
Menyelesaikan pendidikan di MULO, Mohamad Hasan melanjutkan sekolahnya ke Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Amtenaren (MOSVIA).

Mohamad Hasan mengawali karier di lingkungan kepolisian tanpa melalui pendidikan atau menempuh Akademi Kepolisian (Akpol) terlebih dahulu. Setelah menyelesaikan pendidikan MOSVIA pada tahun 1941, kemudian ia mendaftar sebagai pegawai pemerintah daerah., hingga akhirnya menjadi Asisten Wedena Lematang Ulu pada tahun 1945. Pada masa itu, jabatan mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi digabung dengan aparat kepolisian yang ada. Sejak itulah, Mohamad Hasan mengabdikan dirinya di lingkungan kepolisian. Setelah menjabat sebagai Asisten Wedana di Lematang Ulu, ia diserahi tugas sebagai Kepala Polisi di Pagar Alam pada tahun 1946.. Inilah awal karir secara formal Mohamad Hasan di Kepolisian. Kemudian menjadi Wakil Kepala Polisi Palembang tahun 1947. Pada tahun 1949, menjadi Acting Bupati Palembang Utara dan selanjutnya menjadi Kepala Polisi Bengkulu di tahun yang sama. Setahun kemudian, menjabat Kepala Polisi di Palembang.

Demi menunjang karirnya kemudian ia menempuh pendidikan formal di lingkungan kepolisian. Pada tahun 1951, Mohamad Hasan masuk pendidikan Brigade Mobil (Brimob) di Porong, Sidoarjo dan Provost Marshall di Amerika Serikat. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada tahun 1952, yang diselaikannya pada tahun 1958. Setelah lulus dari PTIK, kemudian ia diangkat menjadi Asisten II Kepala Kepolisian Negara pada tahun 1959. Sejak itulah karier dan jabatannya di kepolisian cenderung mengalami peningkatan. Ia diangkat menjadi Kastaf Komjen Mabes Kepolisian Negara tahun 1962 dan di tahun yang sama menjadi Deputi KKN Urusan Administrasi, Lektor PTIK di tahun 1964, Staf Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan Kastaf ABRI dan Deputi IV KKN di tahun 1965, dan Irjen Hankam di tahun 1967. Akhirnya, pada 2 Oktober 1971, Mohamad Hasan diangkat menjadi Kapolri ke-6 menggantikan Hoegeng Iman Santoso.

Tindakan awal yang dilakukan Mohamad Hasan sebagai Kapolri adalah mengeluarkan Perintah Harian. Perintah Harian tersebut adalah sebagai berikut:
[1]. Masing-masing agar dapat menunaikan tugas Polri dengan baik. Pelihara dan tingkatkan integrasi antara ABRI serta antara ABRI dengan rakyat.
[2]. Tingkatkan keahlian dan kemahiran dalam bidang masing-masing agar dapat menunaikan tugas Polri dengan baik.
[3]. Turut serta mengamankan kelancaran pembangunan terutama dalam rangka menyukseskan Program Akselerasi dan Modernisasi Pembangunan Nasional.
[4]. Tebalkan iman dalam menghadapi nafsu-nafsu buruk, rongrongan, dan godaan yang menuju penyelewengan.
[5]. Waspadalah terhadap desas-desus negatif yang dapat mengganggu kekompakkan Polri dan iklim ketenangan dan kegairahan kerja.

Perintah Harian tersebut dijadikan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan sebagai alat atau senjata utama untuk lepas landas dalam mengepalai Kepolisian Republik Indonesia.

Pada masa kepemimpinannya, Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan mengeluarkan Instruksi No. Ins/09/VI/1973 yang menyangkut agar semua anggota Polri mencantumkan Nomor Registrasi Pokok (NRP) selain nama dan pangkat dalam penandatanganan tulisan dinas. Peraturan tersebut berlaku untuk Perwira Menengah ke bawah. Instruksi Kapolri tersebut bertujuan agar semua urusan kedinasan Polri berjalan lebih baik dan tertib.

Menyangkut upaya perbaikan organisasi ke dalam tubuh Polri, Jenderal Polisi Drs. Mohamad Hasan melakukan kebijakan untuk menyatukan Komdak XV/Bali, Komdak/XVI Nusa Tenggara Barat/(NTB), Komdak/XVII Nusa Tenggara Timur/(NTT) menjadi Komdak Nusa Tenggara (Nusra) dan peleburan Komdak V/Jambi dan Komdak VI/Sumatera Selatan menjadi Komdak VI/Sumatera Bagian Selatan. Kebijakan penyatuan tersebut bertujuan agar rentang kendali menjadi makin pendek sehingga organisasi Polri menjadi lebih efektif dan efisien.

Sedangkan kebijakan tentang kebijakan terhadap pembenahan organisasi pendidikan kepolisian, pada tanggal 28 Maret 1974, status dan sebutan Seskopol berubah menjadi Sesko ABRI Bagian Kepolisian, tetapi tetap dengan singkatan nama Seskopol. Hal ini berhubungan dengan berdirinya sekolah Staf dan Komando ABRI (Sesko ABRI). Kebijakan ini mengakibatkan semua kewenangan pengendalian operasi pendidikan Sesko Angkatan/Polri diserahkan kepada Dan Jen Sesko ABRI.

Setelah dari lantai 1, kami beranjak menuju ke lantai 2. Di lantai 2 terdapat ‘Kids Corner’ yang merupakan tempat bermain untuk anak-anak. Di sisi lain juga terdapat kronologi singkat mengenai peristiwa bersejarah tentang Polri, namun saya tidak terlalu mengingat mengenai cerita tersebut, hanya membaca sekilas dan berkeliling melihat-lihat.

Setelah beberapa lama kami mengelilingi lantai 2, kami kembali ke lantai 1 dan beranjak untuk kembali pulang. Saat di bagian informasi, kami baru tahu kalau di Museum Polri terdapat lantai 3 yang berisi pameran-pameran peristiwa seperti Bom Bali, Bom hotel JW Marriott dan beberapa peristiwa lainnya, di lantai 3 terdapat pameran serpihan-serpihan bom tersebut. Sayangnya kami sudah cukup lelah untuk kembali naik dan melihat langsung, sehingga kami hanya mendengar cerita dari seorang informan di loket informasi. Seusai mengambil barang bawaan, kami bertiga kembali pulang ke rumah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar