Tokoh atau saksi sejarah yang akan saya ceritakan ini merupakan ibu saya sendiri. Beliau bernama Endriana Rahmawati, atau biasa dipanggi Ana. Lahir pada tanggal 20 Desember 1963 di Surabaya. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Endang dan Rachman Hadi. Menjadi anak pertama dan memiliki 5 adik, yang ke lima-limanya perempuan. Beliau menjadi anak yang dibesarkan secara mandiri meskipun masih kanak-kanak. Karena pekerjaan ayah beliau yang berpindah-pindah sebagai pimpinan suatu bank, beliau seringkali ditinggalkan di rumah bersama lima adiknya yang masih kecil-kecil. Meskipun menghabiskan masa kecil dan remaja nya berpindah-pindah kota di Indonesia, ia sempat bersekolah di salah satu SD di Surabaya yang merupakan sekolah Kristen. Meskipun beragama Islam, beliau mencoba mengikuti aturan-aturan di sekolah tersebut yang terkenal dengan ke-strict-annya. Selama beberapa tahun mengenyam pendidikan di kota pahlawan tersebut, beliau pindah ke daerah Rantepao yang merupakan daerah terpencil di kabupaten Tana Toraja yang terletak di Sulawesi Selatan. Selama berada di Tana Toraja, beliau merasakan kehidupan bagaikan orang-orang desa yang memang disana tidak terdapat banyak fasilitas yang memadai seperti di kota-kota besar Indonesia. Menghabiskan masa sekolah menengah pertaka di daerah tersebut, beliau mencoba beradaptasi perlahan-lahan. Setelah bertahun-tahun menghabiskan masa remaja disana, beliau dapat juga beradaptasi hidup di daerah terpencil. Lulus dari SMP, beliau berpindah lagi ke kota Salatiga, Jawa Tengah. Disana beliau menghabiskan masa-masa terakhir sekolah. Setelah lulus sekolah, beliau melanjutkan pendidikan kuliah strata 1 di kota Jogjakarta, meskipun pada saat SMA mengambil jurusan IPA yang berhubungan dengan ilmu alam atau sains, pada saat kuliah beliau mengambil jurusan ekonomi. Sebenarnya, beliau ingin sekali melanjutkan pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakatnya di bidang memasak. Beliau sudah terbiasa memasak makanan dan kue-kue sejak masih kecil, bisa dibilang saat umurnya masih hampir menginjak belasan, beliau sudah mahir dan mengerti betul mengenai masak-memasak yang ia pelajari secara otodidak. Namun, ayah beliau tidak mengizinkan untuk melanjutkan pendidikan di bidang tersebut, yang kurang jelas apa alasannya. Akhirnya beliau memutuskan untuk memilih jurusan ekonomi. Di masa kuliah, beliau berkenalan dengan ayah saya, yang berbeda enam tahun diatas usia beliau. Setelah mengenal satu sama lain, mereka berdua menikah pada tahun 1989. Semenjak saat itu, beliau memutuskan untuk menetap di kota kelahirannya, yang tak lain dan tak bukan adalah Surabaya. Setelah berkeluarga, orang tua beliau menetap di Jakarta, sementara adik-adik beliau berada di beberapa daerah yang berbeda. Ada yang di menetap di Jakarta setelah menikah, melanjutkan pendidikan di Surabaya, kuliah di Glasgow, Inggris, dan lain-lain. Beliau sering berlalu-lalang antara Surabaya dan Jakarta untuk mengunjungi adik-adik beserta orang tuanya di Jakarta. Hingga saat saya lahir, sayapun selalu ke Jakarta setiap libur sekolah dan libur lebaran (saat kecil saya sempat tinggal di Surabaya).
Pada sekitar bulan Mei tahun 1998, mantan presiden Indonesia, bapak Soeharto lengser dari jabatnnya sebagai presiden. Beliau mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden setelah sekitar 32 tahun menjabat dan 7 kali berturut-turut memenangkan pemilihan sebagai presiden. Menurut orang-orang penyebab lengsernya Soeharto pada saat itu adalah karena menurunnya tingkan ekonomi Indonesia yang semakin parah, dan juga masalah korupsi yang pada saat tahun-tahun beliau menjabat menjadi ‘memanas’. Karena masalah-masalah yang timbul sejak lama itulah, masyarakat Indonesia, baik mahasiswa maupun kalangan orang kantoran menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Berbagai demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Di Jakarta, kejadian menghebohkan terjadi, yakni terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti saat melakukan demonstrasi saat melakukan demo menuju ke gedung DPR/MPR dari kampus Trisakti. Di Surabaya, berbagai demonstrasi juga terjadi. Ibu saya yang kala itu tinggal di Surabaya melihat sendiri bagaimana rusuhnya keadaan kota saat kejadian ‘lengsernya Soeharto’ kala itu. Banyak mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Suasana kota pun dalam keadaan sedikit kacau dan ramai dengan tuntutan agar Soeharto turun dari jabatannya. Perasaan ibu saya saat itu adalah beliau merasa risih dan sedikit gelisah dengan sering dan banyaknya demonstrasi di kala itu. Ditambah lagi di saat itu beliau masih bekerja di suatu bank di Surabaya, dan saya bersekolah di sekolah dasar.
Dalam mencari informasi wawancara ini, saya tidak menemui beberapa kesulitan. Memang pada awalnya saya tidak tahu akan mewawancarai siapa, namun pada akhirnya saya menentukan untuk mewawancarai ibu saya yang menjadi saksi kerusuhan tersebut. Kendala dalam mencari informasi mungkin terletak pada waktu yang dimiliki ibu saya tidak leluasa, sangat terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar