Di Purworejo, Jawa Tengah tepatnya pada tanggal 4 November 1932, lahirlah seorang bayi laki-laki sehat bernama Ramelan. Beliau lahir pada saat Indonesia masih mengalami penjajahan. Pada saat itu Belanda masih menjajah negara kita. Ia merupakan buah hati kedua dari pasangan Sastro Prawiro dan Rukayah. Kakak pertamanya, Djaswadi pada saat itu masih berusia 5 tahun. Perjalanan kehidupannya pun dimulai.
Beberapa tahun setelah itu, keluarga Mbah Kakung (panggilan saya terhadap beliau) diberi anugerah lagi dengan kehadiran seorang bayi perempuan mungil yang lucu. Bayi mungil yang lucu itu diberi nama Muslimah. Saat beliau belum bersekolah, beliau sudah mulai belajar mengaji,membaca Al Qur’an kepada seorang kiai dan berhasil mengkhatamkan dalam waktu yang pendek. Lalu, beberapa tahun kemudian, ibunya wafat karena sakit, sehingga Mbah Kakung hidup bersama Ayah, kakak, dan adik saja. Beberapa waktu kemudian Ayahnya (yang adalah seorang kyai juga) menikah kembali dengan seorang wanita dan memiliki 1 orang anak perempuan. Sejak saat itu Mbah Kakung berserta saudara-saudaranya diasuh oleh kakek dan neneknya. Beberapa tahun kemudian, Mbah Kakung merasa kehilangan untuk kedua kalinya. Adik kecilnya, Muslimah wafat karena sakit. Mbah Kakung hidup berempat bersama kakak, nenek, dan kakeknya.
Pada tahun 1938, Beliau mengenyam pendidikan pertama kali di SR (Sekolah Rakyat). Selama hidup bersama neneknya, mbah kakung tidak mau berpangku tangan saja. Oleh karena itu, mbah kakung ikut membantu neneknya berjualan di pasar. Neneknya berprofesi sebagai pedagang pada saat itu. Dari pengalamannya ikut membantu neneknya berjualan di pasar, Mbah kakung merasa bahwa itu bukan dunianya. Beliau meyakini bahwa berdagang bukan salah satu keahliannya, tidak seperti kakaknya Djaswadi yang memiliki keahlian dan kemampuan dalam bidang berdagang. Mbah Kakung hanya ingin mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Sehingga semangatnya untuk belajar semakin kuat.
Pendidikan yang beliau jalani tidaklah mulus. Begitu banyak halangan dan rintangan yang menghadang, seperti peperangan dan faktor yang lain bahwa pada zaman itu masih dalam zaman penjajahan oleh Belanda. Sehingga beliau bersekolah tidak menentu. Sejak SD sampai jenjang SMP, beliau selalu meraih peringkat paling atas. Pada awalnya, beliau ingin menjadi dokter. Akan tetapi karena tidak adanya biaya untuk sekolah maka beliau mencari sekolah yang tidak membutuhkan biaya. Dan saat itu yang beliau temukan adalah sekolah guru.
Akhirnya beliau menempuh pendidikan kuliahnya di SGB atau disebut sebagai Sekolah Guru Bagian B (yang memiliki persamaan dengan kuliah D3 kalau pada zaman sekarang). SGB dimana Mbah Kakung bersekolah merupakan sekolah yang berasrama. Disinilah Mbah Kakung untuk pertama kalinya menemukan pasangan hidupnya. Perempuan itu bernama Rien Utari. Selama mbah kakung bersekolah disana, beliau aktif dalam berbagai macam kegiatan. Beliau pernah menjadi ketua pelajar di SGB. Selain itu aktif juga di bidang olahraga dan beliau tergabung dalam tim sepakbola sekolahnya. Walaupun mbah kakung sibuk dengan kegiatannya yang banyak, beliau tetap menduduki peringkat paling atas. Mbah Putri (panggilan saya terhadap Ibu Rien Utari) juga merupakan murid yang aktif juga di berbagai kegiatan di sekolah. Selama sekolah beliau menduduki peringkat paling atas dari jenjang pendidikan SD sampai dengan jenjang SMA. Akan tetapi semenjak satu sekolah dengan mbah kakung, Mbah putri tergeser peringkatnya oleh mbah kakung, sehingga tidak menduduki peringkat atas lagi.
Setelah menamatkan pendidikan di SGB, semua murid ditugaskan untuk mengajar di daerah terpencil. Dan kebetulan mbah kakung dan mbah putri ditugaskan dalam tempat yang sama yaitu SMP Bringin, di Desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah. Saat itulah mbah kakung sudah memiliki penghasilan sendiri dari hasil mengajarnya sebagai guru. Dan dari situlah hubungan dengan mbah putri berkembang menjadi hubungan yang lebih serius. Pepatah orang Jawa mengatakan “witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya timbul rasa sayang karena terbiasa. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1954 mereka menikah di Salatiga. Setahun kemudian, setelah mbah kakung dan mbah putri dianugerahi anak pertama, mereka pindah dari Salatiga keYogyakarta.
Di Yogyakarta, mereka dianugerahi 3 buah hati lagi. Sehingga mbah kakung dan mbah putri memiliki 4 anak, 1 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Anak pertama, perempuan bernama Rumiati, lahir pada tanggal 26 Mei 1955. Anak kedua, perempuan diberi nama Dwi Kurniani lahir pada tanggal 21 Desember 1958. Anak ketiga, laki-laki diberi nama Djoko Hari Nugroho lahir pada tanggal 28 april 1962 . Anak keempat, terakhir, perempuan, yang merupakan Ibu saya diberi nama Diana Rulianti lahir pada tanggal 18 april 1964. Di Yogyakarta, mbah kakung mengajar di SMPN 8 Yogyakarta sekaligus kuliah untuk mengambil gelar S1 di IKIP Negeri Malang jurusan Bahasa Inggris. Mbah putri juga mengajar di SMPN 8 Yogyakarta. Setelah menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar S1 di IKIP Negeri Malang, mbah kakung mengajar di IKIP Sanatadarma, Yogyakarta. Pada saat Ibu (panggilan saya terhadap Ibu Diana Rulianti) masih berusia satu tahun mereka pindah dari Yogyakarta ke Semarang.
Di Semarang, mbah putri mendaftarkan diri untuk mengajar. Beliau diterima untuk mengajar di SMPN 1 Semarang, akan tetapi mbah putri memutuskan untuk tidak kembali mengajar karena Mbah putri memilih untuk fokus dalam mengurusi keluarga. Saat di Semarang itulah Mbah kakung pindah mengajar dari IKIP Sanatadarma Yogyakarta ke IKIP Negeri Semarang. Selain mengajar di IKIP Negeri Semarang , beliau juga mengajar di Universitas Diponegoro dan di Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang (UNTAG).Untuk menafkahi keluarganya, selain mengajar beliau juga memberikan les-les kepada orang-orang yang membutuhkan. Dari hasil memberi les-les tersebut itulah, Mbah kakung bisa membiayai Ibu dengan saudara-saudaranya untuk bersekolah sampai tingkat tinggi.
Pada tahun 1967, mbah kakung berangkat ke Hawaii, USA untuk mengenyam pendidikan S2. Dalam kurun waktu 11 bulan, beliau sudah menamatkan pendidikan S2nya di salah satu universitas di Hawaii, yang merupakan salah satu negara bagian dari Amerika Serikat. Padahal jenjang pendidikan S2 biasanya diselesaikan dalam kurun waktu 2 tahun. Pada sekitar tahun 1978, beliau mendapatkan gelar Profesor di IKIP Negeri Semarang dan merupakan profesor yang pertama di IKIP Negeri Semarang. Dan pada tahun 1979, beliau mendapatkan gelar Doktor dari IKIP Negeri Malang. Selama berkecimpung sebagai dosen di IKIP Negeri Semarang, beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Senat, Ketua Jurusan Bahasa Inggris, Dekan, Ketua Penelitian. Selain itu, beliau juga mendirikan Asosiasi Jurusan Bahasa Inggris se Indonesia. Mbah kakung juga mendirikan tempat kursus Bahasa Inggris untuk umum yang pengajarnya merupakan guru-guru Bahasa Inggris di IKIP Negeri Semarang pada saat itu.
Pada tahun 1997, beliau jatuh sakit. Mulai sejak saat itu, beliau beberapa kali dirawat di rumah sakit. Beliau memang mempunyai penyakit tekanan darah tinggi yang mengakibatkan gangguan pada ginjal dan jantung. Penyakit ginjalnya diketahui sejak berumur 40 tahunan. Pada tanggal 9 Januari tahun 1999 Allah SWTmemanggilnya. Beliau wafat dalam usia 67 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari di rumah sakit, karena gagal jantung.
Selama hidupnya, beliau dikenal sebagai orang yang tegas, tepat waktu, disiplin, jujur, humoris, pintar, percaya dirinya tinggi, dan di percayai oleh orang lain.
Selama beliau hidup, beliau juga berperan dalam peristiwa untuk mencapai kemerdekan Indonesia. Saat beliau menginjak jenjang SMP, beliau tidak belajar dengan mulus seperti zaman sekarang. Apabila finansial tidak mencukupi, beliau tidak bersekolah. Dan apabila finansial mencukupi, barulah beliau melanjutkan sekolahnya. Pada saat beliau menginjak bangku kelas 2 SMP, beliau mencari uang untuk bersekolah. Sehingga untuk mendapatkan uang, beliau masuk ke tentara. Saat itu beliau masih berusia sekitar 15 tahun. Karena tinggi beliau kurang dari tinggi senapan maka di dalam pasukan perang (pada saat itu pertempurannya di Kedung Jati) beliau ditaruh di bagian depan. Saat itu ada gencatan senjata sehingga tidak terjadi perang. Pasukan pun ditarik mundur. Selain sebagai tentara, beliau juga disuruh menulis/membuat surat di bagian surat menyurat. Dan oleh komandannya beliau dianggap pintar, sehingga mbah kakung disuruh bersekolah. Rutinitasnya berubah, kalau pagi beliau bekerja menjadi tentara dan di sore harinya ia bersekolah. Karena prestasinya itu, beliau dimasukkan di bagian staf. Beberapa saat setelah itu mbah kakung mendapat warisan dari nenek-kakeknya yang telah wafat. Dengan uang itu, mbah kakung memutuskan untuk keluar dari tentara. Dan melanjutkan sekolah tanpa harus bekerja. Pada saat beliau masih duduk di kelas 2 smp, beliau ikut ujian kelas 3 SMP dan lulus. Sehingga beliau dinyatakan lulus SMP tanpa harus duduk di kelas 3 smp.
Saya tidak mengalami kesulitan dalam menemukan tokoh sejarah, akan tetapi saya menemukan kesulitan dalam menghimpun informasi karena orang yang saya wawancarai tidak begitu mengetahui waktu pasti kejadiannya. Karena tokoh sejarahnya menceritakan kepada orang yang saya wawancarai hanya kejadiannya dan itu pun tidak didiskripsikan. Beliau tidak memberitahu waktu pastinya dengan mendetail. Untuk peran pelaku dalam peristiwa sejarah juga sedikit, karena tokoh sejarahnya menceritakannya tidak banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar