Sumber sejarah saya adalah ayah saya sendiri. Beliau bernama Rudi Kamarudin Razak. Ayah beliau bernama Hj. Abdul Razak Mansyur dan ibu beliau bernama Sambu Razak. Beliau adalah anak ketiga dari 7 bersaudara. Beliau lahir di Makassar tanggal 20 Mei 1950. Kemudian saat beliau kecil, beliau pindah ke Jakarta. Sewaktu di Jakarta beliau tinggal di Jl. Cideng Timur no. 85, Jakarta Pusat. Beliau bersekolah di Sekolah Dasar yang saat itu masih bernama Sekolah Rakyat (SR) Fan Lith yang terletak di Jl. Gunung Sahari no 88, Jakarta Pusat. Setelah 6 tahun bersekolah di SR, beliau melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih di Fan Lith, yang tidak berjarak jauh dari SR, yaitu Jl. Gunung Sahari no 91. Melewati tiga tahun masa SMP, beliau melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas, di SMA Katolik Kanisius Kolase, yang terletak di Jl. Menteng Raya no 64, Jakarta Pusat. Namun, tidak menyelesaikan sekolah di SMA Katolik Kanisius, lalu pindah mengulang kelas 1 karena sakit ke SMA Kristen Badan Pengurus Sekolah Kristen (BPSK). Beliau juga tidak menyelesaikan SMA Kristen BPSK sampai lulus, dan berpindah ke SMA Negeri 25 (SMA 5 Filial). Disini beliau menyelesaikan masa SMAnya. Beliau melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah di Universitas Trisakti fakultas Teknik jurusan Arsitektur di Jl. Kiyai Tapa, Grogol. Ayah saya bertemu dengan Ibu saya, Irna Nirwani Djajadiningrat dan diberikan dua anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Pada tahun 1965, saat beliau masih bersekolah di SMA Kristen BPSK kelas satu SMA, pada tanggal 30 September keadaan masih seperti keadaan normal. Beliau hari itu sedang berada di kediamannya. Saat itu di televisi saluran TVRI beliau sedang menonton Siaran langsung pidato presiden saat itu, Soekarno. Di masa itu, jika Soekarno sedang berpidato semua orang berbondong-bondong menyempatkan waktu untuk menontonnya.
Esoknya, pada tanggal 1 Oktober 1965, telepon di rumah beliau, Jl. Cideng Timur no 85 rusak dan tiba-tiba tidak bisa digunakan. Ayah beliau menyuruh beliau untuk pergi ke Kantor Telefon di Jl. Medan Merdeka Selatan (Gedung Telkom sekarang) untuk melapor rusaknya telepon. Hal ini selalu dilakukan jika telepon di rumah beliau rusak atau tidak bisa digunakan. Ternyata, saat beliau sampai di kantor telefon, gedung ini sudah dijaga oleh tentara. Beliau tidak bisa masuk karena tidak diizinkan oleh para tentara yang mengatakan memang seluruh telepon sedang rusak. Tidak seperti biasanya yang selalu diizinkan masuk. Yang terakhir baru diketahui, kalau tentara itu adalah tentara pemberontak pendukung dewan revolusi. Setelah pulang ke rumah lebih dahulu, beliau dan teman beliau pergi menonton bioskop di Jl. Pintu Air. Pada saat menuju ke bioskop, di Jl. Nusantara (sekarang Jl. Insyinyur Hj. Juanda) jalanan macet, disebabkan oleh jalanan yang biasanya satu arah dibuat menjadi dua arah, karena Jl. Segara (sekarang Jl. Veteran) yang dimana terdapat Istana Negara ditutup dan tidak boleh dilalui oleh orang-orang. Sepulang dari menonton bioskop, di rumah beliau sudah terdapat koran (yang ternyata dikeluarkan oleh PKI) dengan berita utama “Presiden Soekarno diselamatkan Dari Upaya Pembunuhan oleh Letkol Untung dari Resimen Cakrabirawa (sekarang Pasukan Pengawal Presiden)” dan pada saat itu beliau juga mendengar dari radio saluran RRI bahwa “Sekarang Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Dewan Revolusi yang diketuai Letnan Kolonel Untung” di berita radio ini juga disebutkan susunan kabinet yang baru. Setelah Soeharto berhasil merebut RRI, ada pidato singkat yang berisi dua pengumuman dari Panglima Kostrat Mayor Jenderal Soeharto di radio bahwa yang pertama dewan revolusi menjalankan makar/kudeta (pengambilan kekuasaan secara paksa), yang kedua Presiden Soekarno dalam keadaan selamat.
Esoknya, terdapat koran bernama API yang memiliki berita utama “Rakyat Mempertanyakan Nasib Jenderal-Jenderal”. Yang kemudian baru beliau ketahui Jenderal-Jenderal itu diculik oleh PKI. Jenderal-jenderal inilah yang sekarang kita kenal dengan nama ‘Tujuh Pahlawan Revolusi’ . Tujuh Pahlawan Revolusi ini ditemukan di Lubang Buaya karena dibunuh oleh PKI.
Pada tanggal 5 Oktober yang bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesi / ABRI (yang sekarang bernama Tentara Nasional Indonesia/TNI) Tujuh Pahlawan Revolusi ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang terletak di Kalibata. Jenazah dibawa dengan Panser (kendaraan angkatan darat yang berlapis baja). Sepanjang jalan, rakyat ikut sedih melepas kepergian tujuh pahlawan ini. Disana juga terdapat Jenderal Nasution yang lolos dari penculikkan biarpun terdapat luka pada kakinya. Belakangan baru diketahui bahwa dalang dibalik semua kegiatan ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat rakyat mengetahui bahwa PKI adalah dalang dibalik semua penculikkan ini. Rakyat yang dimotori oleh mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) melakukan demo secara terus menerus untuk meminta Presiden saat itu, Soekarno untuk membubarkan PKI. Rakyat mengeluarkan Tri Tuntutan Rakyat (TRIKORA): Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, Perombakan kabinet DWIKORA, Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan. Namun, Soekarno menolak karena Soekarno ini adalah pendiri NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis). Dan pada akhirnya Soekarno malah ingin membubarkan KAMI, namun tidak berhasil. Setelah munculnya KAMI muncullah kesatuan pelajar lain, seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda/Pelajar Indonesia) yang diketuai Yusuf A Rawis yang kebetulan satu SMA dengan ayah saya, yaitu di SMA BPSK. Di KAPI terdapat beberapa rayon, seperti Rayon Gambir yang terdapat di Jl. Medan merdeka timur, Rayon Tanah Abang (RATNA) yang markasnya terdapat di Jl. Tanah Abang 3 (bekas gedung PGRI) yang diketuai oleh (alm) Saibun A.M. dan memiliki wakil Jessy A. Moninca. Disini ayah saya merupakan anggotan dari Rayon Tanah Abang. Di Rayon ini adalah tempat pencetakan spanduk, poster dan lain-lain . Setelah melalui demo-demo, puncak kemenangan adalah pada saat dikeluarkannya S.P tanggal 11 Maret yang lebih dikenal dengan nama super semar yang berisikan pemberian wewenang dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto untuk mengamankan Republik Indonesia. Wewenang itu dipakai oleh Soeharto untuk salah satunya pembubaran PKI. Hal ini merupakan kemenangan dari perjuangan mahasiswa, pemuda, pelajar dan seluruh rakyat Indonesia yang dirayakan pada tanggal 12 Maret 1966 di Ibukota Jakarta. Untuk sementara, demo-demo pada saat itu berhenti dan para mahasiswa kembali ke universitasnya masing-masing untuk kembali ke tugas utama sebagai pelajar.
Jujur saja, saya tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam mencari sumber sejarah ini, karena beliau merupakan ayah saya sendiri. Yang mungkin agak membuat susah adalah pembagian waktu beliau yang kadang tidak sempat untuk diwawancarai seperti ini. Biarpun sulit menemukan waktu yang tepat, tapi wawancara ini cukup menyenangkan. Selain saya jadi mengetahui salah satu dari sejarah Bangsa Indonesia, saya juga lebih mengetahui masa lalu ayah saya. Menurut saya, ayah saya sangat baik dan pengertian, juga seru. Saat melakukan wawancara saya juga didampingi mama saya yang menerjemahkan ke Bahasa Indonesia yang baik dan benar, mama saya jugalah yang mengambil foto saya dan ayah saya. Saya senang dengan adanya wawancara ini yang membuat saya bisa lebih banyak bercerita dengan ayah saya.
Saya dan Papa |
Saya dan Papa (juga) |
Ini merupakan tugas kedua yang berisi wawancara dengan sumber sejarah. Sekian, semoga bermanfaat untuk semuanya!!! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar