17 Tahun Menjelajahi Kehidupan
Ahmad Zakky XI IPA 3
Ibu saya bercerita, saya terlahir di Jakarta, 30 Maret 1994. Pada saat itu, ibu saya menceritakan bahwa kondisi saat itu pengalaman tak terlupakan karena saya adalah anak pertama.
Menurut orang tua, saya terlahir bukan sebagai anak seorang dokter seperti adik adik saya. Saya terlahir sebagai anak mahasiswa. Dalam masa belajar, ayah saya ditugaskan untuk menjalani program kerja nyata. Bukan sekeddar bertugas di puskesmas puskesmas terdekat. Namun ayah saya harus bertugas jauh di pedalaman Kalimantan. Karena tidak mungkin meninggalkan saya yang masih kecil, saya dan Ibu saya dibawa ke Kalimantan. Pada saat itu saya masih berusia 3 bulan.
Pada usia 1 tahun, saya menjalani operasi venikokel.
Pada usia 2 tahun, banyak kejadian yang membekas bagi saya. Salah satu kejadian yang diceritakan oleh Ibu saya, bahkan masih bisa saya ingat. Sampai hari ini, saya masih mengalami sedikit fobia pada air dalam jumlah banyak (lebih dari kolam renang). Hal ini disebabkan, pada masa kecil, saya tercebur ke dalam sebuah parit. Hanya ini satu satunya memori yang bisa saya ingat. Beruntung saat itu ayah saya ada di dekat saya. Sehingga saya bisa segera diselamatkan.
Masalah saya dengan air belum berakhir. Menurut Ibu saya, Kalimantan adalah sebuah tempat dengan transportasi utama adalah transportasi air. Mulai dari perjalanan ke berbagai tempat, hingga hanya sekedar berbelanja dilakukan di atas kapal. Pada suatu kali, kapal yang saya dan Ibu saya naiki berbenturan dengan kapal lain. Suasana saat itu sangat kacau. Ibu saya tidak terlalu pandai berenang untuk bisa berenang sambil menggendong saya. Beruntung pada saat itu, tuhan masih menyelamatkan saya melalui seorang bapak. Bapak itu berkata “Bu, saya biasa berenang sambil memanggul beras. Biar saya yang menggendong anak Ibu.”
Jika bapak itu tak ada, mungkin saya tak ada di depan laptop untuk menulis ini semua.
Pada usia 3 tahun, saya kembali ke Jakarta. Saya mulai bersekolah. Memulai kehidupan saya yang benar benar baru di kota. Karena sejak kecil saya hanya mengenal serangga, hewan, kapal, dan rumah panggung, saya sampai begitu kagum ketika melihat rumah kakek saya.
Di usia 4 tahun saya masuk TK A. Seinggat saya, pada tahap ini saya mulai mengenal komputer. Saya tak begitu ingat pengalaman saya pada masa ini. Begitu pula ibu saya karena tak ada hal menarik. Namun saya bisa mengingat sesuatu dengan jelas. Yaitu perkenalan saya dengan komputer. Saya begitu tertarik ketika melihat Om saya mencetak sesuatu yang ada di layar. Saya minta diajari mencetak gambar gambar, dan Om saya harus berusaha keras untuk mencegah saya mencetak lebih banyak gambar mobil. Saya ingat betul komputer itu masih menggunakan pita. Bukan tinta. Suaranya berisik. Hampir tak ada game dalam komputer itu. Hanya ada catur, kartu dan permainan membosankan lain. Namun tak menghalangi saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang komputer. Sejak hari itu, hingga hari ini, saya memutuskan saya akan menjadi ‘tukang komputer’. Ya, hari itu saya belum mengenal istilah IT atau programmer. Jadi menurut saya, orang yang piawai dalam menggunakan komputer adalah tukang komputer
Saya sempat merusak komputer dengan memasukkan koin kedalam slot disket. Saya mengira jika saya memasukkan koin, saya bisa bermain seperti di mall.
5 tahun saya masuk TK B. Pada usia ini, saya pertama kali bisa berpuasa seharian penuh. Saya begitu bangga, namun orang tua saya nampaknya tak sadar. Karena saya memang biasa berpuasa sehari penuh, namun biasanya diselingi makan siang. Sehingga orang tua saya sempat mengira saya berpuasa seperti biasa. Di usia ini, saya mulai mengenal game komputer. Jika dulu setahu saya kompuet adalah benda untuk mencetak gambar, saya mulai mengenal cara mengetik, dan juga bermain. Permainan pertama saya adalah game Chip Challanger. Permainan yang menyenangkan karena dipenuhi Puzzle.
Pada umur 6 tahun, saya beberapa kali menginap di rumah sepupu saya. Sepupu saya memiliki SEGA, mainan paling muatkhir pada masa itu. Saya sering meminta menginap di rumah sepupu. Meski tak selalu dikabulkan karena rumah sepupu jauh, namun saya sangat bersemangat untuk bermain ke rumah sepupu.
Ada satu perkataan yang saya ingat sampai hari ini. Saya tak begitu ingat siapa yang membodohi saya. Ketika itu ada yang berkata “Awas jangan kesitu. Tadinya itu kuburan capung. Terus ada anjing yang nginjek. Eh anjingnya ikut mati. Sekarang anjingnya dikubur disitu juga. Makanya hati hati, jangan diinjek nanti ikut mati dan dikubur di situ.” . Bodohnya saya percaya.
Di usia 7 tahun, saya masuk SD. Pada tahap ini saya sudah bisa mengingat apa apa yang terjadi. Pada masa ini, saya ingat betul saya pernah mogok sekolah karena saya merasa tidak nyaman dengan teman dan kakak kelas. Yang ada di ingatan saya pada masa itu, mereka adalah makhluk berbahaya, aggresif, dan harus dihindari. Entah dari mana pemikiran itu, yang membuat saya takut mendatangi sekolah.
Saya dipindahkan ke sekolah lain. Saya merasa lebih nyaman. Bukan karena sudah kenal teman disini. Tapi karena Ibu saya menunggu sepanjang hari, dan saya bisa masuk lewat pintu manapun. Ya, seingat saya, SD saya itu bukan berbentuk seperti sekolah. Tapi sebuah rumah yang ditata menjadi 2 ruang kelas. Saya bisa masuk lewat garasi dan lewat kantor. Dengan ‘Sekolah berbentuk Rumah’ membuat saya menjadi lebih berani bersekolah. Bentuk sekolah seperti itu hanya sementara karena gedung sekolah sesungguhnya tengah didirikan. Setelah keberanian muncul, saya malah beberapa kali bertengkar dengan teman. Alasannya sepele, seperti karena lomba lebih cepat makan, sampai main jepret jepretan karet.
Di usia 8 tahun, saya menginjak kelas 2 SD. Saya mulai menyukai sepak bola. Pada saat itu saya mulai menonton sepak bola di televisi. Pada awalnya hanya ikut ikutan karena ada Piala Dunia. Saya mendukung tim Jepang karena terpesona kartun Kapten Tsubasa. Kartun begitu memperdaya, karena saya kira tim nasional Jepang benar benar memiliki pemain yang bisa menghancurkan tembok dengan tendangannya.
Di usia 9 tahun, saya menginjak kelas 3 SD. Pada masa ini, saya sangat bersemangat mengikutu ekstra kurikuler sepak bola. Mungkin terobsesi. Bahkan saya kecewa ketika menang WO melawan sekolah lain di acara PORSENI. Yang ada di fikiran saya, saya kehilangan kesempatan untuk mengalahkan lawan dengan kekuatan saya sendiri. Padahal, pada kenyataannya, ketika saya menghadapi pertandingan sesungguhnya, saya justru kalah besar.
Usia 10 Tahun, saya ada di kelas 4 SD. Ketertarikan saya pada komputer menjadi jadi setelah sekolah saya menyediakan Lab Komputer. Saya pertama kali mengenal kata programmer, dan saya berniat menjadi programmer sejak SD. Selain komputer, saya juga amat tertarik pada Sains, yang belakangan saya ketahui detailnya bernama Fisika. Ada seorang guru SD saya yang begitu sering membuat percobaan. Mulai dari membuat katrol sederhana, hingga membuat balon udara panas. Saya begitu bersemangat hingga membuat keranjang untuk balon udara di rumah dengan karton. Padahal, ternyata harusnya dikerjakan di sekolah.
Sebelum diterbangkan, balon udara diisi air panas dengan hair dryer. Pada saat diterbangkan, balon udara saya meluncur deras ke tanah, terhempas.Meski gagal, saya menyukai Sains. Salah satu project sains saya saat SD yang mengubah hidup saya adalah tulang dan soda. Saat tulang direndam air soda berbagai merek (Cola dan lain lain), saya kaget karena hanya dalam 5 hari tulang keropos. Sejak saat itu, saya sangat jaran meminum cola, hingga hari ini. Saya lebih memilih air putih.
Usia 11 tahun. Saya mulai menyukai tim sepak bola FC Chelsea. Alasannya, Chelsea saat itu dipenuhi pemain muda berbakat. John Terry, Frank Lampard, dan Joe Cole. Saya begitu menyukai mereka. Padahal mereka bukanlah tim juara saat itu. Saya selalu berusaha menonton setiap pertandingan Chelsea di hari sabtu malam. Salah satu alasan pendukung adalah jika saya tidur larut, keesokan harinya adalah hari libur.
Saya yang tidak terbiasa tidur larut, harus berjuang untuk tetap terjaga. Maka saya berinisiatif mengambil seember kecil air yang bisa saya pakai untuk cuci muka sewaktu waktu mengantuk.
Pada usia 12 tahun, ada piala dunia. Pada piala dunia kali ini, saya mendukung Inggris. Karena bermaterikan pemain pemain yang menjadi pilar Chelsea. John Terry, Frank Lampard, dan Joe Cole mewarnai wajah tim nasional Inggris. Piala dunia kali itu amat berkesan, karena Piala Dunia pertama setelah saya benar benar mengenal sepak bola. Saya begitu ingat Zinedine Zidane yang bermain luar biasa sebagai penutup karirnya. Namun sayang akibat terprovokasi Materazzi, ia gagal merengkuh gelar juara dunia di pertandingan terakhir dalam karir professionalnya.
Pada usia 12 tahun juga, saya ada di kelas 6 SD. Saya harus mulai memilih sekolah menengah untuk melanjutkan pendidikan. Ibu saya mengantar saya untuk mengunjungi berbagai sekolah, dalam dan luar kota.
Di usia 13 tahun, saya sudah bersekolah di SMP. Saya sempat masuk ke sebuah sekolah berasrama di sukabumi. Saya sendiri yang memilih sekolah tersebut, namun karena lama kelamaan saya sendiri yang merasa tidak cocok. Saya berkali kali sakit ketika berada di sekolah tersebut. Sampai akhirnya saya diputuskan untuk dipindahkan ke sebuah sekolah yang lebih dekat dengan rumah.
Menjadi murid pindahan tidak selalu buruk. Saya bertemu beberapa teman lama dari SD di sekolah saya yang baru.
Usia 14 tahun, saya terpilih menjadi ketua OSIS di SMP. Beberapa program saya gagal berlangsung, karena sekolah membatasinya. Alasan sekolah adalah kami angkatan pertama, dan terlalu beresiko untuk mengadakan event dalam skala besar. Agak sulit memang menjadi angkatan pertama. Berbagai pengalaman unik saya rasakan. Tidak ada kakak kelas. Angkatan saya berhasil menjalin hubungan baik dengan adik kelas tanpa ada senioritas.
Di usia ini, berat badan saya menyusut jauh. Sekolah saya memanggil pelatih futsal baru, dan saya jadi semakin bersemangat. Pelatih yang baru ini tidak mementingkan kekuatan fisik, dan melatih kami untuk bermain taktis. Saya menjadi semakin menyukai bola.
Saya juga semakin fokus pada komputer. Berkali kali saya memenangi kompetisi komputer.
Usia 15 tahun. Saya mengikuti Kongres Anak Indonesia. Sebuah acara dimana anak – anak yang merupakan perwakilan dari setiap provinsi di seluruh Indonesia hadir untuk menyuarakan fikiran mereka. Kami membahas 10 hak anak yang harus di dapat. Seperti bermain, pendidikan, dan perlindungan. Saya sungguh kagum, bagaimana teman – teman dari berbagai daerah mengalami kehidupan yang amat beragam. Mulai dari anak jalanan dengan kehidupan keras, sampai teman teman korban lumpur lapindo. Saya menyadari, sungguh saya beruntung memiliki kehidupan saya seperti sekarang ini.
Saya bersiap menghadapi Ujian Nasional, dan memilih SMA tujuan. Saya mencoba mengikuti ujian masuk SMA Labschool Kebayoran. Ujian waktu itu tidak terlalu mudah, mengingat ada ribuan peserta. Namun ternyata saya diterima, dan mendapat undangan kelas Akselerasi.
Pada masa masa ini, saya tidak berhenti menyaksikan pertandingan – pertandingan FC Chelsea. Namun saya belajar tidak lagi ditemani seember air, namun ditemani setumpuk buku. Suara komentator menjadi panduan saya. Ketika membaca buku, bila mendengar suara komentator mengatakan sesuatu yang menarik atau mulai berteriak teriak, maka saya alihkan pandangan ke layar kaca.
Ujian Nasional saya lalui relatif tanpa hambatan. Hasil cukup memuaskan dengan menyentuh angka sembilan koma. Namun karena lokasi sekolah saya berada di luar Jakarta, nilai saya belum cukup untuk masuk ke sekolah negri dengan nama besar seperti SMA 8.
Di usia 16 tahun, saya sudah bergabung dengan SMA Labschool Kebayoran. Saya menghuni salah satu bangku di kelas Akselerasi. Saya berkenalan dengan banyak orang baru, banyak karakter baru, dan perlu beradaptasi.
Di SMA Labschool,saya mengikuti berbagai kegiatan menarik. Diantaranya adalah trip observasi. Sebuah acara dimana saya harus masuk ke desa, dan menyelami kehidupan di sana. Mulai dari ikut bertani (lebih tepat disebut mengacak-acak sawah), sampai menjelajahi alam di sana. Merupakan sebuah pengalaman berkesan untuk bisa tinggal bersama warga desa, makan bersama mereka, dan bekerjasama dengan mereka. Orang yang tinggal di desa, punya karakter yang bersahabat. Mereka tidak indivualis, dan menyenangkan. Saya tak akan pernah melupakan bapak Endang. Bapak asuh saya selama mengikuti kegiatan trip observasi di desa. Beliau mengajarkan saya untuk bekerja keras dan tak menyerah walau situasi seberat apapun.
Masih di usia 16 tahun, saya keluar dari kelas Akselerasi. Kecepatan belajar di akselerasi, ditambah materi pelajaran yang lebih berbobot dari pelajaran di SMP, membuat saya kewalahan menghadapi akselerasi. Maka saya kembali ke kelas reguler.
Di usia 17 tahun, saya sibuk memilih, mencari dan menganalisa Universitas dan jurusannya. Niat saya sejak TK untuk menjadi ‘Tukang Komputer’ masih belum berubah. Minat saya pada dunia komputer tak pernah brubah sedikitpun. Namun tak ada yang tahu akan jadi apa saya di masa depan, termasuk saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar