Narasumber bernama lengkap Sukotjo Tjokroatmodjo. Beliau lahir di Kertosono Jawa Timur pada tanggal 18 Desember 1927. Saat lahir beliau diberi nama Soekotjo, baru pada usia 21 tahun diambillah nama tua Soekotjo. Pada tahun 1952, nama Soekotjo diubah menjadi Sukotjo, mengikuti ejaan baru yang berlaku.
Pendidikan beliau dimulai dari Taman Kanak-kanak di Jember pada tahun 1932. Pada tahun 1933, beliau masuk ke sekolah bernama Hollands Inlandse School (HIS) di Surabaya yang sekarang setara dengan Sekolah Dasar. Hollands Inlandse School terdiri dari kata ‘Holland’ yang berarti Belanda, ‘Inlandse’ yang berarti pribumi dan ‘School’ yang berarti sekolah, sehingga HIS adalah sekolah campuran anak-anak Belanda dan pribumi. Beliau sekolah di HIS Surabaya dari kelas 1 sampai kelas 4. Ayah beliau adalah seorang pegawai kereta api, maka dari itu beliau dan keluarga sering berpindah-pindah tempat tinggal, sehingga pada tahun 1937 beliau harus pindah ke kota Malang, dan melanjutkan sekolah kelas 4 sampai tamat kelas 7 di HIS Malang. Pada tahun 1941 beliau masuk ke sekolah bernama (MULO) di Kota Malang yang berarti Pendidikan Dasar yang Diperluas. Beliau hanya sempat belajar di kelas 0 selama beberapa bulan, karena pada bulan Maret tahun 1942, pasukan Jepang datang menjajah Indonesia. Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia pun di musnahkan oleh Jepang.
Mulai saat itulah terjadi banyak perubahan. Jepang akhirnya memusnahkan semua sekolah buatan Belanda dan mendirikan sekolah baru dengan nama Sekolah Rakyat yang setara dengan sekolah dasar kelas 1-6 dan sekolah menengah pertama kelas 1-3. Jepang juga mengubah tahun ajaran yang awalnya bermula di bulan Juli dan berakhir di bulan Juni menjadi bermula di bulan Januari dan berakhir di bulan Desember. Karena pendidikan beliau yang masih di kelas 0 belum selesai, beliau tidak bisa melanjutkan sekolah di Sekolah Rakyat karena tidak diperbolehkan untuk naik ke kelas 1 SMP, sehingga Jepang menyuruh untuk kembali ke kelas 6 SD. Namun beliau menolak. Akhirnya pada bulan April 1942 beliau mengikuti kursus di Muhammadiyah bagi eks kelas 7 SD dan kelas 0 SMP. Pelajaran yang diajarkan di kursus itu adalah pelajaran kelas 1 SMP, sebagai dasar untuk mendaftar di SMP buatan Jepang.
Setelah selesai mengikuti kursus di Muhamadiyah, beliau mendaftarkan diri di SMP 2 Jogja pada bulan Desember 1942. Namun beliau masuk sebagai siswa kelas 2 SMP karena telah mengikuti kursus pelajaran kelas 1 SMP. Pada pertengahan tahun 1943 beliau kembali ke Malang dan masuk ke SMP Laki-laki sebagai siswa kelas 2. Sehingga teman-teman beliau yang dulunya seangkatan, menjadi berada di bawah beliau yaitu masih di kelas 1 SMP. Alhasi beliau berteman dengan senior-seniornya.
Pada bulan Januari tahun 1945, beliau masuk ke Sekolah Menengah Tinggi (SMT) di Surabaya yang setara dengan SMA. Pengalaman pertama beliau yang ada sangkut pautnya dengan perjuangan adalah waktu beliau duduk di bangku kelas 1 SMT di Surabaya. Tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945 saat seluruh sekolah diperintahkan oleh Jepang untuk berkumpul di halaman depan sekolah untuk mendengarkan melalui radio umum, pidato seorang anggota panitia persipan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Yang berpidato adalah Ir. Soekarno. Pidato itulah yang dikenal sebagai lahirnya Pancasila. Beliau mengaku tidak mengerti tentang pidato yang disampaikan karena tidak ada latar belakang politik sama sekali, sedangkan senior-seniornya mungkin sudah lebih mengerti.
Sekitar satu bulan setelah peristiwa itu, SMT Malang dibuka. Akhirnya beliau memustuskan untuk kembali ke Malang karena orang tua beliau tinggal di Malang. Tibalah saat-saat proklamasi kemerdeaan. Namun beliau baru mendengar siaran proklamasi beberapa hari setelah tanggal 17 Agustus 1945. Saat Jepang berkuasa hanya ada satu gelombang radio milik Jepang yang boleh disiarkan, namun ada seorang pegawai penerangan Jepang bernama Yusuf Ronodipuro yang berani menyiarkan proklamasi kemerdekaan ke berbagai kota di Indonesia. Pada saat itu ada desakan untuk membuat Komite Nasional (yang sekarang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat) untuk melindungi bangsa. Beliau ikut serta dalam pembuatan Komite Nasional tersebut.
Kembali pada tahun 1943, Jepang membuat suatu organisasi bernama PETA (Pembela Tanah Air). Organisasi tersebut berisikan remaja-remaja dengan umur minimal 18 tahun yang secara sukarela mau masuk ke dalamnya. Beliau bercerita bahwa beliau belum bisa masuk PETA karena umurnya yang masih belum cukup, namun teman-teman beliau banyak yang berbohong mengaku berumur 18 tahun sehingga bisa masuk ke PETA, lalu dilatih di Bogor. Pada tahun sebelumnya yaitu 1942, Jepang juga menciptakan pembantu prajurit bernama HEIHO, yang beranggotakan pemuda-pemuda di desa da bekas tentara Belanda yang kalah oleh Jepang. Tentara Belanda tersebut disebut dengan sebutan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger).
Masih di bulan Agustus 1945, tepatnya tanggal 15, Jepang kalah perang oleh sekutu. Sekutu memerintahkan Jepang untuk melucuti diri , melucuti PETA dan HEIHO. Namun ada satu yang tidak dilucuti yaitu polisi karena mereka bertugas untuk menjaga keamanan. Sebenarnya Jepang berencana untuk melawan sekutu dengan polisi yang masih emmegang senjata. Polisi-polisis tersebut sudat dilatih secara militer oleh Jepang dan mereka disebut dengan sebutan Polisi Istimewa. Namun rencana tersebut tidak berhasil.
Beliau bercerita bahwa setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan,beliau dan teman-temannya mencuri mobil pick-up milik polisi dan senjata dari lapangan terbang Singosari atau yang dulu biasa disebut Bogis dan sekarang menjadi Bandar Udara Abdulrahman Saleh. Bila bertemu dengan orang Jepang yang sedang sendirian dan membawa senjata, sudah pasti senjatanya akan dicuri. Beliau dan teman-temannya juga mencuri senjata-senjata yang terdapat di dalam gua penyimapanan. Tidak hanya mencuri mobil dan senjata Jepang, teman-teman beliau yang sudah lebih tua juga menduduki kapal terbang dengan persiapan senjata ditangan mereka. Dengan tidak bermodalkan pengetahuan apapun tentang pesaat, mereka mencoba-coba untuk menghidupkan dan menerbangkan kapal terbang-kapal terbang tersebut. Inilah awal permulaan adanya angkatan udara. Setelah mencuri banyak senjata, beliau dan teman-temannya berkeliling ke kota-kota yang belum punya Komite Nasional guna mengajak penduduk-penduduk setempat untuk membuat Komite Nasional sambil menyebarkan dan menempelkan bendera merah-putih di segala tempat. Sekaligus membagikan senjata ke para penduduk. Kota-kota yang belum punya Komite Nasional tersebut adalah Kediri, Tulungagung dan Blitar. Saat itu Jepang mengejar-ngejar beliau dan teman-temannya, namun mungkin memang sudah kehendak, beliau dapat lolos dan dapat kembali ke Malang.
Sekitar bulan September atau Oktober terjadi pertempuran antara Jepang dan Inggris di Semarang selama 5 hari. Di Surabaya juga terjadi perang seiring dengan kedatangan Inggris di Pelabuhan Tanjung Perak. Di Gedung Pemuda diadakan pembagian senjata bagi orang-orang yang ingin ikut berperang. Inggris datang dengan tujuan untuk menyelamatkan interniran (ibu-ibu dan anak-anak) Belanda yang ditahan oleh Jepang, melucuti Jepang dan untuk mengembalikan pasukan Jepang ke negara Jepang.
Pada 19 September 1945 terjadi suatu insiden di Jalan Tunjungan Surabaya, tepatnya di Oranje Hotel (nama oleh Jepang: Yamato Hotel) yang disebut “Insiden Bendera” atau “Insiden Hotel Oranje”. Pada pagi hari sekelompok orang-orang Belanda dan Indo Belanda sudah mengibarkan bendera Belanda di atas atap Hotel Oranje. Tindakan ini menimbulkan amarah rakyat sehingga rakyat-rakyat menyerbu Hotel Oranje, menurunkan bendera merah-putih-biru dan menyobek bagian birunya. Dan berkibarlah bendera merah-putih.
Pada bulan November, Inggris kembali ke Surabaya di Pelabuhan Tanjung Perak. Namun rakyat bersenjata langsung menyerang pasukan Inggris, sehingga mereka mundur, dan berkeputusan untuk memanggil presiden Ir. Soekarno dan melakukan gencatan senjata. Inggris dapat memperkuat pasukannya sehingga terhindar dari kekalahan selama 1 minggu lamanya. Pada tangal 9 November, Inggris memberikan ultimatum agar rakyat Surabaya meletakkan senjata dan menyerahkannya kepada tentara sekutu hari itu sebelum pukul 18.00. Apabila tidak dituruti maka Surabaya akan dihancurkan dengan kekuatan darat, laut dan udara sekutu. Pemimpin perjuangan rakyat Jawa Timur, Gubernur Suryo diberi kebijaksanaan oleh Pemerintah Pusat untuk mengambil keputusan atas ultimatum yang diberikan. Gubernur Suryo segera berunding dengan pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan pemerintah Jawa Timur serta pimpinan perjuangan rakyat. Semua setuju untuk menolak ultimatum sekutu dan menyatakan siap bertempur mempertahankan kota Surabaya. Lalu terdengar akhir pesan Gubernur Suryo dalam kesunyian malam 9 November 1945 itu: “…Peliharalah persatuan. Lebih baik kita hancur daripada dijajah kembali. Selamat berjuang saudara-saudara…”. Keesokan harinya pada tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, terjadi pertempuran hebat antara sekutu dan rakyat-rakyat di Surabaya dan TKR. Seetelah beperang kurang lebih 20 hari, akhrnya sekutu mau menarik pasukannya mundur.
Beliau bercerita, saat perang sudah sampai ke sekolahnya yaitu SMT, ada dua orang teman sekelasnya yang menciptakan lagu “Temanku Pahlawan” yang sangat populer pada zamannya. Teman beliau yang menciptakan musik/melodinya bernama Abdul Saleh.Sedangkan yang menciptakan liriknya adalah Suwandi. Lirik lagu ini ditemukan di dalam saku Suwandi saat beliau gugur di front Mojokerto. Saat sedang wawancara ,beliau hampir menitikan air mata saat mencoba menyanyikan dan mengenang lagu yang sangat berkesan ini karena teringat oleh perjuangannya dan teman-temannya dulu.
Dahulu beliau pernah menjadi tentara. Hal ini bermula saat beliau duduk di bangku SMT. Dulu saat perang masih terus berlangsung, beliau selalu membawa senjata ke sekolah dan meletakkan senjata-senjatanya dengan rapih di atas meja. Awalnya mungkin masih diperbolehkan, lama kelamaan beliau dipanggil oleh kepala sekolah. Sang kepala sekolah pun berkata pada beliau bahwa beliau harus bisa menentukan sikap, ingin perang atau ingin sekolah. Pada akhirnya beliau memilih untuk perang dan memutuskan untuk berhenti sekolah.
Pada Oktober 1945 beliau masuk ke Sekolah Perwira di Malang sebagai angkatan yang pertama. Beliau mengikuti semua pertempuran yang ada hingga jatuhnya Malang pada 31 Juli. Lalu beliau menjadi pelatih untuk angkatan kedua. Saat itu beliau masih perang dengan Belanda, dan selalu ingin ditempatkan di garis depan walaupun sudah ada pergantian pasukan. Saat sudah tidak ada perang di tahun 1948, beliau dipindahkan ke Jogja, pindah Corps Polisi Militer, menjadi Komndan Peleton di Kompi II Batalyon Mobil B Polisi Militer yang bertugas untuk mengawal Presiden Ir. Soekarno. Hari itu tanggal 19 Desember 1948 beliau menghadap Ir. Soekarno di serambi belakang untuk menyampaikan suatu usul. Beliau mempunyai usul untuk ditinggalkan bersama dengan 30 orang untuk menahan Belanda sehingga Presiden dapat dibawa pergi sebelum pasukan Belanda sempat mengepung istana. Namun presiden Ir. Soekarno malah berkata begini: “Merah Putih tidak menyerah, tetapi kita serahkan rumah ini kepada Belanda.” . Namun beliau tidak terima dengan jawaban itu dan malah membalas (sambil menitikan air mata dan melemparkan ikat pinggang dengan pistolnya ke depan presiden): “Empat tahun perang, kok menyerah.”
Namun setelah dianalisis, ternyata jawaban Ir. Soekarno itulah yang memenangkan pertarungan. Pada 19 Desember 1948 pukul 16.00, beliau dan satu temannya disuruh berjalan di depan senapan mesin. Mereka digunakan sebagai tameng, untuk menyerahkan pasukan Indonesia yang masih melawan. Namun kesempatan ini digunakan mereka untuk kabur, dan berhasil lolos tanpa cedera. Malam itu beliau bertemu dengan 16 orang anggota Kompi II yang mengawal kediaman presiden dan melarikan diri saat melihat beliau kabur dari Istana Negara. Senjaa mereka masih lengkap, dan inilah modal beliau untuk terus perang gerilya sampai akhirnya dapat masuk kota Jogja dan Belanda pergi pada 29 Juni 1949.
Kembali ke Januari 1949 saat ada resolusi PBB, dimana Belanda tidak mau saat diminta untuk berunding dengan Indonesia mengenai penyerahan kedaulatan. Belanda tidak mengakui kedaulatan Indonesia karena Belanda berbohong dengan mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada apa-apa, tidak ada pemerintahan dan tidak ada pasukan pertahannannya. Hal ini disebabkan karena serangan yang selama ini terjadi selalu pada malam hari, sehingga dunia tidak melihat. Karena tidak terima dengan keadaan ini, akhirnya Sultan Jogja mengirim surat ke Jendral Sudirman memberi usul untuk mengadakan serangan siang hari. Jendral Sudirman pun setuju dan memerintahkan Kolonel Bambang Sugeng untuk memimpin serangan siang hari dengan komandan Soeharto. Serangan itu dinamakan serangan 1 Maret.
Lalu diadakan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 23 Agustus 1949 di Den Haag yang diikuti wakil dari Republik Belanda dan 18 negara bentuka Belanda. Ada seorang tokoh yang sebenarnya sangat berjasa dalam penyerahan kedaulatan ini, ialah Anak Agung Gde Agung yang mengatakan bahwa dari 18 negara bentukan Belanda, hanya ada 5 negara yang mau tetap dibawah naungan Belanda. Sedangkan 13 negara lainnya menolak. Dan Indonesia menginginkan kemerdekaan mutlak tanpa campur tangan Belanda, karena sebenarnya Republik Indonesia Serikat hanyalah kompromi dari perjuangan pahlawan-pahlaan selama ini. Hal inilah yang membuat Belanda kalah. Pada 27 Desember 1949 akhirnya terjadi penyerahan kedaulatan di Den Haag oleh Ratu kepada Bung Hatta. Di saat yang sama, di Jakarta juga ada penyerahan oleh Gubernur Jendral kepada Sultan.
Setelah hari itu beliau hanya mejalani dinas-dinas militer biasa. Tidak ada kesulitan yang memberatkan saya dalam proses wawancara ataupun dalam mencari narasumber, karena beliau adalah suami dari tantenya eyang saya yang hubungannya tidak begitu jauh dari keluarga saya. Dengan melakukan wawancara ini saya jadi bisa lebih menghargai perjuangan-perjuangan pahlawan di zaman dahulu dan lebih mencintai bangsa Indonesia atas kegigihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar