Pada hari Sabtu yang cerah, saya bersama dengan teman – teman menyempatkan diri untuk berkunjung ke museum gajah. Museum gajah sendiri terletak di kota Jakarta bersebelahan dengan Monumen Nasional atau Monas yang merupakan salah satu symbol ibu kota negara kita Indonesia. Museum ini mempunyai berbagai macam peninggalan yang tentunya dalam jumlah yang amatlah banyak.
Sesudah membeli tiket untuk masuk museum, saya dan teman – teman langsung masuk untuk melihat barang – barang peninggalan. Ada salah satu peninggalan yang langsung mendapat perhatian oleh saya yaitu patung Ganesha. Patungnya berukuran cukup besar. Ganesha sendiri adalah dewa pengetahuan dan kecerdasan. Ganesha sangat terkenal dalam umat hindu, sehingga ini menunjukkan bahwa patung ini merupakan salah satu peninggalan dari jaman Hindu. Ganesha sendiri secara fisiknya, dan juga seperti yang terlihat pada patung, digambarkan dengan berkepala gajah dan bertangan empat. Selain itu, ternyata Ganesha mempunyai nama lain seperti Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Selain dewa pengetahuan dan kecerdasan ternyata Ganesha terkenal dengan berbagai macam gelar lainnya, seperti “Pengusir segala rintangan”, “Pelindung seni dan Ilmu Pengetahuan” dan “dewa kecerdasan dan kebijakan”. Ganesha disebutkan dengan perwujudan yang khas pada abad 4 M sampai dengan abad 5 SM atau selama periode gupta. Ganesha mempunyai kitab yang didedikasikan kepada dirinya antara lain Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati Atharwashira. Dalam cara pemujaan, salah satu cara memuja Ganesha adalah dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama. Tentunya kepala gajah Ganesha adalah salah satu factor mengapa patung ini terlihat menarik. Tetapi ternyata banyak cerita yang ada di balik perwujudan kepala gajah Ganesha tersebut. Ada kitab yang menceritakan bahwa pada awalnya Ganesha dilahirkan dengan kepala dan badan manusia, tetapi karena dia mencampuri urusan Siwa dan Parwati, Siwa memenggal kepala Ganesha dan menggantinya dengan kepala gajah. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana, diceritakan bahwa, saat ibu Ganesha, Parwati, menunjukkan Ganesha kepada Dewa Sani yang mempunyai mata terkutuk, kepala Ganesha terbakar dan hilang menjadi abu sehingga Dewa Wisnu menyelamatkan Ganesha dan menggantinya dnegan kepala gajah. Ganesha banyak disembah oleh pedagang yang pergi ke luar india untuk melakukan dagang. Hal ini terjadi pada sekitar abad ke 10, yang ditunjukkan adanya perkembangan dalam bidang perdagangan, oleh karena itulah Ganesha juga sering dikaitkan dengan perdagangan. Para umat hindu yang berdagang itu juga melakukan perjalanannya menuju nusantara sekaligus membawa budaya mereka (arca), sehingga banyak ditemukan arca ganesha, biasanya ada di dekat kuil siwa di daerah jawa, bali dan Kalimantan. Selain itu ganesha juga muncul dalam agama Buddha, dalam wujud dewa Vinayaka.
Banyak versi yang menceritakan kehidupan Ganesha, contohnya dalam menceritakan keluarga dari Ganesha. Perbedaan wilayahlah yang menyebabkan berbagai versi ini, sebagai contoh, diceritakan bahwa Ganesha mempunyai seorang saudara bernama Skanda. Di India utara, Skanda dikenal untuk lahir lebih dulu dibandingkan Ganesha, sedangkan di India Selatan dikenal bahwa Ganeshalah yang lebih dulu lahir. Skanda sendiri merupakan dewa perang sekitar tahun 500 SM sampai dengan 600 M. selain itu diceritakan pula bahwa ketika pemujaan kepada Skanda mulai menghilang, barulah pemujaan terhadap Ganesha mulai berkembang, ada yang menyebutkan bahwa hal ini bisa menyebabkan persaingan antara 2 saudara tersebut dan bisa menyebabkan ketegangan antara sekte. Dalam kitab siwapurana diceritakan bahwa ganesha mempunyai 2 orang putra, yaitu ksema dan laba.
Lalu setelah berputar – putar di taman bagian dalam museum, akhirnya saya menuju satu ruangan, seperti hall besar, yang berisi barang – barang dari seluruh Indonesia. Ada salah satu barang yang bentuknya cukup unik, karena sangat tipis, terlihat seperti hiasan unik yang biasa ditaruh di atas meja. Bentuknya cukup panjang, kurang lebih 20 – 30 cm, berwarna hitam dan mempunyai kepala kijang walaupun sedikit terlihat seperti kepala naga. Bentuknya lumayan mirip dengan permainan congklak, tetpi congklak yang sudah diukir yang biasanya ada 2 kepala di tiap ujungnya. Setelah saya lihat lebih dekat, ternyata benda ini sangat unik karena benda ini digunakan sebagai wadah ramuan untuk menghitamkan gigi pada masyarakat Lampung. Benda ini ternyata bernama pesihungan. Kata “sihung” sendiri berarti gigi. Ramuan yang digunakan untuk menghitamkan gigi sendiri adalah campurang arang kayu kemuning dengan bahan lainnya. Masyarakat lampung terdiri dari dua sub suku yang terbagi atas ikatan kekerabatan genelogis territorial, yaitu, lampung pepadun dan lampung peminggir atau saibatin. Dari kedua kelompok inilah konon adanya budaya mengasah dan menghitamkan gigi. Mengasah dan menghitamkan gigi ini sendiri merupakan bagian dari upacara daur hidup pada masyarakat lampung. Upacara ini ditujukan kepada remaja – remaja putra dan putri yang sudah mencapai masa aqil baligh, sudah siap untuk menikah dan menjadi anggota perkumpulan remaja putera dan puteri (maranai dan mali) yang bertanggung jawab untuk music upacara dan pertunjukan tari pada acara pesta adat. Masyarakat lampung pada beberapa generasi belakangan sudah tidak lagi melakukan tradisi menghitamkan dan mengasah gigi, namun tradisi mengasah gigi atau “busepi” bagi anak perempuan yang menjelang dewasa terkadang masih dilakukan meski sudah sangat jarang.
Lalu setelah berjalan – jalan cukup lama di gedung lama, akhirnya saya akan menyebrang ke gedung baru. Gedung baru ini saat saya berkunjung memang terlihat sangat sepi, tetapi gedungnya bagus dan terawat. Saya langsung menuju ke suatu ruangan yang berisi banyak barang – barang dari Indonesia jaman dahulu. Ada banyak koin – koin yang digunakan untuk melaksanakan transaksi pada jama dahulu, ada juga uang dari zaman belanda tetapi sudah berbentuk uang kertas. Ada juga berbagai perabotan. Ada satu barang yang berbentuk seperti drum, sangat besar dalam kotak kaca. Barang yang seperti drum itu sangat besar walaupun sudah ada kerusakan di salah satu sisi drum tersebut. Barang tersebut adalah nekara. Nekara ini adalah gendang besar yang dibuat dari perunggu. Nekara pada umumnya dibuat pada masa prasejarah, tepatnya pada masa kebudayaan Dong Son yang berkembang di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara pada tahun 1000 sampai dengan 500 SM. Kebudayaan Dong Son sendiri berkembang di Asia Tenggara termasuk Nusantara, dan mulai berkembang di daerah Indochina pada masa peralihan periode mesolitik dan neolitik yang kemudian perio megalitik. Pengaruh kebudayan Dong Son ini berkembang sampai dengan ke Nusantara dan dikenal dengan kebudayaan perunggu.
Pada Nekara, banyak ditemukan hiasan – hiasan di sekeliling permukaannya berupa hiasan geometris, zoomorfik, manusia, perahu, topeng, hewan motologis dan masih banyak lagi. Biasanya di atas nekara ditemukan juga hiasan katak karena disebutkan bahwa menurut kepercayaan pada zaman tersebut biasanya katak dipercaya sebagai hewan yang bisa memanggil hujan. Nekara terkadang bisa juga digunakan sebagai alat tabuh atau alat music. Biasanya nekara digunakan untuk upacara – upacara keagamaan yang berhubungan dengan hal berbunyi – bunyian. Nekara pada umumnya berkembang pada masa perundagian atau paleometalik. Penyebaran nekara sendiri di seluruh Indonesia tersebar, khususnya di Indonesia bagian timur. Nekara sendiri biasanya terdiri dari 3 bagian. 3 bagian itu adalah bagian permukaan atau bagian timpanium, yang merupakan bidang pukul, lalu ada juga bagian badan dan bagian bawah, biasanya pula hiasan – hiasan yang terdapat pada sekujur badan, permukaan dan kaki nekara ini pulalah yang menentukan fungsi dari nekara tersebut.
Lalu saya melanjutkan perjalanan saya menuju lantai bagian ilmu pengetahuan dan teknologi. Disitu terdapat banyak prasasti, dan barang – barang unik jaman dahulu. Ada sepeda zaman dahulu, juga ada kapal dengan panjang 11 m. disana, saya melihat ke bagian2 prasasti. Banyak prasasti dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah prasasti canggal. Prasasti canggal adalah prasasti yang ditemukan di halaman candi gunung wukir, di desa kadiluwih, kecamatan salam, magelang, jawa tengah. Prasasti ini ditulis dengan menggunakan aksara pallawa dan bahasa sansekerta. Di Prasasti ini tertera raja – raja dari keluarga sanjaya pada masa kerajaan medang. Prasasti ini juga dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732. Prasasti ini juga berisi tentang pendirian lingga, atau sebuah lambing siwa oleh Raja Sanjaya di desa Kunjarakunja yang merupakan tempat pertapaan Resi Agastya, seorang Maharesi Hindu. Sebelumnya telah disebutkan nama raja – raja dari keluarga sanjaya, yaitu yang pertama – tama menjadi raja adalah Sanna, lalu digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, yang merupakan saudara perempuan Sanna.
Perjalanan ke museum ini sendiri tidak begitu susah karena sudah ada akses Busway yang langsung berhenti tepat di depan museum. Dan dengan banyaknya barang – barang yang ada di museum tersebut sangat memudahkan untuk memilih benda yang akan diceritakan, walaupun beberapa di antaranya ada yang sudah rusak, tapi secara keseluruhan museum ini masih sangat terawat dibandingkan dengan museum – museum lain yang pernah saya kunjungi. Sayangnya, gedung baru masih sepi akan pengunjung karena kurangnya info tentang gedung baru tersebut, padahal barang – barang peninggalan yang ada di gedung baru tidak kalah banyak dibandingkan gedung lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar