Pada hari Sabtu. Tanggal 28 Mei 2011 yang lalu, saya bersama 2 teman saya, Wimala dan Filza, pergi bersama ke Museum Gajah. Pada pukul 10.30 kami berangkat ke museum yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat no.12. Museum ini berada sangat dekat dengan Monas, tepatnya berada di sebrangnya. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.
Museum Nasional dikenal sebagai Museum Gajah sejak dihadiahkannya patung gajah perunggu oleh Raja Chulalongkorn dari Thailandpada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ketika sampai, kami diharuskan membeli tiket dengan harga 5000 rupiah saja. Di sana kami bertemu dengan beberapa rombongan SD yang sedang melakukan studi lapangan. Rombongan tersebut sangatlah meramaikan susasana museum pada saat itu. Kami juga bertemu dengan beberapa turis asing dari berbagai negara.
Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi Museum Gajah sehingga timbullah rasa semangat pada diri saya untuk berkeliling melihat-lihat koleksi di museum.
Sandung |
Pertama-tama saya dan kedua teman saya memasuki museum sebelah kanan. Di sana saya menemukan sebuah koleksi museum yang bernama sandung. Sandung adalah sebuah patung yang terbuat dari kayu ulin yang di pahat dan di ukir. Sandung ini berasal dari Muaratewe, Kalimantan Tengah. Sandung umumnya berbentk menyerupai rumah kecil beratap melengkung dan biasanya dihias dengan ukiran motif kenyalang (burung enggang), sebagai lambang penguasa alam atas. Badan sandung disangga dengan beberapa tiang yang dihias dengan ukiran motif tumpal sebagai lambang arah menuju surga/nirwana. Sandung ada yang bertiang 1, 2, 3, bahkan 4. Jumlah tiang mencerminkan besar kecilnya ukuran sandung. Ruang pada badan sandung digunakan untuk menyimpan tempayan yang berisi tulang-belulang orang yang sudah meninggal.
Masyarakat Dayak mengenal sistem penguburan sekunder. Semula orang yang meninggal dikubur terlebih dahulu. Pada saat yang sudah ditentukan, kemudian diadakan upacara Tiwah sebagai puncak prosesi kematian bagi orang Dayak yang menganut sistem kepercayaan Kaharingan. Para penganut Kaharingan meyakini manusia yang semasa hidupnya selalu berbuat baik, rohnya akan kembali menyatu dengan jasadnya setelah meninggal dunia. Roh itu langsung menuju lewutatau atau surga untuk bergabung dengan Tuhan(Ranying Hatala Langi). Namun jasad manusia yang ketika hidup dikotori oleh hawa nafsu akan sulit untuk kembali menyatu dengan rohnya, sehingga tak mudah untuk berangkat menuju lewutatau. Oleh sebab itu jasad (tulang belulang) orang yang meninggal harus dibersihkan dengan air dan minyak kelapa melalui upacara Tiwah agar jasad dapat bergabung dengan rohnya di surga. Setelah tulang dibersihkan, selanjutnya disemayamkan di Balai Palai selama dua hari. Tahap terakhir adalah meletakkan tulang belulang ke dalam sandung.
Upacara Tiwah dipimpin oleh seorang pendeta (pisur) dan berlangsung selama tujuh hari. Selama kegiatan berlangsung diadakan tarian “manganjan” yang bermakna mengantar roh ke surga. Dalam upacara ini dikorbankan puluhan hewan , seperti kerbau, sapi, babi, dan ayam sebagai bekal bagi orang yang meninggal dalam perjalanannya menuju surga. Segala perlengkapan upacara dan hewan yang dikorbankan mengeluarkan biaya yang besar, sehingga terkadang upacara Tiwah dilakukan secara massal seperti halnya upacara Ngaben di Bali.
Ciwa Mahadewa |
Setelah mengamati sandung, saya kembali mengelilingi museum. Museum ini memiliki 141.899 benda, terdiri atas 7 jenis koleksi yaitu prasejarah, arkeologi, keramik, numismtik-heraldik, sejarah, etnografi dan geografi. Disini saya melihat banyak sekali patung-patung dewa Hindu-Budha seperti patung Brahma dan Siwa, kemudian banyak juga terdapat arca diantaranya yang paling besar dan berada dekat dengan taman adalah arca Bhairawa. Kemudian saya menemukan Arca Ciwa Mahadewa yang ditemukan secara tidak sengaja pada 1 September 2001 oleh Sdr. Samo di lahan milik Sdr. Sumanto di Dukuh Karangnongko, Klaten, Jawa Tengah. Ciwa Mahadewa merupakan dewa tertinggi dalam agama Hindu. Berdasarkan ikonografinya berlanggam seni Jawa Tengah, arca ini kemungkinan berasal dari abad ke 9 masehi.
Setelah itu kami menaiki lantai dua museum. Di sana terdapat ruangan yang berisi harta-harta berharga pada jaman dahulu. Saya melihat mahkota-mahkota yang terbuat dari emas, kemudian berbagai macam perhiasan yang tentunya bernilai sangat tinggi. Sayangnya di sana kami tidak diperkenankan untuk mengambil gambar.
Kemudian saya dan kedua teman saya melanjutkan perjalanan kami di Museum Gajah. Kami pergi menuju gedung yang baru. Gedung ini terlihat lebih modern daripada gedung yang lama. Namun ketika kami disana, suasananya sangatlah sepi. Gedung ini terdiri dari 4 lantai. Koleksi di lantai pertama tidak terlalu banyak, diantaranya adalah model manusia purba. Kami juga melihat fossil manusia yang terkubur di dalam gua. Setelah itu kami menuju ke lantai berikutnya.
Di lantai kedua atau tiga, saya lupa, saya menemukan prasasti-prasasti, diantaranya adalah prasasti tugu. Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sansekerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan kepada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Kalimat dalam prasasti Tugu yang berbentuk seloka tersebut ditranskrip sebagai berikut:
Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino.
Terjemahannya:
Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnwarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut. Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi.
Prasasti Tugu |
Setelah memperhatikan prasasti tugu, saya kembali mengitari museum untuk melihat koleksinya yang lain. Semakin atas, museum ini semakin sepi, mungkin karena gedungnya masih baru dan ketika saya kunjungi adalah hari Sabtu. Kemudian kami turun dan kembali ke gedung yang lama.
Pada pukul 12.40, saya dan kedua teman saya memutuskan untuk pulang kembali ke rumah. Kunjungan ke museum ini cukup menyenangkan untuk saya, karena saya bisa melihat peninggalan-peninggalan di masa lampau yang menurut saya menarik, apalagi ditemani dengan teman-teman yang meramaikan suasana. Suatu hari nanti saya ingin kembali mengunjungi museum ini lagi.
klw ada kesempatan maen ke karangnongko mbak.. :)
BalasHapus