Nama "Libya" sendiri berasal dari bahasa Mesir yang berarti "Lebu", atau sebutan bagi orang-orang Berber yang tinggal di sebelah barat Sungai Nil, dan diadopsi oleh bahasa Yunani sebagai "Libya". Pada zaman Yunani kuno, istilah ini memiliki arti yang lebih luas, yang mencakup seluruh Afrika Utara di sebelah barat Mesir, dan kadang ditujukan untuk seluruh benua Afrika.
Semula, Libya adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada tanggal 24 Desember tahun 1951 dengan Raja Idris I yang bertindak sebagai pemimpin pemerintahan. Italia merebut Libya dari Kekaisaran Ottoman (Turki) dan menjadikannya wilayah jajahan. Sebuah negara yang terletak di Afrika Utara dan berbatasan dengan Laut Tengah ini mendapat kemerdekaan setelah Italia menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II.
Pendidikan
Penduduk Libya adalah sebanyak 1.700.000 dan banyak dari penduduk itu masih dalam tingkatan pelajar, dan lebih dari 270.000 di antaranya telah mencapai perguruan tinggi. Pendidikan di Libya gratis untuk semua warga negaranya, dan seperti halnya Indonesia, pendidikan di Libya adalah wajib sampai tingkat menengah. Kemampuan baca-tulis masyarakat Libya merupakan tingkat kemampuan yang tertinggi di antara Negara-negara lainnya di Afrika Utara. Karena lebih dari 82% penduduk Libya dapat membaca dan menulis.
Setelah kemerdekaan Libya tahun 1951, universitas pertama, University of Libya, didirikan di kota Benghazi. Sejak tahun 1975 jumlah univeritas di Libya telah bertambah menjadi sembilan dan pada tahun 1980, jumlah lembaga pendidikan teknis dan kejuruan adalah 84 (12 universitas umum).
Pada tahun ajaran 1975 – 1976, jumlah mahasiswa diperkirakan sebanyak 13.418 orang. Pada 2004, jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 200.000, dengan 70.000 tambahan terdaftar dalam pendidikan teknis tinggi sektor kejuruan. Peningkatan yang cepat dalam jumlah siswa di sektor perguruan tinggi tercermin pada peningkatan jumlah lembaga perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang paling ternama di Libya adalah Al-Fateh University di Tripoli, Garyounis University di Benghazi, dan Omar Al-Mukhtar University di Al Bayda.
Jika bertanya-tanya mengapa perguruan tinggi di Libya ini dapat menjadi fasilitas cuma-cuma bagi seluruh warga negara? Jawabannya adalah karena perguruan tingi di Libya ini dibiayai oleh anggaran publik, dan pada tahun 1998, anggaran nasional yang dialokasikan untuk pendidikan mencapai 38,2%.
Sejarah
Pada tanggal 21 November 1949, Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi yang menyatakan bahwa Libya harus merdeka sebelum tanggal 1 Januari 1952. Pada tanggal 24 Desember 1951, Libya menyatakan kemerdekaan sebagai Kerajaan Serikat Libya, sebuah monarki konstitusional dan turun-temurun di bawah Raja Idris, raja Libya pertama dan satu-satunya.
Pada tahun 1951, Libya juga memberlakukan Konstitusi Libya. Majelis Nasional Libya merancang Konstitusi dan mengesahkannya dalam resolusi yang diterima dalam sebuah pertemuan di kota Benghazi pada hari Minggu, 7 Oktober tahun 1951. Abulas'ad Mohamed El-Alem, Presiden Majelis Nasional dan dua Wakil Presiden Majelis Nasional, Omar Faiek Shennib dan Abu Baker Ahmed Abu Baker dieksekusi dan diserahkan berikut Konstitusi untuk Raja Idris, seperti yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Libya.
Pemberlakuan Konstitusi Libya yang sangat signifikan dalam hal itu adalah bagian pertama dari undang-undang untuk secara resmi dibagi ke dalam berbagai hak warga negara Libya, setelah penciptaan paska-perang negara bangsa Libya. Perdebatan intens dewan PBB karena Raja Idris berpendapat bahwa pembentukan sebuah negara Libya tunggal akan bermanfaat bagi daerah dari Tripolitania, Fezzan, dan Cyrenaica. Pemerintah Libya sangat ingin merumuskan konstitusi yang berisi banyak hukum-hukum yang berlaku untuk negara-negara Eropa dan Amerika Utara, serta hak dari bangsa-bangsa.
Penemuan cadangan minyak yang signifikan pada tahun 1959, serta pendapatan dari penjualan BBM adalah alasan selanjutnya yang memungkinkan Libya sebagai salah satu negara termiskin di dunia, untuk mendirikan negara yang sangat kaya. Meskipun minyak secara drastis meningkatkan keuangan pemerintah Libya ini, kebencian di antara beberapa fraksi mulai mengancam lebih dari peningkatan konsentrasi kekayaan bangsa di tangan Raja Idris. Ketidakpuasan ini ditandakan dengan munculnya Nasserisme dan nasionalisme Arab di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah. Sementara kehadiran dari Amerika, Italia dan Inggris di Libya membantu dalam peningkatan tingkat kekayaan dan pariwisata, Perang Dunia II malah dilihat sebagai ancaman besar bagi sebagian Negara di dunia. Selama periode ini, Inggris terlibat dalam proyek-proyek rekayasa yang luas di Libya dan juga sebagai pemasok senjata bagi negara terbesar di dunia. Amerika Serikat juga mempertahankan Pangkalan Udara Wheelus besar di Libya pada masa ini.
Pada tanggal 1 September 1969, sekelompok kecil perwira militer yang dipimpin oleh petugas berusia 27 tahun, yaitu tentara Muammar Gaddafi melancarkan kudeta terhadap Raja Idris, dengan meluncurkan Revolusi Libya Gaddafi. Sejak itu telah disebut sebagai "Brother Leader and Guide of The Revolution" (Pemimpin dan Pedoman bagi Revolusi) dalam laporan pemerintah dan pers Libya resmi.
Pada hari Maulud Nabi di tahun 1973, Gaddafi menyampaikan hal yang disebut “Five-Point Adress”, yang berisikan suspensi-suspensi dari semua hukum yang berlaku dan juga implementasi dari Sharia. Beliau mengatakan bahwa Negara harus dibersihkan dari “penyakit politik”. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa milisi rakyat akan serta merta melindungi revolusi yang terdiri dari revolusi administratif dan revolusi budaya.
Pada tahun 1977, Libya resmi menjadi Jamahiriya Libia Agung Rakyat Sosialis Arab (Great Socialist People's Libyan Arab Jamahiriya). Kemudian pada tahun yang sama, Gaddafi memerintahkan serangan artileri ke Mesir sebagai pembalasan terhadap niat Presiden Mesir (Anwar Sadat) untuk menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel. Sayangnya pasukan Sadat menang mudah dalam perang perbatasan tersebut selama empat hari, yang kemudian dikenal sebagai Perang Libya-Mesir. Perang yang menumpahkan darah lebih dari 400 warga Libya dan berhasil mematahkan divisi lapis baja Gaddafi.
Pada bulan Februari 1977, Libya mulai bantuan militer untuk Goukouni Oueddei dan Angkatan Bersenjata Rakyat di Chad. Konflik Chad-Libya dimulai dengan sungguh-sungguh ketika pasukan pemberontak di Chad utara meningkat menjadi invasi.
Ratusan warga Libya kehilangan nyawa mereka dalam perang melawan Tanzania, ketika Gaddafi berusaha menyelamatkan temannya Idi Amin. Gaddafi dibiayai oleh berbagai kelompok lainnya dari gerakan anti-nuklir untuk serikat buruh Australia.
Bagian timur negara menjadi miskin dalam teori ekonomi Gaddafi.
Sebagian besar pendapatan Negara adalah berasal dari minyak, yang harganya melambung pada era tahun 1970an. Dana dari minyak tersebut dihabiskan Gaddafi untuk pembelian senjata dan mensponsori puluhan militer dan kelompok teroris di seluruh dunia. Sebuah serangan udara sayangnya gagal membunuh Gaddafi pada tahun 1986. Libya akhirnya diletakkan di bawah sanksi PBB setelah pemboman sebuah penerbangan komersial yang menewaskan ratusan wisatawan.
Dari berbagai kejadian tersebut membuat Gaddafi mendapatkan gelar kehormatan sebagai "Raja Segala Raja Afrika" pada tahun 2008, sebagai bagian dari kampanye untuk Amerika Serikat di Afrika Pada awal tahun 2010. Selain mencoba mengambil peran kepemimpinan di Uni Afrika, Libya juga dipandang sebagai Negara yang telah menjalin hubungan erat dengan Italia, salah satu mantan penguasa kolonial di Negara-negara uni-Eropa.
Politik
Di tahun 2011 ini, Libya sedang diramaikan dengan isu yang disebut-sebut sebagai Perang Sipil 2011. Perang Sipil ini adalah konflik bersenjata yang sedang berlangsung di negara Afrika Utara. Di Libya sendiri yang terjadi adalah antara masyarakat yang berusaha untuk menggulingkan penguasaan de facto yang dictator dari pemimpin Negara Muammar Gaddafi, dengan masyarakat yang pro-pasukan Gaddafi. Situasi ini dimulai dengan serangkaian protes damai berupa unjuk rasa yang diajukan oleh masyarakat untuk menuntut pekerjaan Gaddafi, yang berusaha ditekan oleh unit keamanan Gaddafi, pada tanggal 15 Februari 2011. Dalam seminggu, pemberontakan ini telah menyebar di seluruh negeri dan Gaddafi sendiri terus berjuang untuk mengontrol rakyatnya dan mempertahankan kepemimpinannya. Sayangnya, Gaddafi berusaha mendamaikan suasana dengan menanggapinya menggunakan kekuatan militer dan tindakan sejenis lainnya yang malah menghalangi komunikasi dari pihak rakyat.
Situasi ini kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata, dengan para pemberontak yang mendirikan sebuah koalisi yang bernama Dewan Nasional Transisi yang berbasis di kota Benghazi. Pengadilan Pidana Internasional Gaddafi memperingatkan bahwa ia dan anggota pemerintahannya mungkin telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dan kasus tersebut ditindak lanjuti oleh Dewan Keamanan PBB melalui resolusi awal pembekuan aset Gaddafi dan sepuluh anggota lingkaran dalam dirinya, dan dengan cara membatasi perjalanan mereka. Resolusi itu juga disebut-sebut sebagai tindakan Mahkamah Pidana Internasional untuk penyelidikan dari masalah ini. Pada awal bulan Maret, pasukan Gaddafi mengerahkan kekuatannya ke arah timur dan kembali mengambil beberapa kota-kota pesisir sebelum akhirnya menyerang Benghazi. Sehingga resolusi PBB menetapkan dan menegakkan kebijakan “no-fly zone” berupa kebijakan bagi Pasukan Gaddafi untuk tidak boleh menggunakan jalur udara di beberapa tempat. Pemerintah Gaddafi kemudian mengumumkan gencatan senjata, namun sayangnya tetap gagal untuk menegakkan perdamaian.
Pasukan Gaddafi telah menutup sistem air dan jalur pasokan kebutuhan bagi masyarakat di Benghazi, serta memaksa ratusan ribu rakyatnya untuk pergi tanpa makanan atau air di Yafran dan Misrata. Ketidakadaan makanan dan air kemudian berekspansi hingga ke dekat Al Qalaa, menempatkan ribuan rakyatnya mendekati angka kematian.
Libya dengan Indonesia
Menanggapi kasus yang terjadi di Libya saat ini, Indonesia sebagai Negara yang memiliki asas politik luar negri “Bebas Aktif” tentu ikut menjadi bagian demi misi perdamaian di Libya ini. Hal tersebut terbukti dengan berita-berita yang saat ini juga masih gempar diberitakan di media massa bahwa Indonesia menyerukan proses politik damai di Libya meskipun resolusi PBB diadopsi untuk perlindungan warga sipil tak berdosa. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, mengatakan dalam pernyataannya bahwa sepanjang perjalanan perkembangan terakhir di Libya, pemerintah Indonesia telah secara konsisten meminta perlindungan oleh masyarakat internasional. Konsisten dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari warga sipil tak berdosa yang telah jatuh korban kekerasan dicentang.
Dia mengatakan bahwa pelaksanaan yang ketat resolusi Dewan Keamanan pada tahun 1973 yang diadopsi pada 17 Maret lalu menawarkan potensi perlindungan warga sipil tak berdosa. "Pemerintah Indonesia menekankan bahwa pada akhirnya, bagaimanapun, ada kebutuhan mendesak untuk mempromosikan kondisi yang kondusif bagi proses, damai politik yang demokratis untuk mengambil tempat di Libya, untuk menghindari siklus kekerasan dan konflik bagi rakyat Libya untuk dapat grafik masa depan demokratis mereka”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar