Jumat, 27 Mei 2011

Saya dan Museum Gajah, Toraja Sebagai Aset Budaya Indonesia


Toraja adalah salah satu suku bangsa yang berdiam di pulau sulawesi di daerah pegunungan Latimojong an peguungan quales dengan ketinggian antara 150-2000 meter diatas permukaan laut. Di kaki-kaki bukit inilah terdapat perkampungan orang Toraja yang tinggal di dalam rumh-rumah (tongkonan) dengan arsitektur tradisionalnya yang khas.
Orang Toraja tersiri atas migrasi yang dating dari utara dan selatan. Migrasi yang dating dari utara pendukung kebudayaan megalit dengan peninggalannya berupa kubur batu(kalamba(, patung batu, lesung batu, menhir dan dolmen. Sementara para migrant yang dating dari selatan memiliki kepandaian membuat tembikar dengan kepercayaan tertentu, serta mengenal lapisan social, seperti golongan bangsawan, orang merdeka dan hamba. Pihak lain yang memberi pengaruh adalah kerajaan local di sekitarnya, pengaruh agama dan sebagainya. Kondisi wilayah yang kurang subur, menyebabkan tingginya mobilitas migrasi keluar atau merantau ke berbagai kota di sulawesi maupun daerah lainnya di Indonesia.
            Pola perkampungan di Toraja ditandai dengan adanya rumah adapt atau tongkonan, ;umbung(alang), kandang kerbau, kandang babi, kuburan keluarga(leang) dan kebun bamboo. Bentuk tongkonan dapat dikaji dari banyak sgi antaralain struktur bangunananya secara fisik, fungsi social, religi atau sebagai arsitektur yang mengandung nilai seni. Orang Toraja percaya kepada Puang Matua yang menciptakan alam semesta dan menurunkan aturan-aturan (aluk), keyakinan terhadap adanya Deata yang menguasai dan memelihara langit (Deata Tanggana Langit), bumi (deata kepanaganna) isi bumi(deata tanggana padang), dan keyakinan terhadap to mambali puang yaitu roh yara leluhur yang telah menjadi dewa. Orang Toraja yang menganut kepercayaan ini wajib memberian sesajen hewan urban seperti kerbau, babi dan ayam
            Upacara yang harus dilakukan adalah rambu tuka’ yang berkaitan dengan kehidupan seperti pertanian, pembangunan dan peresmian rumah adat tongkonan, kelahiran dan perkawinan. Pertunjukan ini ditujukan kepada sang pencipta dan deata-deata. Upacara lain yang amat pentin adalah rambu solo’ yang berkaitan dengan kematian, yang ditujukan kepada roh-roh leluhur yang menjelma menjadi deata. Upacara ini berkaitan dengan status social seseorang, semakin tinggi status seseorang, maka upacaranya pun akan memakan waktu berhari-hari dengan mengorbankan hewan sampai atusan ekor jumlahnya. Pada bangsawan tinggi unsure penting yang harus ada adalah pembacaan syair-syair yang disebut badong. Dalam syair diuraikan riwayat hidup orang yang mati meliputi garis keturunannya, jalan hidupnya, hingga jiwanya naik ke angkasa menyatu denan para arwah leluhur yang berada di antara bntang-bintang. Pada masa sekarang banyak orang Toraja yang memeluk kepercayaan lain seperti Aluk To Dolo, Protestan, Katolik, dan Islam.








Cangkul
Alat ini terbuat dari kayu besi dan  berasal dari sulawesi selatan. Cangkul dipergunakan buat menggali tanah


Patung Tau Tau
Tau Tau berasal dari kata "Tau" dalam bahasa lokal berarti "orang". Tau Tau digunakan dalam upacara pemakaman menurut asketisme kuno dari Toraja. Keyakinan ini mengajarkan Toraja untuk percaya akan kehidupan setelah kematian. oleh karena itu Tau Tau melambangkan orang yang sudah meninggal dan memasuki dunia lain.
Tau Tau di buat dari kayu, Proses pembuatan Tau Tau dimulai dari menggambarkan raut muka almarhum, setelah itu membuat ukiran tubuh mulai dari kepala, tubuh, dan kaki. Setiap Tau Tau di buat dengan rincian mewakili karakteristik fisik almarhum. Mata dari Tau Tau terbuat dai tulang dan tanduk kerbau.
Pembuatan Tau Tau dibagi menjadi 2 kategori, yaitu tergantung pada status sosial orang yang meninggal : -Untuk orang dari kalangan rendah Tau Tau dibuat dari bambu sehingga disebut sebagai "Tau Tau Lampa".
Untuk orang dari kalangan atas Tau Tau dibuat dari kayu nangka dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat srta dengan mengorbankan seekor babi. seekor babi di sembelih ketika membuat ukiran tangan hingga kaki. pengorbanan ini menunjukan kelahiran pada kehidupan setelah meninggal. Babi di sembelih lagi pada saat ritual akhir pada pembuatan Tau Tau.

Suling toraja
Suling ini terbuat dari bamboo, ditemukan di Enrekang, Toraja Sulawesi Selatan. Suling merupakan alat musik yang popular di Sulawesi Selatan. Digunakan pada saat upaara kematian dan saat upaara panen

Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Ukiran toraja
Ukiran ini terbuat dari kayu dan ditemukan di Saadang-Toraja, Sulawesi Selatan. Ukiran ini merupakan bagian dari hiasan pada bangunan rumah tongkonanan dan Alang Sura (Lumbung Padi). Motif-motif pada dinding bangunan tongkonan dpercaya dapat melindungi pemiliknya dan ketidak beruntungan dan untuk memperoleh kesejahteraan hidup.

Lalosu
Lalosu terbuat dari kayu, bamboo, daun lontar, pecahan kaca. Alat bunyi-bunyian ini merupakan perangkat yang digunakan dalam tarian “Alusu”. Lalosu berasal dari kata “lao-losu” yang artinya bolak-balik. Diberi nama demikian karena saat meari, alat ini digoyang ke kiri dan ke kanan atau diayun ke depan lalu ke samping hingga menimbulkan bungi, Tarian Alusu berasal dari Bugis, merupakan rangkaian da dari tarian Bissu(tarian yang penarinya adalah sekelompok waris) dipentaskan saat upacara adapt keagamaan, pelantikan raja, penambutan tamu agung dan upacaa lainnya.

Wadah Pekinangan
Wadah Pekinangan terbuat dari kayu. Wadah pekinangan merupakan tempat untuk menyimpan bahan-bahan yang digunakan dalam menyirih seperti daun sirih, kapur, gambir, pinang dan tembakau. Di Toraja upacara makan sirih dilakukan pada prosei penyambutaan tamu pada upacaa pemakaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar