Tugas 2
Fahmi Aulia Rahman
Bapak Hartadi B.E tanggal 1 Mei 2011 merupakan ulang tahun kelahiran yang ke-77 tahun. Beliau lahir di Semarang tanggal 1 Mei 1934 yang jatuh pada hari Rabu. Beliau merupakan anak ke 8 dari 12 saudara sekandung dari Kakek Abdurrahman Sastrodihardjo dan Nenek Kadariyah. Kedua orang tua beliau berdarah Jawa dari Demak. Demak merupakan kota kecil sebelah timur laut Semarang kira-kira berjarak 30 km. Menurut Nenek Kadariyah, yang merupakan Ibu beliau, nenek masih merupakan keturunan Kanjeng Sunan Kalijaga yang berasal dari Tuban yang kemudian ke Demak semasa Walisongo. Beliau juga merupakan adik dari pengarang buku Ilmu Pasti yang hampir digunakan oleh siswa SMP pada tahun 60-70 an yakni Bapak Hartojo yang mengarang buku bersama Bapak Timbul Puspowardoyo.
Semasa kecil beliau tinggal di Lemah Gempal Gg. IV B No.1082A Semarang. Rumah tersebut sampai sekarang masih dihuni oleh adik beliau yakni Ibu Hartimah yang merupakan adik langsung beliau. Bahkan model rumah tipe Jawa Tengah berupa Joglo masih dipertahankan seiring dengan berkembangnya model rumah. Hal ini dipertahankan agar orang sekarang masih mengenal model asli rumah Jawa pada awal 1900-an.
Pendidikan dasar beliau diawali dengan masuk Holland Indische School (HIS) yang sekarang terletak di Jl. Suyodono Semarang. Bangunan bekas HIS hingga sekarang masih berdiri dan dipakai sebagai SMP-40. Sekolah tersebut berupa bangunan arsitektur Belanda yang kokoh dengan halaman yang luas untuk bermain bagi para siswanya.
Belum lulus sekolah tersebut kemerdekaan Indonesia dicapai pada 17 Agustus 1945 berdampan pada beberapa hal. Pada saat itu Jepang menyerah tanpa syarat oleh Tentara Sekutu, Bangsa Indonesia memproklamirkan diri dan ini berdampak pada kekosongan sesaat secara administratif di daerah seperti Semarang. Kegelisahan Tentara Jepang di Semarang menyebabkan Tentara Jepang menyerang pemuda-pemuda di kota Semarang sebelum mereka menyerang Tentara Jepang. Hal ini dipicu dengan terbunuhnya Dr. Kariadi yang tewas oleh Tentara Jepang akan menimbulkan kemarahan pemuda Kota Semarang. Nama Dr. Kariadi diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Rujukan di Kota Semarang. Pemuda-pemuda berusaha meminta senjata yang ada di Tangsi Tentara Janggli Semarang Selatan untuk diserahkan ke pemuda-pemuda Indonesia. Hal ini menimbulkan pertempuran berkepanjangan selama lima hari.
Pemuda-pemuda Semarang serta merta menyiapkan pertempuran yang dimulai oleh Tentara Jepang. Pertempuran ini di Semarang dikenal sebagai Pertempuran Lima Hari yang terjadi dari tanggal 14 sampai dengan 18 Oktober 1945. Berdasarkan fakta sejarah pertempuran ini sangat sengit terjadi di sekitar Bundaran Tugu Muda Semarang tepatnya di daerah Gedung Lawang Sewu dan Gereja Katedral Semarang. Gedung Lawang Sewu adalah sebutan untuk gedung di seberang Geraja Katedral Semarang yang memiliki banyak pintu. Lawang adalah Bahasa Jawa untuk pintu sedang sewu berarti seribu atau kiasan untuk banyak. Bapak Hartadi juga berkisah bahwa pada saat itu memiliki sepupu yang sudah bekerja di PDKA (Perusahaan Djawatan Kereta Api, sekarang KAI-Kereta Api Indonesia). Saudara sepupu tersebut bernama Mohammad Suseno, saat pertempuran lima hari beliau sedang bekerja di Gedung Lawang Sewu. Saat terjadi serangan Tentara Jepang yang membabi-buta, semua laki-laki ditembak. Pak Harseno bersama rekan sejawat bersembunyi di bilik kamar mandi dari Gedung Lawang. Ternyata Tentara Jepang mendobrak pintu sembar memberondongkan peluru kearah dalam kamar mandi. Korban berjatuhan dan hampir semuanya meniggal, namun Bapak M. Suseno tertembak kakinya dan beliau pura-pura meninggal. Beserta tumpukan jenasah rekan sejawatnya. Sewaktu Tentara Jepang sudah meninggalkan daerah tersebut dan hari sudah gelam Bapak M. Suseno merayap keluar dari jenazah rekannya dan menuju sebuah kali kecil di sisi timur Gedung Lawang Sewu.
Menurut penuturan Pak M. Suseno terhadap Bapak Hartadi, kali tersebut dipenuhi dengan jenazah dan baunya amis serta berwarna merah. Pak M. Suseno menyusuri sungai hingga daerah Bedakan Semarang Tengah. Daerah Bedakan ini kira-kira sejauh 1 km ke utara dari Gedung Lawang Sewu. Sesampainya di daerah tersebut Pak M. Suseno ditolong oleh warga setempat dan diobati sekedarnya. Sehingga beliau cacat dengan berjalan miring. Terakhir beliau tinggal di Bandung sebagai pensiunan PDKA.
DI sisi lain usaha Tentara Dai Nippon masuk ke kampung-kampung juga untuk membunuh para laki-laki yang menurut mereka temui dan dianggap membahayakan Tentara Jepang. Karena Lemah Gempal berada hanya 1 km dari Tugu Muda sebagai pusat kota relatif dekat maka tidak luput dengan penggeledahan tersebut. Tentara memasuki Lemah Gempal 4B mencari para lelaki. Di rumah Bapak Hartadi nota bene bertumpuk bambu runcing yang sedianya untuk melawan Tentara Jepang yang masuk kampung-kampung. Ayah Bapak Hartadi bersembunyi di atas plafon rumah di Lemah Gempal tersebut. Kakak Pak Hartadi bernama Harso Dumadi (pegawai PDKA) lari ke daerah Gunung Pati (selatan Semarang) dan Pak Hartojo sewaktu terjadi penyergapan ke kampong lagi melayat ke pekuburan Mbapi daerah Pusponjolo Semarang. Dia tidak bisa pulang sehingga enginap di kuburan sehari semalam dan pagi dini hari berenang menyeberangi Sungai Banjir Kanal Barat kemudian masuk rumah leawt pintu belakang dan bersama ayah dan Pak Hartadi bersembunyi di plafon selama lima hari. Sebagian tetangga laki-laki menyamar sebagai wanita dengan memakai kebaya untuk mengelabuhi tentara-tentara tersebut. Alhamdulillah Tentara Jepang tidak masuk rumah Pak Hartadi, namun 4 orang di gang tersebut ditembak yakni Mbah Sumo yang dikenal sebagai orang yang punya “kesaktian” , seorang penjual minuman keras/bir (Pak Sar), Pak Suparmin ketua RT setempat yang tinggal persis di sebelah timur rumah Pak Hartadi. Tentara Jepang sangat kejam, Pak Suparmin ditembak oleh tentara Jepang sedang digandeng oleh istrinya yang menggendong anak tunggalnya Pak Muljono. Korban ke empat adalah seorang penjual tempe yang bersembunyi dengan memanjat pohon. Dia ditembak di atas pohon. Pemakaman jenazah dilakukan oleh para wanita kampung Lemah Gempal karena Tentara Jepang selalu mengawasi mereka. Tiga jenazah, Mbah Sumo, Pak Sar dan Pak Suparmin dimakamkan di tanah kosong dekat Sekolah Dasar Simongan, Semarang sedang satu lagi penjual tempe dimakamkan tanah kosong di depan rumah Pak Hartadi sekitar 20 meter.
Lima hari yang menegangkan tidak lantas begitu saja selesai, Tentara Belanda gantian merangsek masuk Kota Semarang untuk menguasai kembali Kota Semarang. Hal ini sama dengan kejadian di Surabaya saat kembalinya Tentara Belanda dengan menumpang Tentara Sekutu yang dikenal kemudian sebagai Hari Pahlawan 10 Nopember 1945. Tentara Belanda menyerang dengan pesawat pembom dan melakukan pemboman ke Kota Semarang.
Hal ini menimbulkan ketidakamanan dan kekhawatiran bagi penduduk di Semarang kota sehingga mereka memutuskan untuk mengungsi dari wilayah konflik. Keluarga Pak Hartadi Saat itu bersepuluh, yakni kedua orang tua beliau, dan delapan putra-putrinya. Mereka berjalan pertama ke sebelah barat yakni ke daerah Pusponjolo Semarang Barat. Namun di daerah ini masih termasuk wilayah konflik, sehingga keluarga beliau mengungsi lagi ke barat daya ke Daerah Panjangan.
Di daerah Panjangan ini keluarga beliau tinggal sementara di rumah penduduk setempat selama 40 hari-an. Pada saat itu sikap saling tolong sangat tinggi dikalangan masyarakat, sehingga orang yang tidak dikenalpun mereka tolong. Selama tinggal di Panjangan, untuk menghidupi keluarga, Bapak Hartadi menjual singkong. Daerah Panjangan merupakan daerah pertanian/tegalan yang subur untuk tumbuhan singkong dan sejenisnya. Beliau membeli singkong di tegalan milik rumah yang ditumpangi selama mengungsi dan menjualnya di jalan raya di Panjangan. Hal ini dilakukan karena kebanyakan pedagang dari daerah lain membeli singkong di daerah tersebut.
Dikarenakan kondisi yang tidak menentu maka diputuskan keluarga untuk ke Demak, namun jalan ke Demak tidak mudah sehingga perlu perjalanan yang berliku. Salah satu kakak beliau yakni Harso Dumadi bekerja sebagai pegawai PDKA, sehingga kalau bisa mencapai stasiun kereta api ada kemungkinan untuk bisa ke Demak.
Perjalanan selanjutnya adalah berjalan kaki dari dari Panjangan ke Mangkang (sebelah barat kota Semarang) melewati hutan jati, karena di Mangkang ada stasiun kereta api. Perjalanan dari Panjangan ke Mangkang ditempuh sehari penuh. Mereka bersepuluh berjalan bersama, Pak Hartadi menggendong adiknya yang masih kecil yakni Hartomo. Pak Hartomo sekarang masih hidup dan merupakan pensiunan Direktur Muda Perencanaan Perum Percetakan Uang Republik Indonesi (PERURI). Sesampainya di daerah Mangkang, keluarga Pak Hartadi bertemu dengan tukang cuci yang bisanya bekerja di daerah Lemah Gempal Semarang yakni Mbak Udin dan istrinya bernama Mbah Sipah. Mereka ditolong untuk menginap di rumah Mbak Udin, sembari mengurus untuk mendapatkan tiket kereta api agar bisa ke Demak. Namun karena daerah Semarang adalah daerah konflik sehingga mereka tidak serta merta bisa naik kereta ke Semarang (ke arah timur) lalu ke arah timur lagi untuk mencapai kota Demak. Pak Harsodumadi kemudian memutuskan untuk mendapat tiket ke arah barat untuk mencapai Cirebon. Pada saat itu keluarga hanya mendapatkan tiket ke Tegal, sehingga diputuskan ke Tegal dahulu. Di Tegal mereka menginap semalam di rumah paman dari Pak Hartadi yakni Pakde Sundjojo, yang merupakan ponakan dari ayah Pak Hartadi.
Perjalan menuju Demak dilakukan dengan cara memutar dari Tegal ke Cirebon, ke Solo ke Purwodadi dan baru ke Demak. Keluarga Pak Hartadi menumpang kerata dari Tegal ke Cirebon dan mereka tidak turun di Cirebon, namun melanjutkan perjalanan ke Solo Balapan. Setalah mencapai Stasiun Solo Balapan keluarga Pak Hartadi hanya menunggu di stasiun karena pertama tidak memiliki saudara di Solo dan mereka hendak melanjutkan perjalanan ke Demak. Dikarenakan tidak ada kereta ke Demak, maka keluarga Pak Hartadi melanjutkan ke Demak dengan melalui lebih dulu ke Purwodadi, sebuah kota kecil di sebelah timur kota Semarang. Meraka menyewa “gerobak krangkeng” yakni kereta kuda yang bagian keretanya tertutup sehingga seperti kerangkeng. Kerata ini biasanya digunakan para pedangan yang membawa hasil bumi agar tidak dicuri dalam perjalanannya. Perjalanan dari Solo ke Purwodadi memakan waktu satu hari penuh. Sesampainya di Purwodadi mereka hanya istirahat da dengan kereta tersebut malanjutkan ke Demak.
Sesampainya di Demak mereka tinggal di kakek dari Pak Hartadi atau orang tua dari ayah Pak Hartadi. Kakek tersebut bernama Latief Kersodikromo yang merupakan seorang Lurah di Wilayah Kota Demak. Rumah tersebut terletak di kota Demak dan ada sungai di depan rumah tersebut. Selain itu rumah juga memiliki kebun dibelakang rumah yang luas.
Ketidakmenentuan kondisi di Semarang menyebabkan keluarga Pak Hartadi tinggal sementara selama hampir satu tahun di Demak. Kota Semarang secara fakta Tentara Jepang dilucuti oleh Belanda dan Kota Semarang dikuasai Belanda kembali sedangkan kota Demak dalam naungan Republik Indonesia. Selama di Demak kakak tertua dari Pak Hartadi yakni Harso Dumadi yang merupakan pegawai PDKA, meninggal dunia dan dikebumikan di Demak. Pak Hartadi, untuk membantu kebutuhan keluarga diusia yang muda menjadi pedagang rokok di pasar Demak yang tidak jauh dari rumak kakek beliau. Hasil keuntungannya dipakai untuk membantu kebutuhan keluarga. Di usai setingkat sekolah dasar beliau juga memberikan jasa penukaran uang. Untuk orang yang akan ke Semarang mereka harus menggunakan uang Belanda sedangkan di Demak menggunakan uang RI. Ini merupakan peluang untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga.
Setahun kemudian ada kabar bahwa ayah beliau yang sebelumnya juru gambar (tekenaar) Tatakota Semarang bisa diterima lagi sebagai pegawai Balaikota Semarang. Sehingga di Tahun 1946 keluarga Pak Hartadi kembali ke Semarang ke rumah Lemah Gempal. Beliau kembali melanjutkan sekolah rakyat di SR Kintelan Semarang hingga lulus sekolah rakyat dan melanjutkan ke SMP-1 di Jalan Pemuda Semarang. Sebagai tambahan SR Kintelan adalah sekolah yang sama ketika Pahlawan Nasional yang berdarah Belanda, Kapten Pierre Tendean CZI Anumerta. Semasa di SR Kintelan Kapten Pierre Tendean merupakan teman sekelas dari adik Pak Hartadi yang bungsu yakni Ibu Harwahyu. Ibu Harwahyu pernah menceritakan kalau Kapten Pierre Tendean meskipun kaya namun untuk merasa senasib dengan rekan SR-nya dia tidak pernah memakai sepatu ke sekolah meskipun dia punya. Ibu Harwahyu adalah sekarang tinggal di Kota Kendal di sebelah barat Kota Semarang sebagai pensiunan Kepala Sekolah Dasar di kota itu.
Sebagai anak pegawai tatakota jaman transisi (1946-1949) dari sisi material cukup terpenuhi. Ketujuh saudara beliau bisa sekolah dan cukup untuk hidup. Setial hari ayah beliau mendapatkan jatah 2 roti tawar dan setiap bulan mendapatkan beras, gula, kopi dll. Sebagai keperluan pokok sehari-hari. Selain itu sebagai alat transportasi juga dibagikan sepeda untuk ke kantor. Hal ini mungkin Pemerintah Belanda berusaha untuk menunjukkan bahwa mereka bisa memberikan inbalan yang baik bagi pegawainya.
Setalah lulus SMP-1 Negeri Semarang Pak Hartadi melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah Karen Weg yang terletak di Jl. Dr. Cipto Semarang Timur. Beliau berkisah bahwa di sekolah tersebut masih ada 4 orang guru yang berkebangsaan Belanda. Sekolah tersebut merupakan sekolah favorit sehingga lulusan sekolah tersebut bisa langsung mengajar di Sekolah Teknik (setingkat SMP sekarang). Setelah lulus beliau mendapatkan ikatan dinas untuk mengajar di Sekolah Teknik Budi Utomo Jakarta Pusat pada Tahun 1955. Karier beliau sebagai guru tidak serta merta sebagai guru melulu. Sebagian di Direktorat P&K Hanglekir. Selain sebagai guru beliau juga menambah ilmu dengan melanjutkan kuliah di Akademi Teknik Nasional (ATN) di daerah Cikini Jakarta Pusat. Dikarenakan kesibukan mengajar beliau menyelesaikan akademinya dalam 7 tahun untuk mendapatkan gelar Bechelor Of Engineering (BE). Setelah itu beliau bertugas di STM Budi Utomo dan menjadi guru gambar tidak tetap di STM Penerbangan Jakarta Selatan. Beliau ditarik kembali ke Direktorat P&K selama satu tahun dan selajutnya ditugaskan untuk membangunSTM-16 Pluit. Belum usai pembangunan beliau mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah STM Penerbangan Jakarta Selatan hingga Tahun 1984. Sejak 1984 hingga pension beliau bertugas sebagai Pengawas Sekolah Teknik seluruh Indonesia. Di sela-sela kesibukan beliau, beliau sempat menyiapkan materi buku pelajaran untuk motor bakar pesawat terbang. Materi tersebut kemudian disempurnakan oleh para ahli dari Garuda dan Sekolah Penerbang Curug, dan saat ini buku tersebut dipakai sebagai buku pelajaran.
Sebagai guru tentu tidak mencukupi untuk menghidupi ke-empat putra beliau. Untuk itu beliau beserta rekan guru-guru membuat kontraktor konstruksi baja untuk membangun gudang, hangar pesawat, jembatan dan gedung di tahun 1970-an. Dari usaha inilah ke-empat putranya bisa sekolah dengan baik. Anak pertamanya Hariyadi sekarang salah satu direktur operasi di tambang batubara di Kalimantan Timur adalah lulusan ITB Pertambangan, anak kedua Hari Purnomo lulusan Jurusan Ekonomi UNDIP Semarang berwiraswasta, anak ke-tiga Hari Widiyanto lulusan Jurusan Mesin Universitas Indonesia berkarya di Chevron di Duri Sumatra dan yang terkhir Bagus berwiraswasta.
Dalam keluarga besar Lemah Gempal beliau adalah orang yang suka berbagi. Banyak adik-adik baik dari beliau maupun dari istri beliau yang dibantu secara materi untuk bersekolah dan memenuhi sebagian biaya hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena pengalaman hidup selama masa kecil yang banyak dialami dengan saling tolong menolong selama masa pengungsian. Beliau sekarang menempati rumah di Jl. Cilosari 2 no 15 Jakarta Selatan persis di samping STM Penerbangan bersama istrinya. Ke-empat anaknya sudah menempati rumah masing-masing.
Menurut saya tidak ada kesulitan dalam mendapatkan tokoh, karena beliau adalah kakak dari nenek saya. Kesulitan dalam menghimpun informasi hanya pada saat beliau sedikit lupa tentang peristiwa ini.
Saya bersama Kakek |
Itulah sejarah.... Jarak Semarang-Demak yang dekat harus ditempuh melambung ke arah barat: melalui Cirebon, tentu saja Purwokerto, Kroya, Gombong, Yogya, Solo, trus memutar ke arah Purwodadi. Sehingga harus ditempuh dalam beberapa hari. Padahal hari ini jarak Semarang -Demak dapat ditempuh cukup satu jam saja.
BalasHapusms rasyid
http://wanakajir.blogspot.com