Kamis, 02 Juni 2011

Melihat Sejarah Dibalik Kacamata Pak Da'un


            Bahunya kokoh, langkahnya sudah agak ringkih, rambutnya pun sudah mulai berwarna putih. Setiap hari kita selalu melihatnya berkeliaran di Labschool Kebayoran. Beliau sudah banyak menyumbangakan tenaganya untuk mengurus sekolah kita yang tercinta ini. Mulai dari menyirami tanaman , menyapu sekeliling konblok,  sampai menanami kembali lapangan bola Labschool yang sudah gundul. Kita juga sering menjumpainya setelah adzan Maghrib dikumandangkan. Tak jarang beliau menjadi imam di masjid, namun tentu yang paling kita ingat adalah suara merdu yang mengalung sepanjang Ia membaca Al-Quran setelah sholat Maghrib. Ya, dia adalah Pak Da'un. Pramubakti senior di SMA Labschool Kebayoran. Tak terasa sudah lebih dari sepuluh tahun Pak Da'un mengabdi disini. Tapi, apakah pernah terpikir oleh kita bahwa dibalik semua rutinitasnya itu, beliau merupakan salah satu saksi penting dari sejarah pergolakan Indonesia ini? Sempatkah terlintas dibenak kita  untuk mengintip sejarah Indonesia melalui kacamata seorang rakyat jelata? Maka, untuk alasan itulah saya mewawancarai beliau. Bukan ibu, bapak, nenek, atau bahkan kakek saya yang sudah almarhum keduanya. Ditemui selesai mengaji di masjid, Pak Da’un ternyata bukan seorang pemalu seperti yang saya kira selama ini. Beliau enak diajak bicara dan santai saja dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
             Da'un Daimun, begitulah nama lengkapnya, lahir di Kecamatan Bulukamba, Brebes, bulan September  tahun 1959. Orang tuanya bekerja sebagai petani dan pedagang keliling. Beliau tidak lahir dari keluarga yang berkelebihan, tapi jelas orang tuanya masih sanggup menghidupi dirinya untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Pak Da'un sempat bersekolah dasar di SD 1 di Brebes. Waktu itu sekolahnya merupakan sekolah induk di daerah Brebes. Pak Da'un memiliki  2 orang putri dan 1 orang putra dari almarhumah istri pertamanya, Sri Istirayah. 3 anaknya itu bernama Dewi Mulyati, Umi Aslamiyah, dan Maulana Imam. Yang paling tua sudah bekerja sebagai PNS, anak keduanya sekarang mengambil jurusan farmasi di UHAMKA, dan satu lagi anak bungsunya masih kecil. Demikianlah perkenalan singkat dari sosok Pak Da'un ini.
               Semasa kecilnya, lebih tepatnya ketika beliau masih duduk di bangku sekolah dasar, daya tarik utama dari riwayat hidupnya ini tersibak. Pada masa-masa inilah PKI sedang mengembangkan sayap kejayaannya di Indonesia. Banyak teknik yang digunakan untuk memperoleh anggota baru seperti merayu, memanipulasi, bahkan menggelar konser-konser seperti  pada partai-partai Indonesia umumnya demi mendapatkan massa. Seringkali PKI ini menyamar sebagai hansip, agar terkesan bahwa anggota PKI ini rapi, formal, dan mempunyai wibawa dalam bertugas. Padahal, itu hanyalah salah satu taktiknya saja untuk mendapat perhatian banyak orang. Oleh karena itu, menurut cerita dari orang tua Pak Da'un, waktu itu kita tidak bisa mempercayai sembarang orang di instansi pemerintahan. Karena, kita tidak akan tahu siapa kawan dan siapa lawan.
                Saat panji dengan lambang palu dan arit itu merambah ke Kampung Dukuh Lo, teror pun mulai melanda seisi penduduk kampung. Padahal, anggota PKI di Kampung Dukuh Lo itu tidak banyak, hanya sekitar 6 orang saja. Namun, siapa sangka kalau mereka adalah tetangga dari Pak Da'un itu sendiri. Dari 6 orang anggota partai komunis itu, 4 orang masih tercetak jelas di ingatan Pak Da'un. Meskipun, yang teringat hanya nama panggilanya saja. Ketua PKI di kampung itu bernama Tulab, dengan wakilnya bernama Caman. Mereka berdualah peletak dasar paham komunisme di Kampung Dukuh Lo ini. Dan mereka jugalah yang bertanggungjawab atas segala tindakan dan perlakuan PKI kepada seluruh penduduk kampung ini. Dalam menjalankan tugasnya Pak Tulab dibantu oleh Pak Sumar dan Pak Ilyas. Pak Ilyas sendiri adalah penjaga masjid di kampung tersebut.Sehari-hari di kampung, mereka hampir tidak pernah berjalan-jalan sambil membawa senjata api. Kecuali, sewaktu ada latihan menembak yang kebetulan Pak Da'un kecil sedang lewat dan memperhatikannya. Diduga latihan menembak itu merupakan persiapan jika sewaktu-waktu ada ’misi’ penyerangan melawan ABRI. Meskipun sampai akhir, Pak Da’un belum pernah melihat mereka maju untuk melakukan penyerangan tersebut. Hanya satu hal yang tak bisa dilupakannya, mereka hampir selalu menyarungkan celurit yang diletakkan di balik pinggang sarung mereka kemanapun mereka pergi. Seakan-akan mereka selalu siap untuk beradu senjata.
Berkat perlindungan ketat dari keluarganya, Pak Da’un terhindar dari ancaman PKI. PKI mulai meneror penduduk desa melalui cara mereka mencari dana untuk pembiayaan kegiatan PKI. Kasus yang paling sering terjadi di Kampung Dukuh Lo adalah PKI meminta sebagian keuntungan dari hasil panen yang didapatkan oleh petani. Ini berarti mereka mengurangi penghasilan para petani untuk menafkahi keluarganya masing-masing. Ditambah lagi jika yang ditagih sedang buruk panenya. Bisa-bisa mereka tidak balik modal, bahkan sampai rugi dibuatnya. Keluarga Pak Da’un pun terkena dampaknya pula. Mereka jadi harus nekerja lebih giat serta mencari pekerjaan sampingan di kampung, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan ini secara tidak langsung, Pak Da’un dan keluarganya beserta para kelurga petani lainnya di Kampung Dukuh Lo terlibat dalam penyumbangan dana kegiatan PKI. Meskipun tahu itu salah, para kelurga petani ini tidak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya, belum ada yang berani menentang PKI saat itu di Kampung Dukuh Lo. Karena, PKI dianggap mempunyai kekuatan dan kekuasaan sehingga tak banyak orang yang berani berbuat macam-macam.
          Memasuki akhir-akhir masa kejayaan PKI atau ketika Soeharto mulai melaksanakan operasi penumpasan G 30 S/PKI, penduduk kampung pun mulai berani untuk melakukan perlawanan. Tidak tahu atas dasar hasutan siapa, tiba-tiba kekesalan penduduk memuncak. Keenam anggota PKI di Kampung Dukuh Lo itu diarak oleh seisi kampung, dipukuli ramai-ramai, bahkan rumah mereka pun dirusak. Belum cukup sampai disitu, selesai menghancurkan rumah, para penduduk memasung keenam anggota PKI itu serta mengucilkannya dari pergaulan. Mereka benar-benar seperti tidak mendapatkan tempat dihati penduduk kampung itu lagi. Tak lama setelah itu, para tentara datang dan mengamankan para pengkhianat kampung itu ke suatu tempat yang tidak diketahui. Dari 4 orang yang Pak Da’un kenal, satu-satunya yang masih hidup hingga saat ini ialah Tulab. Sekarang Ia dikabarkan sudah insyaf, mencari pekerjaan dengan cara halal sebagai seorang kyai di daerah Tanjung Priok.
            Semasa orde baru, dirasakan Pak Da’un banyak terjadi kejanggalan-kejanggalan. Misalnya pada kasus petrus (penembak misterius) yang mengicar orang-orang yang menentang pemerintahan pada tahun 80’an. Dari sekian banyak petrus, beberapa diantaranya mengincar gerombolan orang bertattoo. Seperti di kampung Pak Da’un, lambat laun orang-orang bertattoo semakin menghilang dan raib kabarnya entah kemana. Diduga orang-orang beratto tersebut adalah segerombolan perampok dan pencuri yang bisa mengganggu ketenangan kampung. Sehingga mereka diincar oleh para petrus. Kejanggalan juga terlihat ketika Soeharto mulai melakukan pembangunan-pembangunan ke pelosok desa-desa. Listrik mulai memasuki kampung, bahkan akses jalan menuju kesana mulai diperbaiki. Indonesia menjadi negara swasembada beras di ASEAN. Soeharto dianggap sebagai Bapak Pembangunan, banyak masyarakat jelata yang mengelu-elukannya. Namun, bagi yang masih memiliki hati nurani seperti Pak Da’un dan keluarganya, tentu bertanya-tanya dalam hati darimana semua dana pembangunan ini didapatkan? Mengapa Indonesia yang terkena paceklik beras pada tahun 75’an bisa pulih dalam waktu cepat? Hutangkah yang dipilih oleh pemerintahan agar masyarakat jelata tidak mengkonsumsi gandum lagi? Meskipun media massa tidak berani mengoarkan suara kebenaran, tapi Pak Da’un bisa menangkap suatu kejelasan. Bahwa, korupsi di negeri ini merupakan jawaban dari segala jenis keanehan itu.
            Sejak tahun 1985, Pak Da’un mulai merantau dari kampungnya ke Jakarta. Beliau bergonta-ganti pekerjaan. Pernah Pak Da’un menjadi tukang jualan Siomay di Jakarta. Namun, demi memantau keluarganya, Pak Da’un masih sering bolak-balik kampung apabila penghasilan yang beliau peroleh dirasa cukup untuk mudik balik ke kampungnya di Brebes. Oleh karena itu, saat kerusuhan tahun 1998 terjadi, Pak Da’un selamat dari segala kekacauan itu. Karena, kebetulan beliau tidak langsung hadir di tempat kejadian. Yang beliau tahu adalah teman-teman sejawatnya sesama pedagang, hampir semuanya ikut demo menginginkan Soeharto turun jabatan. Beliau sempat merasakan suasana genting di Jakarta. Menurutnya, ketika itu Jakarta sangat rawan dan sering tawuran dimana-mana. Akhirnya daripada mengambil resiko, Pak Da’un memilih menjauh dari pusat keramaian di ibukota.
            Nasib membawa Pak Da’un ke Labschool Kebayoran pada tahun 2000. Atau ketika Labschool baru pertama kali didirikan. Salah seorang petinggi BPS-YP-UNJ yang merupakan adik kandung dari almarhumah istri pertama Pak Da’un, memanggilnya ke sekolah ini. Pak Da’un ditawarkan bekerja sebagai pramubakti taman di SMP & SMA Labschool Kebayoran. Sejak saat itu hingga sekarang, sebelas tahun telah beliau lewatkan di sekolah kita ini. Sifat sederhana, ulet, serta ketabahannya dalam bekerja selalu menemani keseharian kita dalam menuntut ilmu. Tidak banyak yang bisa saya dapatkan dari cerita Pak Da’un, mungkin karena beliau sudah lupa, mungkin karena pada kenyataannya memang beliau tidak banyak terlibat peristiwa sejarah, atau mungkin juga karena masih ada kerendahan hati pada dirinya untuk tidak mengungkit-ungkit baktinya terhadap negeri ini. Tapi yang jelas, saya sangat paham bahwa Pak Da’un sempat menjalani kehidupan yang keras. Karena itulah menurut saya, sosok Pak Da’un pantas untuk dihargai. Beliau dapat mentransfer setitik pengalaman pahitnya itu dengan pengabdian yang setia kepada Labschool Kebayoran. Beliaulah salah satu orang yang pantas dijadikan inspirasi kita dalam bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh. Pak Da’un saja bisa, mengapa kita tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar