Nama : Faisal Zakiri
Kelas : XI IPA 3
Ibu Rubangi, merupakan saksi sejarah dari peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Lahir di Jakarta, 8 April 1931, bertempat tinggal di Jalan Pendidikan III, no. 7. Menikah dengan Pak Son Rubani Khadirun, memiliki 7 anak, dimana salah satunya adalah istri dari pakde saya, Nina. Saat berumur 3 tahun, beliau pindah ke Jawa Tengah, tepatnya Semarang, bersama orang tuanya. Selama disana, ia tidak suka bergaul dengan teman-teman sebayanya, ia lebih suka menyendiri. Namun disaat berkaitan dengan suatu hal yang unik, seperti hal-hal berbau pendidikan, berhitung, dan sebagainya. Setelah tinggal di Semarang selama 5 tahun, beliau pindah lagi ke Batavia, dikarenakan ayah dari Ibu Rubangi merupakan prajurit yang sering dipindah tugaskan. Dan ibu beliau serta Ibu Rubangi hanya dapat mengikuti. Fasih dalam berbahasa Belanda dan Jepang pada jaman itu, namun sekarang tidak terlalu fasih. Ibu Rubangi masuk sekolah dasar pada tahun 1938 di Semarang selama 1 tahun, lalu Ibu Rubangi pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah dasarnya. Setelah lulus selama total 6 tahun belajar di sekolah dasar, Ibu Rubangi melanjutkan belajar di sekolah menengah pertama di Jakarta pada tahun 1945. Namun belum 1 tahun, beliau harus berhenti sekolah dikarenakan terjadi perang. Setelahnya lulus dari Sekolah Menengah Pertama, beliau melanjutkan ke sekolah menengah atas yang juga di Jakarta. Beliau lulus pada tahun 1949. Barulah Ibu Rubangi melanjutkan pendidikan terakhirnya di Akademi Sekretaris jaman Jepang, dan lulus pada tahun 1956 setelah masuk ke akademi tersebut selama 6 tahun.
Menikah pada tahun 1958, mereka dikaruniai 7 orang anak, pertama bernama Rahajeng Prandiena, lahir pada tanggal 3 Mei 1960, lalu yang kedua adalah bude saya, Nina Paramandina, lahir pada tanggal 8 Agustus 1961. Ketiga bernama Purwandoko, lahir pada tanggal 9 September 1962, keempat bernama Suryono, lahir pada tanggal 25 Desember 1963, kelima Sutrisno, lahir pada tanggal 3 Januari 1965, keenam bernama Yati Marwati, lahir pada tanggal 17 Mei 1966, dan ketujuh bernama Rubyanto, lahir pada tanggal 19 Oktober 1967. Saat berkeluarga, beliau sudah tinggal di Jalan Pendidikan III, no. 7. Jadi, beliau sudah tinggal dirumah tersebut selama 53 tahun. Dan dirumahnya, terdapat fotonya saat beliau melakukan Tari Jaipong, itu dilakukannya saat beliau berumur 17 tahun. Ia juga sempat menjadi guru di suatu sekolah dasar. Sehari-hari biasanya Bu Rubangi bekerja sebagai sekretaris di suatu perusahaan Jepang, dimana suami Bu Rubangi bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan yang berbeda dengan Bu Rubangi. Di masa itu, Bu Rubangi harus naik kendaraan umum dikarenakan belum mempunyai kendaraan, dan memakan waktu perjalanan 1,5 jam. Bu Rubangi langsung duduk dimeja mengurus masalah-masalah kesekretariatan dari pukul 8 pagi sampai pukul 8 malam nanti.
Sekarang Bu Rubangi masih sehat, dan masih tinggal di Jalan Pendidikan tersebut. Dan tanggal 3 April kemarin, beliau baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke 80. Untuk seumurannya, beliau masih mampu melakukan aktifitas sehari-hari tanpa dibantu orang lain, walaupun saat ini beliau tinggal bersama anak beliau yang ke 5 dan ke 6, yaitu Sutrisno dan Yati Marwati. Namun dia sudah mulai menunjukkan gejala-gejala pikun, contohnya seperti ini. Beliau terkadang lupa kalau dia sudah menyapu halaman di saat pagi, namun beliau menyapu lagi di saat menjelang siang dan bahkan tak menyadari kalau halaman rumah beliau tidak ada yang bisa disapu lagi, antara lain sudah bersih karena beliau sudah menyapu paginya. Meskipun di rumah beliau ada pembantu rumah tangga, beliau dibilang tidak bisa diam oleh anak-anaknya. Sehingga walaupun umur beliau sudah berkepala delapan, beliau selalu saja mencari kegiatan untuk dilakukan, entah untuk dilakukan sendiri, atau melakukan bersama keluarganya seperti berkemah dan sebagainya.
Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September PKI, yaitu tanggal 1 Oktober 1965, beliau sedang berada di daerah Lubang Buaya dikarenakan sedang melakukan suatu tugas. Disaat subuh, dia terbangun mendengar suara keributan, ternyata Gerakan 30 September sedang terjadi. Beliau mengaku takut saat banyak orang-orang tersebut membawa obor, senapan, parang, arit dan sebagainya, namun beliau merasa penasaran, maka beliau mengikuti rombongan tersebut secara diam-diam. Walaupun beliau mengaku saat itu dia tidak tahu bahwa peristiwa tersebut adalah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Beliau ingin meilhat keadaan yang terjadi disana, saat diwawancara, beliau mengaku melihat para jendral disiksa, seperti Letjen Ahmad Yani dan Mayjen Raden Suprapto. Walau beliau tidak tahu peristiwa apa itu, yang beliau tahu adalah saat mengintip kegiatan tersebut, banyak orang-orang, baik laki-laki maupun perempuan membawa obor serta senjata. Mereka seperti sedang berpesta dalam rangka merayakan sesuatu, seperti merayakan sebuah kemenangan. Beliau mengaku tidak jelas melihat siapa saja yang ada disana, tp dari kejauhan dia hanya melihat Letjen Ahmad Yani dan Mayjen Raden Suprapto. Beliau merasa saat melihat mereka, tubuh mereka sedang dimasukkan kedalam sebuah lubang, namun beliau juga tidak tahu mengapa para jendral dimasukkan kedalam lubang tersebut, tetapi beliau tahu kalau para jendral dimasukkan kedalam lubang tersebut dalam keadaan mati atau sekarat, setelah itu beliau mendengar suara tembakan yang dilakukan seseorang ke arah lubang tersebut. Mendengar suara tembakan tersebut beliau langsung pergi melarikan diri pergi kerumah.
Keesokannya beliau meminta keluarganya untuk pindah ke rumah saudaranya yaitu Moenadi Bin Saenan di daerah Kebayoran, karena beliau khawatir jika kemarin beliau dilihat oleh seseorang pelaku pada peristiwa kemarin dan beliau tidak sadar ada seseorang yang mengikuti. Ibu Rubani memang berwatak seperti itu, siaga atau terkadang terlalu khawatir. Menceritakan peristiwa kemarin kepada suami dan kelima anaknya(dikarenakan anak keenam yaitu Yati Marwati, dan anak ketujuh, Rubyanto belum lahir) mereka lalu setuju untuk pindah sementara ke rumah saudara Ibu Rubangi, yaitu Moenadi di daerah Kebayoran yang sekarang bernama Jalan Haji Nawi. Jika berdasarkan wikipedia, definisi Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. Dalam beberapa bulan, keluarga Ibu Rubangi berpindah-pindah tempat dikarenakan beliau mengaku sering melihat seseorang yang sama ditempat yang sedang Ibu Rubangi tinggal, namun beliau mengaku tidak tahu siapa orang yang sering terlihat oleh Bu Rubangi itu. Bu Rubangi berpindah-pindah dari Kebayoran, Rawamangun, Bekasi, Bogor, hingga beliau sempat tinggal di Solo untuk sebulan, dimana ada saudaranya yang tinggal disana dan Bu Rubangi beserta keluarganya menetap sementara Berbulan-bulan setelah itu hingga tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberikan Supersemar, singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret kepada Soeharto yang saat itu sudah dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat dimana beliau dilantik pada tanggal 16 Oktober 1965 lalu. Disitulah Soeharto mulai melarang semua hal yang berbau PKI, dari yang hanya para simpatis, ataupun tokoh PKI. Barulah setelah dilarangnya semua hal yang berbau PKI, Ibu Rubangi merasa keadaan sudah aman untuk pulang sekarang. Dan juga beliau sudah tak pernah melihat orang yang sama yang suka berada di dekat tempat yang sedang Bu Rubangi tempati. Barulah pada tanggal 14 Mei 1967, Ibu Rubangi beserta keluarganya kembali ke rumah lamanya, yaitu di Jalan Pendidikan III, no. 7, Jakarta. Beliau menunggu 1 tahun dari peristiwa Supersemar dalam keadaan berjaga-jaga hingga PKI tidak terdengar lagi.
Menurut saya tidak mendapat kesulitan mendapatkan tokoh, karena Ibu Rubangi adalah ibu dari istri pakde saya yang masih dekat dengan keluarga saya. Namun kesulitan mulai terjadi saat saya mewawancara tokoh, karena terkadang beliau menjawab bahasa yang campur aduk, yaitu Bahasa Indonesia, Belanda, serta Jepang. Dan terkadang pada suatu titik peristiwa, Ibu Rubangi suka lupa apa yang terjadi, namun anak-anaknya beserta bude saya berada disana dikarenakan saya mewawancara beliau tepat pada hari ulang tahun beliau yang ke 80. Anak-anak Ibu Rubangi membantu mengingatkan apa yang terjadi dikarenakan dulu Ibu Rubangi sering bercerita kembali kepada anak-anaknya.
saya berserta keluarga bersama Ibu Rubangi (tengah) saat mewawancara dan merayakan ulang tahun beliau yang ke 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar