Jumat, 03 Juni 2011

Saya dan Museum Satria Mandala


Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke museum satria mandala yang terletak di jalan gatot subroto. Museum ini merupakan museum militer, disini terdapat berbagai macam benda-benda militer bersejarah. Beberapa koleksi yang membuat saya tertarik adalah peralatan-peralatan dan atribut Jendral Sudirman, Tandu yang digunakan Jendral Sudirman saat melakukan perang gerilya, dan Diorama serta teks proklamasi Indonesia 1945. Saya mengunjungi museum ini bersama dengan keluarga saya, cukup sulit untuk mencari waktu karena orang tua saya bekerja dan saya serta adik saya pun memiliki berbagai kegiatan. Namun ketika kami mengunjungi museum ini, ternyata bersamaan dengan kegiatan suatu SD, untuk mengunjungi museum tersebut. Sehingga museum itu menjadi sangat ramai dengan anak-anak. Sebelum siswa-siswi SD tersebut memasuki museum, saya dan keluarga masuk terlebih dahulu dan menjelajahi isi museum. Ketika kami tiba di ruang diorama, terdapat banyak sekali figur-figur patung para pejuang yang sedang membawa senjata atau memperjuangkan kemerdekaan. Museum ini sangat  lah sepi dan hening, bahkan mama saya merasa cukup seram berada di dalam museum tersebut, namun kami tetap mengobservasi museum satria mandala ini. Setelah selesai di ruang diorama, kami pun memasuki ruang senjata. Disini banyak sekali berbagai macam senjata zaman perang kemerdekaan. Kami tidak berlama-lama di museum, karena pada saat itu saya sedang sakit, dan setelah kami melihat-lihat isi museum satria mandala, kami pun pulang ke rumah.
Di museum ini terdapat koleksi peralatan perang dan atribut milik Jendral Sudirman, yaitu berupa pedang, dan pangkat-pangkat milik sang jendral. Jendral Sudirman merupakan salah satu jendral dengan pangkat tertinggi di Indonesia sepanajang sejarah Indonesia selaih Jendral A. H. Nasution. Jendral Sudirman adalah seorang tentara yang meniti karier sejak dari prajurit biasa hingga menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Jendral Sudirman – lah yang memimpin dan mengomando perlawanan terhadap tentara Belanda yang menyerang dan merobohkan Republik Indonesia yang terkenal dengan agresi militer I dan II. Pada tahun 1944 Sudirman mulai masuk tentara PETA. Beliau menjabat sebagai Daidanco di Kroya. Setelah mendapat pangkat itu beliau ingin mewujudkan cita – citanya yaitu kemerdekaan tanah air, dan akhirnya mau tak mau beliau harus berjuang melawan penjajah dengan mengangkat senjata. Untuk mewujudkan cita – citanya, Sudirman mulai mendidik para pemuda dengan memasukkan semangat cinta tanah air. Beliau ingin membentuk satu tentara rakyat yang revolusioner untuk kemuliaan tanah tumpah darah tercinta.
Gerak – gerik Sudirman rupanya tercium oleh Jepang, untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan beliau dipindahkan ke Bogor. Pada waktu penyerahan Jepang kepada Sekutu, Sudirman ditangkap oleh kompeni. Tak lama, beliau dibebaskan karena kekalahan Jepang dari Sekutu. Selepas dari tahanan Sudirman pulang ke Banyumas. Kemudian beliau mengumpulkan anak buahnya yang tergabung di PETA dan disiapkan untuk perang kemerdekaan.
Sebagaimana diketahui, revolusi Indonesia meletus. Disana – sini terjadi pertempuran maha dashyat, merebut kekuasaan dari Jepang. Seluruh Indonesia bergolak. Sudirman tampil ke muka dengan jiwa yang besar. Di Kroya, Sudirman dengan bala tentaranya mengepung tentara Jepang yang bersenjata lengkap, hingga tentara Jepang menyerah. Setelah peristiwa itu nama Sudirman berkibar, rakyat banyak yang mengikuti perjuangannya. Semua senjata hasil rampasan dipergunakan untuk mempersenjatai tentaranya.
Setelah sukses di Kroya, Sudirman melanjutkan aksi ke Purwokerto. Terjadilah pertempuran sengit, tapi beliau tetap menang dan Jepang menyerah. Semua senjata Jepang dirampas untuk memperkuat tentaranya.
Ketika pertempuran Semarang meletus, Sudirman mengatur barisan di daerah Kedu. Beliau bertambah kuat dan hatinya semakin mantap untuk berjuang melawan penjajah. Ketika tentara Inggris menyerbu dari Semarang ke Ambarawa, Sudirman menghadapi tentara gabungan itu dengan gagah berani. Terjadilah pertempuran dashyat, dan akhirnya untuk kesekian kalinya Sudirman memenangkan pertempuran, dan musuh dapat diusir kembali ke Semarang.
Sejak saat itu nama Sudirman sangat terkenal. Karena kemenangan yang berturut – turut, dan kegemilanganya mempertahankan Ambarawa dari serbuan tentara Sekutu, tidaklah berlebihan jika Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pengangkatan Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia bukan disebabkan pada pendidikan yang ditempuhnya di Akademi Militer. Tetapi semata – mata berdasarkan kecakapan dan keberanian beliau yang sangat – sangat luar biasa.
Pada saat Jendral Sudirman memimpin gerilya ketika Agresi Militer, beliau sedang dalam kondisi sakit. Meski sedang sakit, beliau tetap memipin gerilya tersebut, meski beliau harus ditandu. Setelah sekian lama berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, akhirnya pada tanggal 29 Januari 1950 pukul 06.30, Jendral Sudirman meninggal dunia dengan penuh ketenangan dalam usia 38 tahun di Magelang karena penyakit yang dideritanya.
Diorama Proklamasi yang terdapat di museum satria mandala ini, menampilkan situasi saat presiden Ir. Soekarno sedang membacakan proklamasi di halaman rumahnya, yaituu di Jln. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar