Saya mewawancarai saksi peristiwa bersejarah di Indonesia, yaitu peristiwa gerakan mahasiswa tahun 1998. Tokoh yang saya wawancarai bernama Laily Ariaty, yang lahir di Meulaboh Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 29 Juni 1967. Laily Ariaty ini adalaha mama saya, yang pada saat peristiwa gerakan mahasiswa tersebut berlangsung. Mama saya merupaka anak kedua dari 7 bersaudara, mama saya lulusan Fakultas Perikanan Institut Perikanan Bogor (IPB) pada tahun 1990, dan sekarang bekerja di PT. Succofindo yang beralamat di Graha Succofindo, Jln. Raya Pasar Minggu Kavling 34, Jakarta. Berpendidikan dasar di Aceh Barat, dan pada saat melanjutkan pendidikan SMP, mama pindah ke Jakarta pada tahun 1980. Bersekolah di SMP 74, Rawamangun dan lulus pada tahun 1983. Setelah itu melanjutkan ke SMA 21, Pulo Mas, Jakarta Timur dan lulus pada tahun 1986. Dan melanjutkan pendidikan pada tingkat kuliah di Universitas IPB pada tahun 1986 – 1990. Dan mulai bekerja pada tahun 1991-1993 di perusahaan SCIS yang berlokasi di Menteng. Pada 1994 beralih kerja ke PT. Succofindo Cabang yang beralamat di WTC, Jln. Jendral Sudirman Kavling 32, Jakarta. Pada tahun 2000 mama pindah ke PT Succofindo Pusat, yang beralamat di Graha Succofindo, Jln. Raya Pasar Minggu Kavling 34, Jakarta. Pada tahun 1994 mama menikah dengan papa, tepatnya pada tanggal 6 Februari 1994.
Pada saat peristiwa gerakan mahasiswa Mei 1998, mama saya sedang bekerja di PT.Succofindo Cabang yang beralamat di World Trade Center dan ketika jam istirahat makan siang sekitar pukul 14.00 WIB. Banyak massa yang sudah memasuki ke Jalan Sudirman, sehingga kantor mama saya mengeluarkan kebijakan untuk seluruh pegawai kembali ke rumah masing-masing pada sekitar pukul 15.00 WIB. Ketika mama saya naik bus untuk menuju rumah, sudah banyak jalan-jalan yang ditutup. Salah satunya area semanggi, sehingga semua kendaraan dialihkan ke jalan lain yang massa nya belum terlalu banyak. Selain itu, hal tersebut dilakukan karena pada daerah sekitar semanggi sudah terjadi kerusuhan-kerusuhan, seperti pembakaran ban bekas, mobil, dan juga aparat keamanan pun sudah turun ke area semanggi. Sehingga pada saat itu pemerintah menurunkan informasi keadaan darurat siaga I, agar seluruh masyarakat waspada dan menghindari area-area yang terdapat banyak kerumunan massa. Semakin malam keadaan semakin parah, massa sudah melakukan banyak penjarahan dan pembakaran di mal-mal, karena itu banyak para penjarah yang mati terbakar di lokasi tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa mahasiswa trisakti yang meninggal.Untuk mengamankan keadaan tersebut, pemerintah telah menurunkan semua aparat keamanan untuk meredakan amukan massa. Salah satunya juga dengan penyemprotan gas air mata.
Perilaku Kolektif Mahasiswa dalam Reformasi 1998
Tahun 1998 menjadi satu catatan tersendiri dalam sejarah perubahan di Indonesia. Dilatarbelakangi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensi, sebuah usaha perubahan sosial yang dimotori oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh kesadaran bersama dari para mahasiswaa. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama yang menuntut perubahan dibeberapa bidang, khususnya sistem pemerintahan
Menyadari bahwa perguruan tinggi dan lembaga pemerintah tidak dapat diharapkan, sebagian mahasiswa coba menciptakan ruang-ruang berkembangnya sendiri. Mereka kemudian memilih untuk melakukan aktifitas mereka diluar kampus. Selain membentuk kelompok-kelompok diskusi, mahasiswa juga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani berbagai isu-isu sosial. Aksi protes mahasiswa masih berlanjut akan tetapi masih sangat sporadis dan dampaknya belum meluas, baik itu dikalangan mahasiswa maupun masyarakat umumnya dan semakin lemah sampai akhirnya menghilang akhir 1970-an.
Gairah pergerakan di kelompok mahasiwa kemudian mulai kembali pada tahun 90-an saat akumulasi berbagai permasalahan sosial makin tajam. Mereka lebih cenderung mengangkat masalah-masalah yang aktual pada saat itu, misalnya masalah kelaparan atau bencana di satu daerah dan permasalahan keseharian yang dihadapi oleh masyarakat. Akan tetapi, pola yang digunakan tidak berubah; masih sporadis dan dilakukan dalam kampus. Pada awalnya tidak semuanya mahasiswa tersebut tergerak untuk menanggapi masalah sosial yang muncul.
Pada masa itu muncul conscience collective, kesadaran bersama dimana mahasiswa merupakan satu kelompok yang harus bersatu padu. Dalam kondisi perilaku kolektif, terdapat kesadaran kolektif dimana sentimen dan ide-ide yang tadinya dimiliki oleh sekelompok mahasiswa yang menyebar dengan begitu cepat sehingga menjadi milik mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Kekecewaan dan ketidakpuasan mahasiswa terhadap pemerintah disambut oleh masyarakat yang menjadi korban dari sistem yang ada. Aksi dari mahasiswa kemudian direspon oleh masyarakat melalui secara sukarela memberikan bantuan kepada para mahasiswa yang sedang mengadakan demonstrasi.
Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi; struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat (precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control). Dalam konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, keenam syarat itu terpenuhi; pertama kondisi sosial masyarakat saat itu yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah, ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan , keempat adanya faktor pemicu dengan gugurnya mahasiswa Universitas Trisakti yang kemudian berlanjut pada peristiwa lainnya , kelima adanya usaha mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998-tepatnya bulan Mei-cenderung pada perilaku kerumunan aksi dimana aksi demonstrasi mereka lakukan secara terus menerus dengan mengandalkan mobilisasi massa demi tujuan bersama. Menurut Blumer, perilaku kerumunan yang bertindak dimana mereka mempunyai perhatian dan kegiatan yang ditujukan pada beberapa target atau objektif. Tuntutan gerakan mahasiswa sendiri pada pasca kejatuhan rejim Orde Baru cenderung pada perubahan sistem politik dan struktur pemerintahan.
Saya mengalami kesulitan untuk mencari narasumber, karena saya mencari ke lingkungan sekitar saya. Namun ternyata, mama saya merupakan salah satu saksi dari sebuah peristiwa sejarah, yang mengartikan bahwa saya membuang banyak waktu untuk mencari narasumber padahal mama saya sendiri merupakan seorang saksi. Mengetahui mama saya merupakan salah satu saksi, ini memudahkan saya untuk wawancara terhadap peristiwa tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar