Pada tugas wawancara saya yang kali ini untuk mewawancarai tokoh yang berperan dalam peristiwa sejarah, saya mewawancarai eyang saya, yang bernama Sanyoto Sastrowardoyo yang lahir pada tahun 1936. Ia mengalami banyak sekali peristiwa sejarah republik Indonesia dalam hidupnya, sekaligus menjadi saksi.
Bagi yang tidak mengenal Sanyoto Sastrowardoyo dari dekat, boleh jadi akan mengira bahwa hidup yang ditapakinya selalu lapang dan mulus. Anak ketiga dari enam saudara ini berasal dari lingkungan keluarga yang bukan saja terdidik, tetapi juga terpandang pada masa itu.
Ayahnya, Suyoto Sastrowardoyo adalah lulusan Mosvia dan Bestuur school pada zaman belanda -- sebuah kemewahan bagi kaum pribumi kala itu. Tugas pertamanya setelah sekolah adalah menjadi Wedana di Bumiayu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kemudian pada zaman pendudukan Jepang, Ayahnya menjadi Wedana di Cilacap, Jawa Tengah. Lalu setelah pengakuan kedaulatan RI, ia dipindah dan menjadi Bupati Jepara, Jawa Tengah (1950-1954) sebelum akhirnya menjadi residen pekalongan (membawahi lima kabupaten: Pekalongan, Batang, Brebes, Tegal dan Pemalang) sampai pensiun pada tahun 1958.
Kalau ditelusuri lebih jauh, berdasarkan buku karangan Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo, Babad Pati dan Juwoni, generasi ke 20 sebelum Sanyoto adalah Kanjeng Sunan Ngundung, ayahanda dari Kanjeng Sunan Kudus dan eyang dari Panembahan Kudus. Kemudian berturut-turut sebagai Bupati Pati Magetsari I sampai dengan Magetsari IV.
Akan tetapi meskipun hidup di lingkungan dan suasana priyayi, hidup sehari-hari Sanyoto tidaklah senyaman dugaan orang. Sejak kecil, bersama ibu dan saudara-saudaranya ia telah ditempa agar menjadi manusia yang tahan banting. Semasa Perang Kemerdekaan di tempat tinggalnya, Purbalingga, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan kaum gerilyawan Indonesia. Sang ayah mengungsikan istri dan anak-anaknya bersama rakyat ke lereng Gunung Slamet.
Bersama-sama rombongan pengungsi, mulailah Sanyoto beserta ibu dan saudara-saudaranya berpindah-pindah tempat hingga lebih dari 30 kali. Dari Purbalingga sampai Wonosobo. Ayahnya sendiri memilih tetap tinggal di Purbalingga, ikut bertempur bersama para gerilyawan.
Di tengah situasi yang serba tidak menentu itu beredarlah suatu berita yang amat mengejutkan sekaligus memukul keluarga Sanyoto. Ayahnya yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Purbalingga, dikabarkan berhasil di tangkap dan dibunuh oleh pasukan Belanda. Keluarga Sanyoto pun menangis.
Tiga hari setelah kabar menyedihkan itu, pagi-pagi selepas subuh, seorang lelaki mendatangi tempat pengungsian Sanyoto dan keluarganya. Ketika sang tamu di pagi buta itu membuka capingnya, mereka kaget bukan kepalang, karena yang menyembul dari balik caping itu ternyata wajah sang ayah. Sungguh mirip dengan cerita-cerita silat.
Menurut Sanyoto walaupun ayahnya waktu itu sebagai Bupati, hidup sehari-hari keluarganya sama persis dengan rakyat kebanyakan. Dan itu terasa betul semasa bertahun-tahun dalam pengungsian. Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain bersama rakyat, makan ala kadarnya, juga tidur di tempat seadanya. Perasaan senasib dan sepenanggungan ini diam-diam menyemaikan pada diri Sanyoto benih-benih cinta yang mendalam kepada nusa, bangsa dan negara.
Benih-benih cinta Tanah Air tersebut kian tersebut kian disuburkan oleh kebiasaan ayahnya yang sering mengajak Sanyoto mengunjungi berbagai pelosok daerah untuk mengetahui keadaan rakyat yang sesungguhnya. Maklum, sanyoto adalah anak lelaki pertama, 2 orang kakaknya keduanya adalah perempuan.
Selain menumbuhkan rasa cinta bangsa dan negara, sang ayah juga menanamk, sikap hidup mandiri sejak Sanyoto masih kecil. Setelah lulus SD, di Banjarnegara pada tahun 1948, ayahnya mengirim Sanyoto ke Yogyakarta untuk melanjutkan SMP.
Ayah Sanyoto berperan sangat besar pada hidup Sanyoto. Bukan hanya ia dianggap sebagai seorang pejuang di kawasan Purbalingga, Sanyoto juga menganggap ia adalah pahlawan untuk Sanyoto dan keluarganya. Meskipun waktunya tersita untuk berperang dan berkerja, ayah Sanyoto tetap mempunyai waktu untuk keluarganya.
Bapak Suyoto adalah inspirasi Sanyoto untuk menjadi Sanyoto yang sekarang. Setelah lulus SMP, ia meneruskan ke jenjang SMA dan lulus pada tahun 1955. Setelah lulus dari SMA, atas beasiswa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sanyoto melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia di Bandung -- sekarang di kenal dengan nama ITB.
Sanyoto sendiri setelah itu meraih gelar Master of Science in Electrical Engineering dari Syracuse University, New York tahun 1962. Selama berkerja di pemerintahan, mengabdi untuk bangsa dan negara, karier Sanyoto pun lancar-lancar saja dengan jabatan terakhir sebagia menteri negara penggerak dana invistasi merangkap ketua badan koordinasi penananman modal/bkpm (1993-1998).
Itulah wawancara saya dengan kakek saya, Sanyoto Sastrowardoyo.
Pak Sanyoto Wardoyo teman sebangku kuliah bapak saya di elektro ITB, dosen teman seangkatannya antara lain Faturahman Ahmadi, Ahmad Barmawi, Reka Rio (kalau tdk salah) menurut cerita almarhum bapak saya.
BalasHapusMbak Sari, putrinya alm. Pak Sanyoto teman saya dulu, waktu di perusahaan Kayu Lapis di Sorong.
BalasHapusTitp salam ya...
Suryanto