Mastini Hardjoprakoso, atau yang sejak kecil dikenal dengan panggilan “tenok” karena tubuhnya yang cukup gemuk dibandingkan dengan keluarganya yang lain, lahir di kota Mojogedang, Karanganyar pada tanggal 7 bulan Juli tahun 1923. Putri dari R.M.T. Hardjoprakoso, yang dulu menjabat sebagai bupati di kerajaan Mangkunegoro, membuatnya menghabiskan masa kecil dan menempuh pendidikan sekolahnya di Solo bersama 7 saudara kandungnya.
Mastini bersekolah di HIS Siswoschool dan melanjutkan ke Mevrouv Groot School, yaitu sekolah yang didirikan oleh orang Belanda bagi anak-anak pribumi yang dianggap lebih cerdas dari yang lainnya. Dengan guru-guru yang sebagian besar orang Belanda, mengantarkan Mastini kepada kemahirannya berbahasa Belanda dan juga Inggris disamping bahasanya sehari-hari yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Di Mevrouv Groot School yang juga dikenal sebagai sebuah Huishoudschool, beliau memilih keterampilan menyulam, yang beliau katakana dengan sebutan borduren.
Setelah lulus dari Mevrouv Groot School, beliau melanjutkan ke sekolah Frobel Kweekschool, yaitu sekolah guru Taman Kanak-Kanak yang mengantarkannya kepada pekerjaan pertamanya di Solo sebagai Guru TK di TK Siswo yang masih berada di lingkungan Mangkunegaran.
Di samping bekerja sebagai guru TK, beliau juga aktif sebagai Pandu Rakyat Indonesia. Satu hal yang masih teringat jelas oleh Mastini di kala ia menjadi anggota kepanduan adalah tugas khusus dari Ir. Soekarno untuk menjahitkan bendera PON yang saat itu dilangsungkan di Solo. Sempat belajar menyulam di masa sekolahnya membuat tugas tersebut dapat selesai dikerjakannya meskipun pada saat itu beliau tidak memiliki mesin jahit dan bahan yang dibutuhkan sangatlah langka.
Mengemban tugas dari presiden itu mengantarkan beliau untuk mengenal pribadi Ir. Soekarno. Mastini masih ingat dengan jelas kata-kata dari Presiden pertama Indonesia itu mengenai apresiasinya terhadap ketekunan dan kegigihan Mastini meskipun saat itu hanya berpekerjaan sebagai guru TK.
Pada umurnya yang ke 27 beliau ikut dengan kakak keempatnya, Ir. Soesilo untuk pindah ke Jakarta. Meskipun jauh dari kampung halamannya, beliau tetap dapat bekerja sebagai guru TK di Jakarta, yaitu di Taman Kanak-Kanak milik Angkatan Darat yang saat itu terletak di dekat Lapangan Banteng.
Namun pekerjaannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Melihat potensi yang dimiliki Mastini mengantarkannya masuk ke lembaga swasta Belanda yang saat ini disebut sebagai LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia), meskipun beliau tidak memiliki bekal pengetahuan di bidang kebudayaan.
Pekerjaannya di LKI membuka jalan Mastini untuk mulai belajar mengenai pelayanan perpustakaan. Menurut beliau, perpustakaan merupakan suatu ketekunan yang dapat meningkatkan potensi generasi muda untuk menjadi lebih maju dan kreatif. Oleh karena itu beliau serius untuk menekuni lebih lanjut mengenai bidang perpustakaan.
Di tahun 1955, Mastini diberikan beasiswa untuk kursus teknik perpustakaan di Nederlands Instituut voor Documentatie en Registratie (NIDR) di Belanda. Beasiswa itu didapatkannya dari Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking) berkat kepiawaiannya saat bekerja di LKI.
Setahun belajar mengenai ilmu perpustakaan di Belanda mematangkan pengetahuannya mengenai bidang yang sangat diminatinya itu. Hal tersebut membuatnya mendapat pengakuan baik oleh pustakawan lainnya di Indonesia. Oleh karena hal tersebut, dan atas usulan dari Dekan Graduate School of Library serta anjuran dari Asia Foundation, Mastini memperoleh beasiswa tingkat master dalam ilmu perpustakaan di University of Hawaii. Sebuah hal yang patut dipertanyakan karena gelar master yang beliau dapat dari beasiswa tersebut diterimanya tanpa harus menempuh pendidikan S1 terlebih dahulu. Mastini sangat bersyukur akan hal yang beliau dapatkan tersebut, yang menurut beliau adalah sebuah anugerah yang sangat besar dari Allah SWT.
Di samping kesibukannya dalam LKI, Mastini adalah orang yang sangat aktif dalam berorganisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan kegigihannya saat menjadi sukarelawan di Gerakan Pramuka. Bahkan beliau diangkat sebagai Andalan Nasional sebagai salah satu pencetus kebijakan teknik kepramukaan di Indonesia. Beliau masih ingat dengan sangat baik bagaimana ia dan anggota Pramuka lainnya mengikuti Jambore Internasional. “Waktu itu eyang keliling dunia menggunakan kapal, menyenangkan sekali” tuturnya.
Jika ditanya apakah Mastini memegang peran penting terhadap Negara Indonesia? Tanpa perlu menjawab “Ya”, Tanda Kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang beliau dapatkan sudah cukup menggambarkan bahwa beliau termasuk Pahlawan bagi Indonesia ini. Dengan bekal ilmu perpustakaan yang beliau dapatkan dari sekolahnya di Belanda dan Hawai, memberikannya ide cemerlang demi memajukan pemuda-pemuda Indonesia. Beliau adalah orang yang mendirikan Perpustakaan Nasional Indonesia.
Hal tersebut dimulai dari keterlibatannya dalam LKI yang kemudian berubah nama menjadi Museum Nasional Indonesia, yang mengantarkannya ke dalam dunia perpustakaan. Merasa cocok dengan dunia perpustakaan, beliau tidak main-main dan terus mempelajari dan menekuni hal ini hingga akhirnya beliau mendapatkan beasiswa di Belanda dan disusul dengan gelar Master of Honor yang beliau dapatkan dari University of Hawaii.
Pengalamannya di Negara-negara lain membuat beliau prihatin dengan keadaan Negara asalnya sendiri. Pendidikan yang begitu maju didukung dengan lengkapnya informasi di Negara lain membuat dirinya iri. Hingga suatu hari muncul pertanyaan dibenaknya, “Mengapa Indonesia tidak mempunyai National Library seperti layaknya yang dimiliki Negara-negara lain?”. Akhirnya Mastini membuat kertas kerja yang berjudul “The Need Of A National Library in Indonesia”.
Singkat cerita, kertas kerja itu membuahkan hasil yang sangat besar, yaitu lahirnya Perpustakaan Nasional Indonesia di tahun 1980. Hal tersebut membuat Presiden Indonesia pada saat itu, Bapak Soeharto, sangat menghargai jerih payah Mastini. Ditambah lagi kenyataan bahwa Mastini rela untuk bekerja demi Indonesia, tanpa digaji. Dan beliau senantiasa memberikan uang tanggungan hidupnya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sikap rela berkorban dan peduli sesama yang dimiliki Mastini juga yang menjadi faktor lain yang membuatnya sangat pantas mendapatkan Tanda Kehormatan Satya Lencana Pembangunan langsung dari Presiden Soeharto. Hal yang sangat berarti bagi dirinya, hingga sekarang di umurnya yang ke 88, beliau masih sering membanggakan penghargaan yang ia dapatkan dari Bapak Pembangunan Indonesia itu.
Ketika beliau ditanya mengenai pengaruh dari gejolak-gejolak yang terjadi di Indonesia di segi politik dan ekonomi pada perkembangan Perpustakaan Nasional, beliau mengatakan “tidak ada pengaruh yang berarti. Perpustakaan Nasional terus berjalan dengan baik tanpa ada masalah. Bapak Presiden dan pemerintah masih memberikan apresiasinya yang tinggi bagi Perpustakaan Nasional”. Mastini juga menjelaskan bahwa pergantian presiden dari Bapak Soeharto hingga ke Ibu Megawati tidak memberikan dampak apa-apa bagi Perpustakaan Nasional. Beliau menjelaskan dengan bangga bahwa seluruh komponen pemerintahan Indonesia dari waktu ke waktu tetap menghargai dan mendukung perkembangan Perpustakaan Nasional hingga sepenuhnya.
Namun amat disayangkan, banyak orang yang kurang mengerti seberapa pentingnya Perpustakaan Nasional di Indonesia ini. Atau bahkan, banyak yang tidak mengerti apa keunggulan dari Perpustakaan Nasional dibandingkan dengan perpustakaan lainnya. Hal pertama yang menjadi keunggulannya tentu saja adalah kelengkapan dari koleksi buku yang dimilikinya. Perpustakaan Nasional memang mewajibkan semua penerbit nasional untuk memberikan kopi dari setiap buku yang diterbitkan untuk disimpan di sana. Dan tidak hanya itu saja, buku-buku terbitan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang tidak dijual secara bebas pun ikut melengkapi koleksi Perpustakaan Nasional. Oleh karena itu, perpustakaan ini menjadi sesuatu yang sangat penting, demi kemajuan pendidikan masyarakat Indonesia.
Di masa tuanya, Mastini adalah orang yang sangat murah hati. Beliau juga sangat mudah untuk menaruh kepercayaan kepada orang lain. Bahkan kepada supir pribadinya sekalipun. Namun hal itu banyak disalah gunakan oleh orang lain. Seperti halnya beberapa harta tabungan miliknya sejak ia bekerja pertama kali di Jakarta raib begitu saja karena tangan-tangan nakal orang dekatnya. Namun hal tersebut tidak menjatuhkan Mastini. Beliau menjadi lebih berhati-hati, dan untungnya jasa beliau yang begitu besar bagi Negara Indonesia membuatnya mendapatkan rezeki yang berlimpah meskipun setelah terkena musibah.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana saya bisa mengetahui begitu banyak mengenai Mastini? Mastini Hardjoprakoso, atau yang biasa saya panggil dengan sebutan Eyang Nok, adalah adik dari almarhum kakek saya, Soesilo Hardjoprakoso. Kakek saya adalah kakak keempat Mastini, yang membawanya hijrah ke Jakarta dari kota Solo. Dan yang membuat saya mengetahui begitu banyak mengenai Mastini adalah karena beliau sampai sekarang tinggal di rumah almarhum kakek saya, bersama nenek saya, Soeharti Soesilo Hardjoprakoso di bilangan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Bahkan dapat dikatakan, saya sudah menganggap Eyang Nok sebagai nenek saya sendiri.
Mengenai suka duka saya untuk mengumpulkan data bagi biografi ini, dapat dikatakan susah-susah-gampang. Tempat tinggal beliau yang bersamaan dengan nenek kandung saya membuat intensitas saya menemuinya, dapat dibilang, cukup sering. Ditambah lagi dengan lokasinya yang terjangkau, juga memudahkan saya untuk menemuinya.
Namun meskipun saya sangat dimudahkan untuk bertemu dengan Mastini, banyak kendala lain yang menyulitkan saya untuk mendapatkan banyak informasi. Umur beliau yang hampir mencapai angka 88 tahun membuatnya kehilangan banyak memori masa sekarang dan masa lalu. Bahkan beliau kerap tidak dapat mengingat siapa saya. Bukan hanya itu saja, beliau juga sukar membedakan pengalaman yang ia alami, dan imajinasi yang ia bayangkan. Tentu saja hal tersebut membuat data yang saya kumpulkan patut dipertanyakan kebenarannya.
Namun, saya dapat memastikan bahwa biografi singkat yang saya tuturkan di atas adalah benar. Saya sangat berterima kasih kepada Bude dan Ibu saya yang membantu membenarkan beberapa cerita yang kurang tepat. Data-data itu juga banyak yang saya dapatkan dari sertifikat-sertifikat dan foto yang masih disimpan dengan rapi di kamarnya. Oleh karena itu saya merasa sangat bersyukur karena diberi banyak kemudahan untuk menyelesaikan tugas ini.
Di hari tuanya ini, Mastini tidak mempunyai anak untuk mengurusnya bahkan beliau tidak memiliki suami. Harta yang ia miliki sebagai santunan dari negara, pun, tidak mau ia terima. Bahkan hanya lapak kuburan di Taman Makan Pahlawan saja tidak mau ia terima, karena ia lebih memilih untuk disemayamkan di pemakaman keluarganya di Solo, kelak jika ia meninggal nanti. Sungguh pribadi yang unik dan patut untuk dijadikan panutan bagi insan-insan muda Indonesia. Pengalaman hidup yang begitu berarti, dan dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun yang membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar