Menurut catatan sejarah, Kepulauan Maluku sudah lama menarik perhatian bangsa –bangsa asing untuk didatangi. Kawasan ini dikenal karena rempah-rempahnya yang melimpah, khususnya pala, lada dan cengkeh yang laku di pasar internasional. Pedagang-pedagang India telah lama mengenal komoditi cengkeh dari kawasan ini sejak abad ke 5 Masehi. Kemudian kerajaan-kerajaan dari bangsa-bangsa lain mulai terikat dengan kekayaan alam pulau ini, salah satunya dari bangsa Eropa yakni Portugis. Kepulauan Maluku terdiri dari 43 suku bangsa dan didominasi oleh ras Melanesia Pasifik, yang masih berkerabat dengan suku Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa di kepulauan di Samudera Pasifik. Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii). Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria. Sejak jaman dahulu, banyak di antara mereka yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi. Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah Mestizo.
PATUNG NENEK MOYANG TANIMBAR
Patung nenek moyang dari Tanimbar, Maluku |
Kebudayaan bersejarah asal Maluku salah satunya adalah patung nenek moyang dari Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Tanimbar merupakan kumpulan pulau-pulau kecil di dalam Kepulauan Sunda Kecil, dengan pulau terbesar adalah Pulau Yamdena. Kebudayaan masyarakat tanimbar hampir sama dengan kebudayaan di Nusa Tenggara Timur, pantai selatan Papua,dan Maluku bagian tengah, khususnya daerah Seram Timur. Keterampilan seni ukir sudah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Tanimbar dan diwariskan pada generasi berikutnya. Ukiran-ukiran yang bernilai sakraldijumpai pada perahu-perahu, seperti belang dan kora serta patung-patung leluhur(Obler) baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki nilai magis. Patung leluhur yang terdapat pada Museum Nasional digambarkan duduk dan diberi penghormatan dengan memasukkan unsur kursi sebagai simbol status yang tinggi. Tinggi karya ini sekitar 1,5 meter dengan patung leluhur dengan kursi diletakkan ditengah dan ada 6 patung lainnya mengitari patung leluhur ini. Patung untuk mengenang individu-individu yang sudah meninggal ini terkadang pada bagian mata dan giginya dihias dengan kulit kerang. Desa-desa di Tanimbar biasanya memiliki altar di tempat terbuka sebagai tempat pemujaan. Altar tersebut diukir dalam bentuk perahu yang dibuat dari batu atau kayu.
KAIN TENUN KULIT KAYU
Kain tenun asal Maluku |
Pada masa lampau, kulit binatang dan kulit pohon digunakan sebagai pakaian. Dengan tingkat kecerdasan manusia yang selalu bertambah, pakaian yang terbuat dari kulit kayu tersebut juga diberi pewarnaan sehingga terlihat lebih indah. Warna-warna tersebut dibuat secara alami dari tanah liat, dedaunan, buah, akaran, biji-bijian, dan bahkan dari hewan. Di Kepulauan Maluku juga terdapat pemanfaatan kulit kayu untuk menutup tubuh. Bahan kulit kayu diambil dari kulit pohon kayu tertentu, seperti pohon melinjo dan sejenis pohon beringin. Pakaian kulit kayu dari Maluku ini istimewa karena pembuatan cukup halus dan terdapat penggunaan warna-warna yang menandakan teknologi pembuatan baju pada saat itu sudah tergolong tinggi. Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, pakaian tidak hanya sekedar berfungsi sebagai tubuh, tetai dapat menggambarkan kepribadian dan tingkat kedudukan sosial serta martabat seseorang dalam masyarakat. Dengan kemajuan teknologi, manusia mulai mengenal alat tenun dan penggunaan kapas sebagai bahan dasar pembuatan pakaian. Di Kepulauan Maluku juga terkenal dengan kain tenun tradisional yang terbuat dari kapas dan terutama di Pulau Seram terkenal dengan serat daun sagu. Tenunan Maluku pada umumnya memiliki ragam hias geometris(tumpal, palang, swastika, belah ketupat, empat persegi), ragam hias manusia, flora(antara lain pohn, bunga-bunga, buah, kembang enau, kenari isi), dan fauna(antara lain ikan, anjing, niri atau lebah, ular fangat atau ular cincin).ragam hias tersebut umumnya bercorak dekoratif dan berfungsi sebagai pemujaan terhadap roh-roh leluhur, yakni kehidupan para leluhur yang diciptakan secara simbolik dalam bentuk-bentuk keindahan yang diabstrakkan. Selain itu, pemakaian kain tenun juga menandakan status sosial seseorang di masyarakat.
KERAJINAN ANYAMAN
Anyaman berbentuk topi |
Menganyam merupakan salah satu kerajinan tradisonal yang dikenal di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku yang diturunkan secara turun-temurun. Kerajinan ini menyebar hampir di seuluruh Kepulauan Maluku, yakni Tobelo, Ternate, Tidore, Sasana, Bacan, Halmahera, Obi, Seram Utara dan Seram Selatan, Gorom, Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Babar, Kepulauan Damar, dan Pulau Kisar. Di Maluku Utara, menganyam dikerjakan pada waktu senggang, secara individu mapun secara gotong royong(marong), yaitu melibatkan seluruh warga desa baik laki-laki maupun wanita. Pengambilan bahan baku dilakukan oleh laki-laki dan wanita. Pengolahan dan pekerjaan berat lainnya dikerjakan oleh kaum lelaki, sedangkan kaum wanita melakukan pekerjaan yang lebih ringan. Bahan baku yang digunakan untuk anyaman antara lain daun pandan tikar(mendong), bambu, rotan, pelepah daun pisang, akar enau, batang anggrek(tabisaru), daun lontar, daun pandan, dan lain-lain. Barang anyaman yang dihasilkan seperti tikar, topi, keranjang, bakul, tudung saji, alat-alat perikanan, alat-alat perburuan, tatumbu susun, dan sebagainya. Tikar pandan dan keranjang rotan merupakan hasil anyaman yang banyak dihasilkan oleh masyarakat Pulai Kei yang dibuat dengan berbagai macam motif-motif hias. Keranjang banyak digunakan ntuk membawabarang-barang keperluan saat seseorang bepergian. Di samping itu, keranjang digunakan sebagai tempat penyimpanan lauk-pauk sehari-hari.
KERAJINAN KEPULAUAN KEI
Kepulauan Kei adalah salah satu wilayah yang kini masuk di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. “Kayos” adalah asal nama dari pulau ini yang berarti keras yang kemudian dikaitkan dengan pulau ini karena merupakan pulau karang dan banyak tumbuh pohon kayu yang sangat keras. Mata pencaharian penduduk Kei adalah bertani. Sistem kekerabatan masyarakat Kei berdasarkan garis ayah atau patrineal. Kedudukan seorang ayah sangat penting, yaitu sebagai lambang kebanggaan keluarga, pembela kehormatan keluarga yang harus didengar dan ditaati. Selain itu berdasarkan hukum adat yang dianut masyarakat Kei terbagi atas kasta-kasta, yakni golongan masyarakat atas(maren mel-mel), golongan masyarakat menengah(maren ren-ren), dan golongan masyarakat biasa(maren iri-iri). Penduduk di Kepulauan Kei menganut agama Katolik dan Islam dengan toleransi beragama yang sangat dijunjung tinggi. Akan tetapi penduduk Kepulauan Kei juga masih percaya pada matahari dan bulan sebagai sumber kehidupan manusia. Kekuatan gaib yang dapat mendatangkan petaka dan yang melindungi manusia. Kepandaian membuat tembikar dari tanah liat merupakan kerajinan yang banyak dimiliki penduduk Kepulauan Kei disamping menganyam. Anyaman yang dihasilkan terbuat dari rotan, daun pandan, bambu, dan lain-lain. salah satu kerajinan yang terdapat di Museum Nasional asal Kepulauan Kei adalah wadah bertutup dan mangkuk.
Wadah bertutup dan mangkuk |
Seperti yang kita ketahui dari artikel ini, kebudayaan dari Kepulauan Maluku sangat beragam dan sejak zaman dahulu sudah memiliki selera yang tinggi dalam menciptakan kerajinan-kerajinan dan pakaian. Teknologi yan digunakan sejak dulu juga sudah canggih, dan teknik itu masih digunakan masyarakat tradisional Maluku sampai saat ini untuk menjaga kebudayaan dan tradisi khas Maluku. Kita sebagai warga Indonesia patut mencintai dan melindungi aset sejarah yang berharga ini. Kita patut bangga dengan kekayaan budaya yang dimiliki bangsa ini sejak dahulu dan tugas kita kini adalah menjaga dan mempertahankan kebudayaan serta nilai-nilai baik yang ditanamkan oleh nenek moyang kita.
SUKA DUKA MENUJU MUSEUM NASIONAL
Saya mengunjungi Museum Nasional yang terletak di seberang Monas pada hari Sabtu, 21 Mei 2011. Pada awalnya saya berniat mencari objek sejarah pada hari Minggu, tetapi saya merasa kurang efektif jika pergi keesokan harinya. Saya pergi bersama dua teman sekelas saya yang bernama Hanifan Fajar dan Arif Budi. Dari sekolah kami yang terletak di Jalan KH. Ahmad Dahlan di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan, kami memutuskan untuk pergi ke Museum Nasional dengan mobil pribadi saya. Namun diantara kami belum ada yang memiliki SIM(mengingat harus melalui jalur protokol yang “rawan” ditilang polisi), akhirnya saya memarkirkan mobil saya di Ratu Plaza, lalu kami melanjutkan perjalanan menggunakan moda Transjakarta yang haltenya persis di depan parkiran mobil saya. Tak disangka, ternyata hari Sabtu penumpang Transjakarta sangat ramai. Saya harus berdesakan dengan penumpang lainnya dan harus berdiri sekitar 30 menit. Ini juga dikarenakan pengemudi bus lambat mengendarai busnya. Akhirnya kami bertiga turun di halte Monas dengan wajah kuyu dan bermandikan keringat. Namun kami tetap semangat untuk mengobservasi isi museum ini demi menyelesaikan tugas sejarah. Saat masuk di Museum Nasional, hal pertama yang membuat saya kagum adalah peninggalan sejarah Indonesia pada zaman Hindu-Budha, salah satunya adalah patung Adityawarman. Lalu kami masuk ke ruangan yang besar khusus untuk etnografi dan seluruh provinsi di Indonesia. Saat baru masuk, saya langsung melihat sebuah patung nenek moyang asal Tanimbar yang besar, dan hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mencatat segala informasi tentang Kepulauan Maluku yang sejak dahulu sudah dikenal dengan kekayaan alamnya. 1 jam berlalu, akhirnya kami pulang dari museum dengan menggunakan Transjakarta yang jauh lebih sepi dibandingkan saat berangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar