Selasa, 31 Mei 2011

Saya dan Tokoh Sejarah

Artikel ini berisi tentang perjalanan hidup kakek saya yang bisa di bilang adalah tokoh sejarah, karena semasa hidupnya beliau ikut terlibat dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia. Untuk membuat artikel ini saya melakukan wawancara dengan beliau. Kakek saya bernama Arif Effendi. Beliau lahir dari pasangan Raden Mas Muntarso dan R.A. Mutmainah pada tanggal 10 Oktober 1926 di Tegal, Jawa Tengah. Anak ke 6 dari 11 bersaudara ini tumbuh besar di Tegal, namun sempat hidup berpindah-pindah ke Pemalang, Belik, dan Brebes Jawa Tengah. Kakek saya menempuh pendidikannya di Sekolah Rakyat Holland Inlander School (HIS) selama 7 tahun. Pada tahun 1939 beliau lulus dari HIS dan kemudian pindah mengikuti orangtua.
Tahun 1945, diumurnya yang ke 19, kakek saya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat dan menjadi anggota dari Batalyon Infanteri 434 di Pekalongan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Rustamaji. Badan Keamanan Rakyat (disingkat BKR) adalah angkatan bersenjata pertama yang dibentuk setelah Indonesia merdeka. Pembentukan BKR dilakukan melalui sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Pada tahun 1948, beliau masih bergabung dalam Batalyon. Di tahun ini, beliau ikut memberantas pemberontakan PKI di daerah Jawa Timur yang juga sampai ke perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Pemberontakan ini diawali dengan hasil kesepakatan perundingan Renville yang dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin dianggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 1951-1957, kakek saya ikut dalam pemberantasan DI/TII di Brebes, Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tenga dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.  Pada peristiwa ini, kakak dari kakek saya, Chotani yang juga merupakan anggota dari TNI gugur dalam medan perang.
Di Tahun ini pula kakek saya bertemu dan menikah dengan nenek saya yang bernama Sri Rejeki. Ketika itu kakek saya berumur 25 tahun dan nenek saya berumur 19 tahun. Pasangan ini dikaruniai 14 orang anak, salah satunya adalah ayah saya yang merupakan anak ke 11 bernama Rasmoro Pramono Aji.
Tahun 1958, kakek saya dikirim ke Aceh untuk memberantas pemberontakan DI/TII  yang dipimpin oleh Daud Beureuh. Menurut kakek saya, pemberontakan kali ini lebih besar daripada pemberontakan yang ia hadapi di Jawa Tengah. Pasukan dari pihak TNI sebanyak 1 resimen atau 5 batalyon, sekitar 2500 orang. 1 resimen tersebut terdiri dari beberapa kodam, diantaranya Diponegoro dari Jawa tengah, Siliwangi dari Jawa Barat, dan Kuda Putih dari Makassar. Kakek saya tentu saja berasal dari kodam Diponegoro karena beliau dari Jawa Tengah. Sedangkan dari DI/TII pasukan yang dikerahkan sekitar 2 batlyon atau 1000 orang. Pertempuran tersebar di berbagai daerah di Aceh, seperti di Meulaboh, Aceh Besar, Sigli, Lhokseumawe, dan Bireuen dengan basis di hutan, bukit, dan gunung. Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.
Setelah dari Aceh, di tahun 1959, kakek saya kembali ke Pekalongan, Jawa Tengah. Lalu beliau dikirim kembali ke Bukit Tinggi pada tahun 1961-1962 untuk mengatasi pemberontakan PRRI Permesta pimpinan Vantje Sumual dengan basis di Padang.  Ketika itu kakek saya mendarat di Pelabuhan Teluk Bayur dan langsung menuju Bukit Tinggi dan Solok. Selama kurang dari 6 bulan, beliau sudah dapat kembali ke Jawa Tengah.
Di tahun 1963, kakek saya bergabung dengan Kodim Banjarnegara dan di tahun 1976 beliau pensiun di umurnya ke 37.


1 komentar: