Rabu, 04 Mei 2011

Tugas 2: Saya dan Tokoh Sejarah, Nenek ku Seorang Kapiten


Mungkin judul diatas tidak sepenuhnya benar; nenek ku bukanlah seorang kapiten seperti yang saya nyatakan diatas. Akan tetapi akan lebih tepat apabila disebutkan; nenek ku adalah seorang mayor yang merangkap sebagai ibu dengan 6 anak.
Ya, beliau lah seorang wanita perkasa yang tak akan duduk manis melihat negrinya diinjak-injak, tak akan menutup mata apabila melihat orang terlunta, dan akan berteriak apabila seseorang menyuruhnya untuk diam dan bertekuk lutut. Ia adalah Hajjah Habibah Lubis, wanita perkasa yang hidupnya terkatung di laut, terkurung di hutan.
Setamat Sekolah Dasar, yang disebut HIS (Holland Inlandsche School), beliau melanjutkan ke Chu Gako, sederajat SMP. Di SMP ini beliatu tidak dapat meneruskan sekolah, karena Bapak berhenti ekerja dari DVO (Department Van Oorlog) sebagai Derde Commis karena kantornya ditutup.
Beliau terpaksa bekerja membantu orang tua, mengingat jumlah saudara beliau dua belas orang dan masih kecil-kecil. Selain alsaan ekonomi, beliau bekerja untuk mendapatkan tanda kepegawaian agar tidak diganggu oleh tentara Jepang. Pada zaman Jepang, gadis-gadis yang tidak sekolah atau tidak bekerja mendapat perlakuan tidak wajar, yaitu dijadikan gundik atau geisha.
Beliau terpaksa bekeraj di Gunseikanbu sebagai juru usaha karena keadaan memaksa. Pimpinan beliau waktu itu ialah Eiri San (San = Tuan), sekretaris Iiono San yang waktu itu menjabat Cookang (residen).
Beliau satu ruangan dengan Eiri San dan Teuku Nya’ Arief (kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional).  Beliau menjabat sebagai ketua Komite Pemerintah Daerah Aceh. Karena pergaulannya dengan orang Jepang cukup luwes, Habibah berkesempatan untuk belajar memahirkan bahasa Jepang. Kesempatan ini tentu saja tidak beliau lewatkan. Beliau berani berpidato dalam bahasa Jepang di hadapan orang-orang Jepang di bioskop Banda Aceh. Karena keberanian itu, beliau mendapat banyka penghargaan, antara lain Nippon O Taete, sekaligues menjadi juru bahasa bersama Bapak Bustanil Arifin (kemudian menjadi Mentri Kooperasi/Kabulog).
Habibah mengatakan bahwa pengalaman yang paling berkesan selama bekerja yaitu ketika beliau dipanggil Kempei, bernama Matsubuchi. Perawakannya yang tinggi besar dan gemuk, wajahnya yang seram, dan kumisnya yang tebal membuatnya disegani dan setiap penduduk yang berurusan dengan dia tidak akan pernah ada yang kembali, alias mendapat hukuman mati.
Habibah dipanggil karena disuruh membuatkan minnuman untuk tamunya, Isutani San. Oleh karena itu bukanlah pekerjaan dari Habibah, makan beliau menolak. Lantas, Isutani San marah dan membentak beliau, “Binatang!”. Seketika itu juga, darah Habibah mendidih dan langsung menjawab cercaan Isutani San dalam Bahasa Jepang, “Mosi watakusiwa dobatsu anato no dobotku” (Kalau saya binatang, kamu juga binatang”. Untungnya, Habibah tidak ditampar atau ditahan, ternyata ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Kempai melakukan harakiri (bunuh diri).
Tahun 1945
Sekitar pukul 08.00 pagi, semua pegawai kantor berkumpul di halaman pendopo. Di hadapan rakyat Aceh, termasuk Habibah, telah berdiri Iiono San, di samping Eiri San, mengumumkan bahwa Nippon kalah tapa syarat dan akan kembali ke negeri Sakura. Pengumuman ini disampaikan Eiri San dalam bahasa Indonesia. Semua orang bergembira. Waktu itu bendera Jepang masih berkibar di atas gedung. Setelah Teuku Daud Beureuh menggantikan tempat Iiono San, barulah bendera Jepang diturunkan dan Merah Putih dikibarkan. Semua berjalan lancer tidak ada huru-hara.
Kantor tempat Habibah bekerja dijadikan kantor residen, yang menjadbat residen adalah Teuku Tjik Daoed Syah, sedangkan wakilnya Teuku Amin. Pimpinan beliau sendiri waktu itu Commis Usman. Kantor berdekatan dengan tangsi tentara Jepang di sekitar Kota Alam, Banda Aceh. Suasana hari itu sangat mengerikan, kapal terbang dengan suara gemuruh melayang-layang sangat rendah, seperti mau menyambar-nyambar. Habibah sangat takut apabila ada bom yang dijatuhkan, selintas beliau teringat masa kecil ketika senang membaca buku-buku sejarah, dan buku yang paling berkesan bagi beliau adalah Perang Aceh. Dalam buku itu dikisahkan bagaimana kejamnya tentara kompeni Belanda, orang kape (kafir), membunuh rakyat.
Masuk Dunia Militer
Ketika itu, beliau berumur delapan belas tahun. Bersama Sarijah, Supinah, Sumiyati, dan Anneke, beliau mendaftarkan diri ke kantor Pesindo Banda Aceh untuk menjadi anggota Laskar Wanita. Banyak pegawai kantor pemerintah dan swasta serta anak-anak sekolah yang juga mendaftar. Faktor yang menyebabkan beliau ingin masuk kelaskaran, selain abang tertua, Mohammad Zein, menjadi anggota Pesindo, juga karena seringnya beliau mendengar siarang radio, terutama pidato Bung Tomo di Surabaya. Pidatonya selalu berkobar-kobar, membakar semangat, dan membangkitkan keberanian.
Beliau masuk Laswi dengan pangkat Sersan. Komandan beliau waktu itu Bapak Ali Hasymi, Ketua Pesindo yang kemudia menjabat Gubernur Aceh. Sepulang kerja, hamper setiap hari selalu berkumpul di lapangan, belajar baris-berbaris dari pukul 16.00 hingga 18.00 petang. Selain itu, beliau juga diajarkan cara menggunakan senjata. Pendidikan ini diberikan oleh Ketua Laswi, yaitu Ciek Angah.
Malam hari, beliau sering mendapat tugas di statsiun kereta api Banda Aceh. untuk tugas malam, beliau sering mendapat kesulitan pamit orang tua, karena beliau masuk Laswi tanpa sepengetahuan orang tua. Tugas malam merupakan tugas wajib, karena kalau tidak datang akan dilaporkan ke komandan. Pada Suatu hari, sekitar pukul 22.00, Habibah akhirnya memeberanikan diri pamit kepada orang tua dengan keterangan panjang lebar. Akhirnya orang tua Habibah pun rela melepaskan anak gadisnya untuk bertugas demi perjuangan, dengan pesan agar menjaga diri, jangan membuat aib nama keluarga, dan masih banyak lagi.
Selama masa revolusi, kereta api tiba tidak menentu, kadang pukul 01.00 lewat tengah malam atau pukul 02.00. Selama menunggu, beliau sering menyanyikan lagu-lagu perjuangan agar tidak mengantuk.Kalau kereta api tiba, wajib mendengar instruksi agar jeli melihat penumpang yang turun. Regu putrid siap memeriksa setiap penumpang wanita. cara memeriksanya, mereka tidak terkecuali harus masuk ke dalam salah satu ruang stasiun. Koper, baju, konde, semua diperiksa dengan teliti satu per satu. Biasanya kaki tangan Belanda menyelipkan kode di konde merekam berupa benang merah putih biru atau angka 1234. Setiap penumpang yang dicurigai dicatat namanya, kemudian dilaporkan kepada komandan.
Masuk Dapur Umum, Membantu Palang Merah
Pada zaman perjuangan, rasanya apa yang dapat dilakukan ingin Habibah kerjakan. Bersama  
Anna, Lisma, Hiswani, serta teman-teman lain membantu ibu-ibu di dapur umum membungkus makanan. Kadang-kadang, yang dibungkus hanya ketan kuning dengan kelapa inti, lain waktu nasi putih dengan gulai Aceh. Makanan yang telah dibungkus daun pisang, dibawa ke front untuk para prajurit yang sedang berjuang di garis depan.
Khusus untuk Palang Merah,langsung dibimbing dan diuji oleh Letkol Dokter Hahjudin, Kepala Rumah Sakit Banda Aceh. Saya lulus dan mendapat diploma Palang Merah. Setelah lulus, seringkali ditugaskan di Rumah Sakit Kota Alam, merawat orang-orang yang menderita luka bakar atau patah tulang.
Pengalaman Tak Terlupakan
Ketika Presiden Soekarno datang ke Aceh, Habibah ikut menyambutnya berbaris bersama lascar yang lain. Di hari kedua, ketika Bung Karno singgah di pendopo, Habibah pun berusaha hadir di sana. Oleh karena Habibah adalah pegawai karesidenan, beliau bebas keluar masuk pendopo dan sempat berfoto bersama Presiden di tangga bersama residen dan wakilnya, keluarga Bapak Jamil, Noermala Saleh, dan lain-lain.
Tanggal 10 Juni 1948, Habibah menikah dengan Usman Effendie, seorang anggota TNI dari Sumatra Timur Bagian Intel berpangkat Letnan II. Berhubung tugas suami Habibah di Sibolga, beliau pun ikut mendampinginya berjuang, meninggalkan orang tua dan sanak saudara. Dalam perjalanan ke Banda Aceh, Meulaboh, Meukik, dan Tapaktuan, Habibah ikut rombanongan TNI selama lebih kurang sepuluh hari.
Habibah ditugaskan di Bagian Kesehatan (PMI). Romobongan yang terdiri dari dua belas orang itu, wanitanya hanyalah Habibah seorang diri. Naik kendaraan dari Banda Aceh menuju Meulaboh selama satu hari, dan dari Meulaboh ke Meukikjuga ditempuh dalam waktu satu hari. Kendaraan yang menyerupai gerobak dan sering mogok di jalanan, ditambah dengan kodisi jalan darurat yang belum beraspal, membuat perjalanan jarak dekat itu ditempuh dalam waktu satu hari.
Di Meukik, menginap di rumah penduduk. Setelah dua hari dalam perjalanan, rasanya badan pegal-pegal. Oleh karena situasi perang, yang kemungkinan sewaktu-waktu apapun bisa terjadi, hati beliau selalu diliputi rasa was-was. Namun, rombongan selalu siap siaga, walaupun sedang beristirahat.
Keesokan harinya, berangkat lagi melanjutkan perjalanan menuju Tapaktuam yang memakan waktu satu hari. Akhirnya, Habibah istirahat di rumah penduduk, perjalanan pannjang terasa sangat melelahkan karena harus menyebrangi dua sungai dengan menggunakan rakit.
Dari Tapaktuan menuju Sibolga, bersama beberapa orang dari angkatan darat, laut, dan udara terpaksa mengarungi Samudera Hindia dengan tongkang. Kebetulan kebagian tempat di atas atap, karena tongkang kecil itu sudah penuh sesak dengan penumpang lain.
Dalam perjalanan, tongkang yang ditumpangi diserang badai membuat terhempas kesana kemari. Cadik tongkang patah, orang-orang panik berteriak-teriak menyuruh mencari keseimbangan. Habibah takut sekali melihat ombak bergulung-gulung semakin menggunung. terbayang wajah orang tua, maklum baru pertama kali pergi jauh tanpa mereka. Perasaan beliau saat itu, “pasti mati tenggelam”. Beliau berpegangan erat dengan tangan Usman, suami Habibah, untuk mencari kekuatan dan ketenangan. Rasanya perahu yang ditumpangi hendak ditelan laut, persis seperti sabut kelapa yang terombang-ambing dipermainkan ombak. Hujan turun semakin deras, suara gemuruh menunjang deburan gelombang yang mengganas diseling kilatan petir menyambar-nyambar di kegelapan langir, memacu debaran jantung yang semakin cepat berdetak. Begitu angin bertiup kencang, layar pun cepat diturunkan. Namun, perahu ketinggalan kompas dan semua penumpang berusaha mencaru keseimbangan agar perahu tidak terbalik.
Setelah beberapa jam dipermainkan gelombang, akhirnya badai berlalu dan tongkang kami terbawa arus ombak menuju sebuah pulau, bernama Pulau Dua. Semua penumpang lalu menuju pula itu, yang tidak berpenghuni. Untuk mencapai pulau itu, harus naik perahu kecil, dan ketika Habibah meloncat dari tongkang ke perahu itu beliau tergelincir dan tercebur ke laut, untunglah Usman cepat menangkap tangan Habibah.
Semua penumpang tongkang terpaksa menginap di pula tersebut. Walaupun tidak ada rumah penduduk, tetapi banyak saung bekas tempat tinggal nelayan. Di situlah  tempat menginap sampai tongkang selesai diperbaiki. Habibah kedinginan, maklum baju basah dan angin bertiup dengan sangat kencang. Dalam penantian di pulau itu, karena banyak buah sukun, berhari-hari hanya makan sukun bakar dan ikan bakar tanpa nasi. Untung dalam perahu banyak persediaan air, alhasil untuk minum tidak mendapat banyak kesulitan.
Setelah tongkang siap berangkat, akhirnya pun berlayar lagi. Hampir satu minggu terapung dikelilingi laut lepas, sebelum akhirnya sampai di Sibolga. Dari Sibolga melanjutkan perjalanan ke Padang-Sidempuan, lalu kemudian ke Kotanopan bersama-sama Laskar Republik Indonesia.
Dari kotanopan, berjalan kaki (long march) bersama anggota Laskar RI dibawah pimpinan Kapten Kasmir dan mayor Ali, menuju Bonjol melewati jalan tikus di Bukit Dua Beleh. Dalam perjalanan ada beberapa lascar yang terserang penyakit malaria. Tugas Habibah adalah merawat mereka yang sakit. Obat yang beliau berikan adalah Etebrin, pil berwarna kuning. Merawat orang sakit dalam perjalanan memang tidak mudah, karena ada yang harus ditandu.
Di Muara Sipongi, bergabung dengan terntara disana dan tanpa disangka-sangka bertemu dengan Letnan Sangkot Lubis. Selagi beristirahat, sering berkumpul mendengarkan radio, terutama siawan dari Jawa dan daerah sekitar pos perjuangan. Waktu itu belanda sudah masuk kota Pandang-Sidempuan dari Sibolga, juga Bukit Tinggi. Habibah pada saat itu tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan medan. Setelah mendengar berita itu, rombongan berangkat lagi melalui jalan setapak (jalan tikus) masuk hutan keluar hutan. Hutan di Sumatra terkenal banyak binatan buasnya. Bila berjalan beriringan, Habibah tidak pernah mau ditempatkan paling belakang, karena takut diterkam harimau.
Selama perjalanan keluar-masuk hutan, selain kaki terasa pegal, baju pun sudah penuh tambalan, karena sering koyak tersangkut ranting-ranting pohon. Alhamdulillah, selama perjalanan dalam perjuangan Habibah tidak pernah sakit. hampir di setiap desa rombongan selalu berhenti, penduduk selalu ramah dan menyediakan makanan ala kadarnya. Kalau Habibah ingin makan enak, terpaksa beliau pergi ke kota dan menjual gelang atau cincin pemberian orang tua.
Perjalanan dilanjutkan lagi ke kota Rao, yang terkenal dengan nyamuk malarianya. Kata orang,gigitan nyamuk malaria bisa membuat pecah ban mobil, begitulah yang digambarkan tentang ganasnya nyamuk di kota itu. Mendengar hal itu, Habibah sama sekali tidak merasa takut. ketika malam tiba, berjalan di jalan raya menuju Bonjol dan menginap di rumah penduduk. kebetualan Habibah menginap di rumah Zus Yo, penyiar radio Nirom, yang juga pejuang dan rumahnya dekat Kali Bonjol. Pada suatu malam, hujan turun dengan derasnya, air sungai meluap ke jalan. Habibah takut sekali, karena tidak bisa berenang. Pernah suatu waktu beliau hamper tenggelam, ketika menyebrang untuk mendengar kabar dari teman-teman seperjuangan yang waktu itu ada di seberang. Di Bonjol, kami bergabung dengan laskar RI yang dipimpin oleh Mayor Ahmad Taher, yang kemudian menjabat Mentri Telkom, beserta Ibu Roslila, istrinya.
Pada akhir tahun 1949, kembali ke Kotanopan, Panyabungan, kemudian ke Sibolga. Di sana, bertemu dengan Mayor Ibrahim Aji, Bapak Marpaung, yang kemudian menjadi Duta Besar RI di Australia, dan juga Letnan Hasibuan. Saya menginap di rumah Letnan Hasibuan di Jalan Simare-mare. Ketika itu, Bapak Hasibuan bersama teman-teman lain termasuk Usman, suami Habibah, membentuk kesatuan CPM. Setelah itu, Habibah tidak turut melanjutkan perjuangan karena sakit malaria tropikana.
***
Pengalaman saya sewaktu mewawancarai narasumber dapat dikatakan tidak begitu bersusah-payah. Mengingat narasumber adalah nenek kandung dari pihak ibu, jadi dapat dengan mudah bertemu. Memori dan ingatan dari narasumber juga masih sangat baik, walaupun umurnya sudah kepala delapan. Ekspresi dan masih tajamnya kemampuan narasumber untuk meruntutkan kejadian member kemudahan bagi penulis. Satu-satunya kesulitan adalah pengaturan jadwal untuk wawancara dan menarasikan tugas ini sendiri, dikarenakan waktu dan jadwal penulis yang sangat padat, dikarenakan tugas dari sekolah maupun luar sekolah yang cukup banyak.
Salam hangat,
KDB
bersama keluarga besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar