Jumat, 20 Mei 2011

Tugas 3 Sejarah: Saya dan Museum Ga-WOW TOUCH SCREEN!

Artikel saya kali ini akan menceritakan tentang petualangan yang saya lakukan hari ini, hari Jum’at, 20 Mei 2011, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Walaupun diterjang hujan yang cukup deras,  saya tetap bersemangat karena saya akan mengunjungi Museum Nasional, yang mempunyai nama beken Museum Gajah. Mungkin inilah yang disebut dengan keajaiban Hari Kebangkitan Nasional, saya merasa sangat bersemangat dan merasa sangat ingin ‘bangkit’ untuk menyelesaikan tugas sejarah yang ke-3 ini. Selepas solat Jum’at saya langsung pergi ke Halte Blok M untuk mengantre Transjakarta.  
Tidak perlu menunggu terlalu lama di halte, karena sekitar 7 menit setelah saya membeli karcis, bis pun segera datang. Saya sangat merekomendasikan kepada teman-teman yang ingin berpergian ke museum yang berlokasi di Jakarta untuk menggunakan Transjakarta dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. bayangkan! walaupun hujan cukup deras yang menyebabkan banjir di beberapa ruas penting DKI, ataupun adanya demo/unjuk rasa di sekitar Monumen Nasional, dan kenyataan bahwa saya pergi ke museum pada hari Jum’at siang yang identik dengan berhamburannya pegawai kantor di jalanan untuk makan siang tidak menyebabkan Transjakarta terhambat macet. Waktu yang diperlukan untuk saya sampai ke Museum Gajah dengan selamat dari Blok M hanyalah 20 menit. Dan bagian terbaiknya adalah, Transjakarta memiliki halte yang berada TEPAT di depan museum gajah. Alhamdulillah, jadi saya tidak perlu meneruskan perjalanan saya kali ini dengan naik taksi. Sekedar informasi untuk teman-teman yang ingin berpergian ke museum yang berada di daerah Kota (lebih dikenal dengan sebutan ‘daerah Mangga Dua’ untuk telinga teman-teman yang senang berbelanja)Transjakarta juga beroperasi sampai ke Kota, lho. Jadi, sangat memudahkan akses untuk teman-teman yang ingin berpetualan kesana. Museum yang bisa ditemukan di daerah Kota antara lain;  Museum Layang-layang, Museum Wayang, Museum Bank Indonesia, dan masih banyak lagi.
Kembali ke Museum Gajah, sekedar intermezzo saja Museum Gajah didirakan pada 24 April 1778 dan berlokasi di Jl. Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat. Museum ini disebut pula Museum Gajah karena memiliki patung gajah perunggu pemberian dari Raja Chulalongkorn dari Thailand pada tahun 1871. Sesampainya saya turun dari Transjakarta, saya langsung memasuki gerbang berwarna hijau lumut dari Museum Gajah. “Disambut” dengan Patung Gajah dan beberapa meriam yang menghadap kea rah Monumen Nasional, saya memulai penjelajahan Museum Gajah kali ini. Harga tiket masuk yang harus dibayar bisa dibilang sangat murah; hanya dengan merogoh kocek Rp 2.000,- (bahkan tidak lebih dari harga sebotol air mineral) dan anda akan bertambah pintar dari hari sebelumnya.
Tiket masuk Museum Gajah. Hanya Rp 2000!!!
Situs pertama yang saya kunjungi adalah koleksi patung dari Museum Gajah yang terletak di bagian utara loket tiket. Patung yang paling menarik perhatian saya adalah patung dewa perusak yaitu; patung dewa Syiwa. sangat disayangkan bahwa patung tersebut sudah memiliki beberapa kerusakan; antara lain di bagian mulut dan bagian bawah tubuh. Patung dewa Syiwa yang lain (plakat di patung ini menyebutkan bahwa nama lain dari dewa Syiwa adalah Dewa Bhairawa) memiliki ukuran kurang lebih 4 meter.  Dewa ini terkesan dewa yang paling ‘ganas’ dan menyeramkan. Bagaimana tidak? dengan tangan memegang belati dan tangan yang satunya memegang mangkuk (yang konon katanya berisi darah manusia) ditambah dengan hiasan berornamen tengkorak yang mengelilingi kaki Dewa Bhairawa sungguh membuat dewa ini akan memenangkan penghargaan untuk dewa yang paling ditakuti.
Beralih dari koleksi patung, saya beranjak masuk ke ruangan etnografi. Saya tidak terlalu memfokuskan perhatian ke koleksi di sepanjang ruangan ini, karena kebetulan di lokasi sedang mati lampu. Tentunya membuat suasana museum menjadi lebih horror apabila dibandingkan dengan suasana museum jika lampunya dapat dinyalakan. Di ruangan ini terdapat berbagai koleksi keramik, kerajinan, kesenian, dan masih banyak lagi dari berbagai pelosok daerah se-Indonesia.
Setelah dari ruangan etnografi saya beranjak ke gedung baru di Museum Gajah, yang disebut dengan Gedung B. berbeda dengan ruangan yang sebelumnya saya kunjungi, gedung b benar-benar terkesan lebih modern, terlebih lagi dengan adanya teknologi touch screen yang tersebar merata di gedung 4 lantai ini, tentunya lebih efektif memberikan informasi mengenai museum dan barang-barang koleksi dari Museum Gajah sendiri. Selain dari teknologi touch screen (yang sukses membuat saya terlihat seperti orang kampung masuk kota), terdapat pula escalator dan lift disetiap lantainya. Bagian yang paling saya suka dari Gedung B adalah; gedungnya yang sangat terang. dipenuhi lampu-lampu sorot disetiap koleksi barang dan berpuluh-puluh lampu yang senantiasa menerangi ruangan membuat perjalanan saya tidak se-“horror” perjalanan ruang etnografi saya. Untuk teman-teman yang sangat peduli lingkungan, tenang saja tidak perlu takut menghambur-hamburkan energy listrik yang tentunya bisa menyumbang kerusakan lingkungan, karena gedung dengan lampu-lampu yang banyak sekali jumlahnya ini baru diaktifkan listriknya saat ada pengunjung yang datang. Jadi, apabila sedang sepi dari pengunjung, listrik tidak dinyalakan.
Koleksi dari gedung B berisi tentang barang & alat dari zaman prasejarah. lantai 1 dipenuhi dengan replica dari manusia zaman prasejarah dan poster-poster yang berisi informasi tentang zaman pra-sejarah dan penemu-penemu dari manusia pra-sejarah; seperti Eugene Dubois dan lain-lain. Lantai 2 berisi koleksi dari alat-alat yang digunakan selama masa pra-sejarah; mulai dari alat transportasi (replica perahu), alat komunikasi (nekara), dan lain-lain. Hampir sama dengan lantai 2, lantai 3 juga berisi alat-alat. bedanya, di lantai 3 memiliki koleksi prasasti yang lebih banyak karena di lantai ini lebih difokuskan kepada organisasi atau bagaimana kerakyatan pada masa dahulu kala dibentuk. Di lantai 4 dapat ditemui koleksi dari kerajinan emas dan perak. Namun, sayangnya karena keterbatasan waktu saya tidak sempat mengunjugi koleksi di lantai 4.
Nah, sekarang koleksi Museum Gajah yang akan saya bahas adalah koleksi yang berasal dari lantai 3 Gedung B; yaitu prasasti-prasasti. prasasti yang akan saya bahas adalah prasasti Mulawarman, dan prasasti Ciaruteun.
Prasasti Mulawarman berasal dari kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu pertama di Indonesia yang berdiri pada abad ke-4 Masehi; terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Berdirinya kerajaan ini menandakan berakhirnya masa pra sejarah dan dimulainya kontak dengan bangsa India. Kerajaan Kutai ini menganut kepercayaan Hindu Syiwa. Prasasti ini menceritakan tentang Raja Mulawarman yang merupakan raja yang memerintahkan untuk menulis Yupa. Pada prasasti ini, diceritakan bahwa Raja Mulawarman adalah raja terbesar Kerajaan Kutai yang pernah mengorbankan 20.000 ekor sapi kepada Brahmana dalam upacara Vratyastoma. Raja Mulawarman adalah raja ketiga dari Kerajaan Kutai setelah Raja Kudungga  (raja Kerajaan Kutai yang belum menganut agama Hindu), dan Raja Asmawarman (raja Kerajaan Kutai yang masuk menjadi penganut agama Hindu melalui upacara Abhiseka dan memperluas wilayahnya dengan upacara aswamedha. Raja Asmawarman juga dianggap sebagai Wangsakerta atau pembentuk keluarga).
Prasasti Mulawarman
Prasasti yang kedua adalah prasasti Ciaruteun. Prasasti ini berasal dari Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara adalah kerjaan kedua yang berdiri di nusantara setelah Kerajaan Kutai. Lokasi dari Kerajaan Tarumanegara ini ada di Jawa Barat (diperkirakan ada di wilayah Bogor) dan berdiri pada abad ke V masehi. Kerjaan ini menganut agama Hindu Waisnawa atau aliran Wisnu. Raja yang disebut dalam Prasasti Tarumanegara adalah Raja Purnawarman yang merupakan titisan Dewa Wisnu (Dewa penjaga). Prasasti merupakan salah satu sumber mengenai Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti Ciaruteun
Tulisan yang terdapat dalam Prasasti Ciaruteun terdiri dari empat baris yang masing-masing terdiri dari delapan suku kata. Menurut narasumber, Prof.Vogel adalah orang yang menerjemahkan arti dari tuilsan pada permukaan prasasti ini. Kurang lebih pesan yang disampaikan dari prasasti ciaruteun adalah: “Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak kaki wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman raja Tarumanegara”.


Dari keterangan Prasasti Ciaruteun tersebut, telah didapat sebuah keterangan yang menjelaskan tentang keberadaan Purnawarman sebagai seorang raja Tarumanagara, yang menganut agama Hindu aliran waisnawa. Selain tulisan, dalam prasasti Ciaruteun terdapat juga lukisan yang berbentuk ikal dan sepasang tanda mirip gambar laba-laba atau matahari. Lukisan telapak kaki dianggap sebagai lambang langkah raja Purnawarman ke surga yang dipersamakan dengan perjalanan matahari, dari mulai terbit, kemudian mencapai titik tertinggi, terbenam, sampai akhirnya terbit kembali.
Yang membuat saya ingin menggali lebih dalam tentang prasasti ciaruteun adalah adanya telapak kaki yang cukup besar di permukaan prasasti ini. tidak seperti prasasti yang lain, yang kebanyakan hanyalah berisi tulisan sansekerta yang dipahat di batu, prasasti ciaruteun memiliki cap telapak kaki, yang konon ditafsirkan sebagai kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti) dan melambangkan kekuasasan seseorang sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan diibaratkan dewa Wisnu yang dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Untuk teman-teman yang memang ingin mengetahui lebih dalam tentang prasasti bisa mengunjungi museum taman prasasti di Jalan Tanah Abang No.1, Jakarta Pusat. Museum cagar budaya hasil peninggalan Belanda ini memiliki koleksi prasasti nisan kuno serta miniature makam khas dari berbagai provinsi di Indonesia dan koleksi kereta jenazah antik.
Sekian informasi perjalanan dari saya. semoga bermanfaat.
Salam hangat,
Kartika Dwi Baswara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar