Selasa, 31 Mei 2011

Warna Sejarah dari sudut pandang Suhud Tjakrawerdaja


    R. Ir Suhud Tjakrawerdaja, lahir di Jakarta, 29 Agustus 1932. Putra dari R. Mohamad Tjakrawerdaja, yang dulu pernah menjabat sebagai Wedana. Masa kecil beliau sebagai putra dari seorang wedana membawa beliau ke banyak peristiwa penting sejarah Indonesia pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Ketika beliau berusia delapan tahun, beliau sempat akan disekolahkan oleh ayahnya ke ELS (Europese Legere School) yang dimana muridnya hampir 90 % didominasi oleh orang belanda menyusul kakak beliau yang telah terlebih dahulu mengenyam pendidikan di ELS, namun ketika hari pertama beliau akan belajar di ELS, beliau merasa tidak nyaman dengan situasi yang dimana muridnya didominasi oleh belanda dan sangat sedikit sekali kalangan pribumi disana, maka beliau meminta ayah beliau untuk dipindahkan ke HIS (Holland Inlandse School) yang dimana lebih banyak pribumi yang bersekolah disana.

  Setelah masa revolusi RI tahun 1945, beliau yang tengah duduk di SMP kelas 1 di Bandung pernah ditugasi oleh Organisasi Pelajar untuk mengawal rumahnya Ibu Inggit (di Lengkong Besar/Solitude), mantan istri Bung Karno semasa beliau kuliah di THS (ITB saat ini). Beliau pernah pula turut dalam rombongan pelajar dan pemuda melakukan pengambilalihan kantor besar PJKA di sekitar stasiun KA, dari tampuk pimpinan Jepang dan diserahkan kepada putera Indonesia. Sayangnya beliau tidak diizinkan terlebih jauh dalam satuan pelajar bersenjata, dengan alasan karena kakak beliau telah terjun dalam BKR Kelautan di Jakarta, sehingga beliau lah satu-satunya anak laki-laki yang masih tinggal dirumah. Namun, hal tersebut tidak mematikan semangat beliau untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan yang kokoh dan tidak diganggu gugat oleh pihak manapun, beliau sempat menjadi loper Koran harian "Perjuangan Kita" untuk menyebarkan informasi kepada rakyat pada saat masa masa genting invasi belanda saat itu.

   Disaat invasi Belanda keseluruh kota Bandung dan sekitarnya, beliau beserta teman-teman sekolah lanjutan menengah dan atas diorganisir untuk mengungsi bersama para guru ke perkebunan the Kertasari,dekat pengalengan,kurang lebih 50 km dari arah Bandung Selatan. Menurut guru beliau,mengungsi merupakan salah satu penyalamatan putera bangsa untuk masa depan bangsa karena sudah banyak siswa SMP/SMA yang gugur dalam pertempuran. Beliau terpisah dari ayahandanya karena ayahandanya yang merupakan Wedana Bandung Selatan masih harus mengurus rakyat mengungsi keluar dari bandung pada saat peristiwa Bandung lautan api. Setelah kenaikan kelas,beliau kembali ke Tasyikmalaya dan melanjutkan sekolah disana. Saat beliau duduk dibangku kelas 3 di SMP Tasikmalaya, beliau bergabung dengan pasukan tentara pelajar Batalyon III dibawah naungan Divisi Siliwangi dan bernama Corps Pelajar Siliwangi (CPS). Tugas pertama beliau ialah melakukan pengawalan logistic Divisi Siliwangi ke daerah-daerah Garut dan Cicalengka,khususnya beras dan bahan pangan lainnya.
Pada tahun 1947, invasi Belanda lebih meluas hampir keseluruh pulau Jawa,sehingga beliau beserta teman-temannya disebar keberbagai wilayah di Jawa Barat yang antara lain memiliki tugas menyebarkan posisi tentara Belanda melalui komunikasi telpon lalu setelahnya jaringan telpon harus diputus dan dibakar bangunan kecamatannya agar tidak meninggalkan jejak bagi Belanda, daerah wilayah tugas beliau meliputi daerah Cikijing, Penawangan dan Kawali, daerah lintasan antara Cirebon-Tasikmalaya. Pada malam hari beliau mulai bergerak lagi menuju Tasikmalaya melalui jalan setapak daerah Panjalu, melalui lintasan Gunung Cupu,dan Cikoneng. Menurut beliau dari perbukitan tampak kota Panawangan dan Kawali merah membara karena dibumi-hanguskan ,dengan tujuan agar tidak dapat dipergunakan oleh Belanda. Setelah selesai tugas,beliau mencoba menemui keluarganya di jalan Seladerma,namun kemudian yang beliau dapatkan bahwa rumah beliau telah kosong melompong karena telah mengungsi. Beliau berinisiatif ke Cintaraja (Singaparna),rumah nenek beliau yang kurang lebih jaraknya 12 km dari Tasikmalaya arah ke Garut, meski setelah sampai sana beliau juga mendapati hal serupa dan setelah bertanya kepada pribumi yang masih ada di sana, keluarga beliau telah mundur 2 km dari Cintaraja. Setelah bertemu dengan keluarga beliau, Ayah beliau berpesan agar tetap mendampingi beliau sebagai anak laki-laki yang membantu melindungi dan mengurusi adik-adik beliau yang masih belia karena kakak laki-laki beliau sudah tidak diketahui lagi kabarnya setelah menyebrang ke Sumatera Barat / Utara untuk turut berjuang disana.

      Setelah kurang lebih Sembilan bulan berpindah-pindah mengungs. Akhirnya seluruh wilayah Jawa, kecuali Yogyakarta,dikuasai Belanda. Berdasarkan Perjanjian "Renville" antara RI dan Belanda, seluruh kekuatan angkatan bersenjata RI harus mundur ke daerah Yogyakarta. Bagi penduduk sipil seperti beliau hal ini lebih menyulitkan karena tidak mungkin mengungsi hingga ke Yogyakarta bersama keluarga yang keadaan financial ekonomi mulai morat marit. Akhirnya ayah beliau memberanikan diri kembali ke Cintaraja, dan dalam keadaan yang amat sangat terdesak untuk menghidupi keluarganya, ayahanda beliau terpaksa melapor ke pihak belanda sebagai ex pegawai dan kemudian Belanda menerima ayah beliau bekerja sebagai Wedana diperbantukan kepada Bupati Purwakarta. Setelah masuk SMA, beliau focus menjalani SMA dan setelah lulus dan ketika akan memasuki Perguruan Tinggi, beliau sudah diterima di tiga perguruan tinggi (Geodesi ITB,Akademi Perminyakan, Akademi Teknik Telekomunikasi) dengan beasiswa namun kemudian beliau memutuskan untuk mendaftar ke Fakultas Pertanian IPB setelah mendengar pidato Bung Karno pada awal tahun 1952 tentang arti bidang Pertanian sebagai tulang punggung Bangsa dan Negara, dan ketika beliau diterima dan memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke IPB di fakultas Pertanian pertengahan tahun 1952.

       Pengalaman bekerja beliau dimulai dari menjadi Asisten dosen pada jurusan Fisika/Klimatologi Pertanian. Sempat menjadi Guru di SMP dan SMA swasta di Sukabumi menambah jam terbang beliau sebagai pengajar yang kemudian pada tahun 1958 hingga tahun 1971 pekerjaan utama beliau sebagai dosen di 3 Perguruan tinggi berbeda (IPB,UNPAD, Akademi Departemen Pertanian) memberikan kisah hidup yang berwarna yang menurut saya perlu dituliskan disini. Pada tahun 1959, beliau terlibat dalam penelitian Pengukuran Besarnya Butir Hujan (Raindrops Size Photography) untuk penelitian reflektifitas radar dari butiran hujan diberbagai penjuru dunia yang bekerja sama dengan State Water Survey, Illinois, Amerika Serikat. , Observasi Embun Upas (frost) di Perkebunan Teh Malabar- Tanara,Pengalengan Jawa Barat. Pada tahun 1961 beliau ditugas belajarkan di Department of Meteorolgy, Wisconsin State University, di Madison,Wiscosin, USA.

      
Pada akhir tahun 1967, beliau menggantikan teman sejawatnya sewaktu kuliah dulu sebagai Dekan pada Fakultas Pertanian,Peternakan dan Kehutanan di Universitas Cendrawasih ,Manokwari, Irian Jaya. Kesediaan beliau untuk pindah tugas ke Irian Jaya dipertanyakan oleh rekan kerjanya, karena saat itu kondisi di Irian Jaya sedang kurang menguntungkan, karena pada saat itu pemerintah RI sedang menghadapi proses penentuan pendapat rakyat (Pepera) mengenai status Irian Jaya. Dan menurut beliau, ketika beliau di Irian Jaya pada periode tersebut beliau kerap juga disibukkan oleh persiapan pemerintahan pusat dan daerah untuk menyukseskan perjuangan pemerintahan RI dalam memasukkan daerah Irian Jaya ke pangkuan wilayah Ibu Pertiwi.

      Beberapa bulan menjelang Pepera di Irian Jaya, Beliau didatangi oleh tamu perwira menengah RPKAD ( yang sekarang Kopassus) dari Jayapura yang mendapat tugas dari Pangdam May.Jend. Sarwo Edhie Wibowo untuk memprediksi suara pro-kontra RI di antara karyawan dan mahasiswa. Tugas berat yang diemban Kakek saya ini harus lah betul-betul akurat, karena menyangkut hidup orang banyak. Maka dari itu, Kakek saya acapkali membuka forum diskusi bebas yang menyinggung secara halus mengenai hal tersebut dan memberikan pandangan-pandangan pro RI di forum itu. 

  Pada saatnya, tanggal 17 Juli 1969, secara serempak dilaksanakanlah Pepera oleh para kepala suku diseluruh wilayah Irian Jaya, termasuk Monokwari. Alhamdulillah, hasil Pepera menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia (95%) menghendaki masuk ke pangkuan Republik Indonesia.

 Setelah kembali dari masa dinas di Universitas Cendrawasih, Beliau kemudian bekerja untuk Ditjen Pendidikan tinggi di Jakarta. Namun kemudian karena Jarak yang lumayan jauh antara Jakarta-Bogor maka beliau bergabung pada Proyek Survey Argo Economy yang dimana Proyek SAE ialah suatu proyek interdepartemetal yang didukung oleh beberapa Departemen, yang antara lain adalah Dept. Pertanian, Dept. Pendidikan&Kebudayaan, Dep. Perdagangan, Dep. Transmigrasi dan Koperasi, serta Dep. Dalam Negri,
yang memiliki misi utama menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penelitian sosial ekonomi pertanian di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka mendukung program pembangunan Pertanian Indonesia jangka panjang. Adapula karena misi inilah Kakek saya ingin bergabung dalam proyek tersebut yang dimana proyek tersebut akan memberikan benefit, kesejahteraan bagi banyak rakyat Indonesia khususnya petani diseluruh pelosok Indonesia.

.   


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar