Sabtu, 5 Agustus 1995. Hari dimana saya, Wimala Puspa Enggaringtyas, dapat menghirup udara di dunia ini untuk pertama kalinya. Bertempat di RS Puri Cinere, dan ditangani langsung oleh sepupu dari ayah saya, Pakde Awo, yang juga adalah seorang dokter kandungan di sana. Saya dilahirkan sebagai seorang perempuan berkulit putih dan berambut pirang kemerahan. Berbeda dengan halnya orang tua saya yang memiliki rambut hitam pekat. Begitu juga kakak saya yang berumur 4 tahun lebih tua, ia juga memiliki rambut hitam pekat dengan kulit sawo matang. Namun hal tersebut tidak serta merta membuat saya merasa menjadi anak angkat atau bahkan merasa tertukar dengan orang lain, karena buktinya saat saya beranjak dewasa, perlahan-lahan terlihat bahwa rupa saya mirip dengan kedua orang tua saya.
Sebelum saya menginjak bangku sekolah, saya memulai pendidikan saya di taman kanak-kanak, tanpa melalui kelompok bermain terlebih dahulu. Saat itu saya masih berumur 3 tahun, dan ibu saya sudah mendaftarkan saya di TK Dwi Matra. Umur yang masih sangat muda untuk memulai pendidikan, namun saat itu TK Dwi Matra mau menerima saya sebagai muridnya, dan saya memulai TK saya dengan penuh semangat di sana. Meskipun saya masih sangat manja dan terkadang masih menginginkan pengasuh saya, Mbak Ijah, untuk menemani saya kemanapun saya pergi.
Di TK Dian Didaktika, saya berubah menjadi anak yang lebih baik. Saya juga masih ingat dengan jelas saat hari pertama saya di TK Dian Didaktika, ibu menjemput saya 3 jam setelah kepulangan saya. Dan pada saat itu saya tidak memiliki alat komunikasi dan saya harus menunggu sendirian. Mungkin karena hal itu saya jadi lebih mandiri dan tidak lagi mau ditemani oleh pengasuh saya di sekolah.
Pada masa TK itu saya memiliki banyak sekali pengalaman bahagia yang tidak bisa saya lupakan. Mulai dari guru kesayangan saya, hingga pengalaman saya untuk menemukan kegemaran saya yang sebenarnya pada seni dan olah raga. Meskipun di saat saya TK, ibu kota Jakarta ini sedang diguncang oleh kerusuhan pada masa reformasi. Membuat orang tua saya khawatir untuk berpergian, dan juga khawatir akan masalah ekonomi yang saat itu hanya saya tau dengan kata ‘krismon’.
Masa TK saya yang berakhir dengan bahagia membuat saya tidak sabar untuk melanjutkan ke Sekolah Dasar. Lingkungan TK Dian Didaktika yang masih sangat asri dan dikelilingi oleh persawahan membuat saya merasa sangat nyaman bersekolah di sana. Hal tersebut yang menjadi pertimbangan ibu saya untuk melanjutkan pendidikan SD saya di sekolah yang sama bersama dengan beberapa teman-teman TK saya.
Pada kelas 2 SD, saya sempat diopname di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Dan karena kondisi saya yang memang sedang naik-turun, saat itu peringkat kelas saya turun drastis dari angka 2 menjadi 8. Ibu saya mulai mengkhawatirkan pergaulan saya pada saat itu, karena ternyata beberapa teman dapat membawa pengaruh buruk hingga ke bidang akademis. Di kelas 2 itu juga saya pertama kalinya mengikuti ekskul basket, sebagai olah raga kesukaan saya sejak TK. Dan begitu banyak pengalaman lainnya hingga saya kelas 3 SD.
Di akhir Sekolah Dasar, saya terguncang dengan keadaan keluarga inti saya yang mulai memburuk. Orang tua saya mulai bertengkar terus-menerus dan tak jarang mengucap kata cerai. Hal tersebut mempengaruhi kondisi kejiwaan saya yang masih sangat labil saat itu. Saya menjadi lebih pemarah, dan mulai dikucilkan oleh teman-teman hampir satu angkatan. Keadaan yang sangat buruk itu membuat saya sangat terpukul. Bahkan itu menjadi trauma tersendiri bagi saya hingga saat ini, membuat saya tidak suka mengingat hal-hal masa lalu yang terjadi dalam hidup saya dan berusaha sebisa mungkin untuk melupakannya.
Tes penerimaan siswa baru SMP Labschool Kebayoran sudah saya lalui, dan ternyata saya diterima. Bukan hanya itu saja, saya mendapat panggilan untuk mengikuti tes kelas akselerasi, yaitu program percepatan pendidikan SMP menjadi hanya 2 tahun. Pada awalnya saya merasa sangat tidak tertarik dengan program akselerasi tersebut. Tidak bermaksud munafik, menurut saya imej dari siswa akselerasi adalah anak-anak yang tidak tau pergaulan dan ati-sosial. Namun pendapat saya berbeda dengan kedua orang tua saya, beliau merasa sangat tertarik dan menghadiri panggilan kelas akselerasi itu untuk mendengar penjelasan lebih lanjut mengenai program tersebut.

Masa SMP saya yang hanya 2 tahun menjadi masa saya yang paling kelam namun juga paling tidak dapat dilupakan. Saya yang tinggal di rumah nenek saya membuat saya kekurangan perhatian orang tua. Ditambah lagi keadaan rumah tangga orang tua saya yang semakin memburuk, dan berujung pada perceraian di bulan Agustus 2008 yang menjadi kado terburuk di ulang tahun saya yang ke-13. Keadaan itu membuat perilaku saya bertambah buruk hingga saya bermasalah di lingkungan pertemanan, hingga bermasalah dengan guru. Mulai dari dikucilkan dengan teman-teman sekelas saya, fitnah yang membuat saya hampir tidak naik kelas, dan sikap kurang ajar saya dengan guru.


Masa SMP saya berakhir dengan nilai Ujian Nasional saya yang cukup memuaskan. Nilai yang dapat memasukkan saya ke SMA Negeri unggulan, namun saya tetap setia dengan sekolah saya, karena saya telah diterima di jalur khusus masuk SMA Labschool Kebayoran yang mengharuskan saya melanjutkan SMA di sana. Meskipun SMA Negeri adalah impian saya sejak kecil, karena kedua orang tua saya berasal dari SMA Negeri.

Sekarang saya berada di kelas XI IPA, dan saya tergabung dalam OSIS, sebuah organisasi yang memang sudah saya impikan sejak SD. Di masa SMA ini pula saya mulai banyak mengikuti perlombaan, dan memenangkan sebagiannya. Meskipun pada awalnya saya sangat menginginkan bersekolah di SMA Negeri, tetapi saat saya merasakan bersekolah di SMA Labschool Kebayoran ini, saya tidak merasakan penyesalan. Berbagai kegiatan di sekolah ini yang mungkin tidak akan dapat saya rasakan di sekolah lain membuat masa SMA saya ini sangat berarti. Meskipun terkadang masa lalu saya masih menghantui, namun kebahagiaan yang saya rasakan di sini dapat menutupi itu semua.
Saya merasa sangat senang karena berbagai target yang saya tulis di akhir masa SMP saya sudah mulai tercapai satu persatu. Namun saya belum puas sampai di sini, saya masih memiliki mimpi untuk dicapai di masa mendatang. Cita-cita yang masih berwarna abu-abu di kepala saya tidak menghambat motivasi saya dalam belajar. Kelas IPA yang saya jalani mungkin akan mengantarkan saya ke perguruan tinggi di bidang teknik, seperti halnya ayah dan ibu saya. Walaupun hasil psikotes dan seluruh keluarga mendukung saya untuk menjadi dokter, namun saya yakin dengan apa yang saya minati, dan itulah yang nanti akan saya pilih sebagai profesi saya di masa mendatang. Apapun profesi saya kelak, saya akan berusaha untuk menjadi orang yang sukses. Saya berjanji pada diri saya sendiri, saya akan membanggakan ibu saya yang telah berjuang menghidupi saya dan kakak saya, juga ayah saya yang mungkin sekarang sudah bahagia dengan keluarga barunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar